PENGEMBANGAN STRATEGI PENDIDIKAN BERBAHASA SANTUN DI SEKOLAH
Sofyan Sauri
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya fenomena berbahasa di kalangan siswa yang telah menanggalkan nilai-nilai kesantunan sebagai akibat pergeseran nilai-nilai di tengah masyarakat. Atas dasar itu masalah dalam penelitian ini dirumuskan: Strategi pendidikan seperti apakah yang sesuai dengan pengembangan berbahasa santun di sekolah?
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat siswa yang berbahasa santun dan tidak santun di sekolah, dan sekolah belum memiliki strategi untuk mengembangkan pendidikan nilai berbahasa di sekolah. Dalam penelitian ini ditemukan enam prinsip berbahasa santun dalam al-Quran, yaitu qaulan sadidan, qaulan ma’rufan, qaulan balighan, qaulan maysuran, qaulan kariman, dan qaulan layyinan. Dari enam prinsip tersebut ditemukan dua puluh enam nilai berbahasa santun yang dapat dijadikan rujukan dalam pendidikan berbahasa santun di sekolah, keluarga, maupun masyarakat.Di samping hasil tersebut, penelitian ini membuahkan strategi pendidikan nilai berbahasa santun dan strategi pembelajaran berbahasa santun di sekolah yang dapat dijadikan alternatif bagi pengembangan berbahasa santun di sekolah.
Latar Belakang Masalah
Berbahasa berkaitan dengan pemilihan jenis kata, lawan bicara, waktu (situasi) dan tempat (kondisi) diperkuat dengan cara pengungkapan yang menggambarkan nilai-nilai budaya masyarakat. Kenyataan menunjukkan masih banyak orang yang bertutur kata dan berkomunikasi tetapi tanpa memperhatikan prinsip-prinsip tersebut di atas.
Sekarang ini, masyarakat tengah bergerak ke arah yang semakin maju dan modern. Setiap perubahan masyarakat melahirkan konsekuensi-konsekuensi tertentu yang berkaitan dengan nilai dan moral. Misalnya kemajuan bidang komunikasi melahirkan pergeseran budaya belajar anak-anak dan benturan antara tradisi Barat yang bebas dengan tradisi Timur yang penuh keterbatasan norma. Demikian pula dampaknya pada nilai-nilai budaya termasuk tata cara dan kesantunan berbahasa di kalangan generasi muda. Dalam kondisi ini, pendidikan (khususnya sekolah) dituntut untuk memiliki kemampuan mendidik dan mengembangkan etika berbahasa santun agar siswa dapat berkomunikasi dengan lebih baik.
Dewasa ini, bahasa yang digunakan remaja tidak lagi menunjukkan ciri dari sebuah bangsa yang menjunjung tinggi etika dan kelemahlembutan. Budaya dan adat ketimuran yang menjadi kebanggaan Bangsa Indonesia mungkin tidak lagi menjadi bagian dari jati diri bangsa, jika pergeseran budaya ini tidak diantisipasi secara dini.
Salah satu faktor yang sangat menentukan dalam proses pelestarian dan pewarisan budaya berbahasa ini adalah pendidikan. Anak perlu dibina dan dididik berbahasa santun, sebab mereka adalah generasi penerus yang akan hidup pada zamannya. Bila anak dibiarkan dengan bahasa mereka, tidak mustahil bahasa santun yang sudah ada pun bisa hilang dan selanjutnya lahir generasi yang arogan, kasar, dan kering dari nilai-nilai etika dan agama. Pengamatan sementara menunjukkan bahwa akibat dari ungkapan bahasa yang kasar dan arogan di kalangan remaja, seringkali menyebabkan perselisihan dan perkelahian antar mereka. Sebaliknya, mereka yang terbiasa berbahasa santun pada umumnya mampu berperan sebagai anggota masyarakat yang baik.
Ucapan dan perilaku santun tersebut merupakan salah satu gambaran dari manusia utuh yang menjadi tujuan pendidikan umum, yaitu manusia yang berkepribadian (Sumaatmadja dalam Mulyana, 1999:18; McConnell, 1952:13;).
Kesantunan berbahasa terkait langsung dengan norma yang dianut oleh masyarakatnya. Jika masyarakat menerapkan norma dan nilai secara ketat, maka berbahasa santun pun menjadi bagian dari kebiasaan masyarakat.
Dalam kaitan dengan pendidikan, maka masyarakat yang menjunjung tinggi nilai kesantunan akan menjadikan berbahasa santun sebagai bagian penting dari proses pendidikan, khususnya pendidikan persekolahan.
Sekolah adalah institusi pendidikan, yaitu tempat di mana pendidikan berlangsung. Pendidikan sekolah adalah proses belajar mengajar atau proses komunikasi edukatif antara guru dan murid. Dilihat dari pandangan sosial, sekolah merupakan institusi sosial yang tidak berdiri sendiri. Sebagai institusi sosial, sekolah berada dalam lingkungan institusi sosial lainnya dalam masyarakat. Sekolah bukanlah tempat yang steril dari pengaruh di luar sekolah. Siswa datang dari keluarga dan masyarakat, demikian pula guru, karyawan, dan kepala sekolah. Karena itu sekolah tidak bisa dipisahkan dari masyarakatnya. Bahkan lebih dari itu, sekolah merupakan gambaran atau miniatur dari masyarakat lingkungannya.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas dapat dikemukakan fokus masalah dalam penelitian ini, yaitu apa yang menyebabkan anak kurang dapat berbahasa santun di rumah, masyarakat, dan sekolah ?
Permasalahan tersebut selanjutnya dirumuskan ke dalam beberapa pertanyaan di bawah ini.
Pertama, pendidikan seperti apakah yang terjadi di sekolah dalam kaitan berbahasa santun? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, peneliti merumuskan pertanyaan operasional berikut ini.
1. Visi apakah yang dikembangkan di sekolah dalam belajar berbahasa santun?
2. Kesulitan-kesulitan apakah yang ditemukan dalam strategi pengembangan berbahasa santun di sekolah?
3. Hal apakah yang menjadi penunjang dalam pengembangan strategi berbahasa santun di sekolah?
Kedua, pembinaan berbahasa santun seperti apakah yang seyogyanya dilakukan di sekolah? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, peneliti merumuskan pertanyaan operasional berikut ini.
1. Strategi seperti apakah yang perlu dikembangkan dalam pembinaan berbahasa santun di sekolah ?
2. Langkah-langkah apakah yang seyogyanya dilakukan dalam melaksanakan strategi berbahasa santun di sekolah ?
3. Nilai apakah yang dapat diangkat dari strategi pengembangan berbahasa santun sebagai pendidikan akhlakul karimah di sekolah ?
Hasil penelitian ini, berupa konsep pengembangan strategi berbahasa santun yang dapat melengkapi, menyempurnakan serta mengembangkan teori berbahasa yang sudah ada. Bahasa dalam pendidikan umum merupakan kajian yang masih jarang diteliti, karena itu penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah penelitian bahasa dalam kaitan dengan nilai-nilai budaya dan agama.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan paradigma naturalistik dengan pendekatan kualitatif. Sedangkan metode yang digunakan, sesuai dengan karakter penelitiannya, menggunakan multi metode (Dahlan,2002:8) melalui tahapan-tahap orientasi, eksplorasi, dan membercheck.
Deskripsi Teoritis
Bahasa merupakan alat komunikasi antar manusia, karena itu, bahasa dan komunikasi merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Alwasilah (1996:16) menyebut bahwa hakekat bahasa adalah komunikasi dan komunikasi merupakan alat atau cara untuk berinteraksi.
Komunikasi tidak sebatas menyampaikan informasi, tetapi lebih lanjut dapat menimbulkan pembentukan pendapat dan sikap (Uchyana:1993:27) bahkan dapat membentuk pendapat umum (public opinion). Dengan demikian, komunikasi tidak sekedar menyampaikan informasi, tetapi juga menggambarkan pikiran, ide, dan sikap sebagaimana diungkapkan Williem & Wayne (Uchyana,1990:6) bahwa "Communication is process by which information is exchanged between or among individuals through a common system of symbols, signs, and behavior".
Dalam berkomunikasi atau mengembangkan dan menggambarkan pikiran kepada orang lain, manusia memerlukan alat-alat atau simbol-simbol yang dipahami dalam suatu kelompok masyarakat sebagaimana diungkapkan Willem di atas. Salah satu simbol itu adalah bahasa, baik lisan maupun tulisan.
Komunikasi dengan bahasa merupakan bagian yang sangat penting bagi manusia, siapapun orangnya. Karena setiap orang memiliki pikiran, hasrat, keinginan, dan harapan yang harus diungkapkan dan dikomunikasikan kepada orang lain. Karena itu kemampuan berkomunikasi merupakan kemampuan yang harus dimiliki setiap orang. Kemampuan, keterampilan, sikap, dan nilai yang seyogyanya dimiliki setiap orang adalah bagian dari wilayah kajian pendidikan umum (Alberty and Alberty:1965:34).
Bahasa santun menurut Moeliono (1984) berkaitan dengan tata bahasa, dan pilihan kata. Yaitu penutur bahasa menggunakan tata bahasa yang baku dan memilih kata-kata yang sesuai dengan isi atau pesan yang disampaikan dan sesuai pula dengan tata nilai yang berlaku di dalam masyarakat itu. Bahasa yang tidak santun adalah bahasa yang kasar, melukai perasaan orang, atau kosa kata yang membuat tidak enak didengar orang. Karena itu bahasa santun berkaitan dengan perasaan dan tata nilai moral masyarakat penggunanya.
Geertz (1972:282) menjelaskan bahwa bahasa yang santun merupakan bahasa yang dipergunakan oleh masyarakat dengan memperhatikan hubungan sosial antar pembicara dan penyimak serta bentuk status dan keakraban. Status kehidupan dimasyarakat ditentukan oleh; kekayaan, keturunan, pendidikan, pekerjaan, usia, hubungan darah, dan kebangsaan antara satu dengan yang lainnya. Bagi Geetz, kesantunan itu adalah kesesuaian dengan status pengguna bahasa sehingga efeknya akan menimbulkan keakraban antara penutur dan pendengar. Bahkan lebih dari itu bahasa santun akan menjadi ciri dari status sosial masyarakat penggunanya.
Dari segi moral, Suryalaga (1993:36) melihat bahwa setiap bahasa memiliki santun berbahasa yang digunakan untuk saling hormat menghormati sesama manusia. Santun berbahasa artinya akhlak menggunakan bahasa dalam kehidupan sehari-hari, atau dalam pergaulan bersama dengan teman sebaya, kakak, orang tua, guru, pejabat, dan santun berbahasa sangat berkaitan erat dengan rasa berbahasa. Adapun yang menjadi sumber santun berbahasa adalah; umur, naluri, nurani, agama, keluarga, lingkungan, adat istiadat, pengalaman, kebiasaan, dan peradaban bangsa.
Berbahasa dapat dilihat secara gramatik dan pragmatik. Adapun makna gramatik yakni menghasilkan penggunaan bahasa yang 1) benar/betul atau 2) salah, sedangkan pragmatik menghasilkan penggunaan bahasa yang 1) wajar atau tidak wajar, 2) hormat atau tidak hormat, 3) sopan/santun atau tidak sopan/santun.
Orang yang berbahasa santun adalah orang yang tidak hanya dapat berbahasa dengan tepat, jelas, dan sopan, tetapi selaras dengan adat istiadat bahasa yang sudah menjadi tata tertib bahasa masyarakat serta sesuai dengan peraturan bahasa. Manusia utuh menurut Koendjono adalah individu yang bermasyarakat yang menaati peraturan-peraturan masyarakat termasuk peraturan berbahasa. Melihat karakter bahasa sebagaimana dimaksud di atas, maka bahasa di sini bukanlah bentuk keahlian khusus tentang bahasa, tetapi kemampuan dan keterampilan berbahasa yang perlu dimiliki orang. Karena itu bahasa yang dimaksud merupakan bagian dari pendidikan umum.
Salah satu bagian dari tujuan pendidikan umum tersebut adalah membina manusia agar mampu berpikir dan berkomunikasi sesuai dengan nilai-nilai moral maupun agama. McConnell (dalam Henry,1953 :13) mengemukakan pendidikan umum seyogyanya melahirkan manusia yang memiliki kemampuan berpikir dan berkomunikasi, membuat keputusan-keputusan dan penilaian yang cerdas dan bijaksana, dan untuk mengevaluasi situasi moral, serta mampu bekerja secara efektif pada tujuan yang baik
Kemampuan berpikir dan berkomunikasi hakekatnya berangkat dari fitrah manusia dan dikembangkan melalui proses pendidikan. Berpikir dan berkomunikasi merupakan dua hal yang tidak bisa dipisah-pisahkan karena berkomunikasi merupakan produk berpikir. Manusia yang berpikir mengaktualisasikan pikirannya dalam bentuk komunikasi baik verbal maupun non-verbal, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan.
Dalam kaitan nilai moral, etika, maupun agama, maka pendidikan umum merupakan pendidikan yang mengarah kepada pembinaan kepribadian yang berakhlakul karimah. Salah satu wujud dari akhlakul karimah adalah kemampuan dan keterampilan berbahasa santun yang sarat kaitannya dengan nilai moral, etika dan agama.
Bahasa dalam kaitan pendidikan umum oleh Phenix (1964:61) dimasukkan ke dalam katagori makna simbolik (symbolic meaning), karena hakekat bahasa adalah simbol-simbol. Komunikasi menggunakan bahasa merupakan komunikasi simbol yang saling dipahami.
Bahasa tidak pernah lepas dari masyarakatnya sebagaimana diungkapkan Fishman (dalam Alwasilah,1993:37) yang mendefinisikan masyarakat bahasa adalah suatu masyarakat yang semua anggotanya memiliki bersama paling tidak satu ragam ujaran dan norma-norma untuk pemakaiannya yang cocok. Bahasa sebagai alat komunikasi digunakan untuk berkomunikasi dalam arti menyampaikan pikiran, gagasan, dan informasi yang tidak pernah lepas dari aspek ruang dan waktu, yaitu tempat atau masyarakat dimana bahasa itu digunakan dan kapan bahasa itu diungkapkan.
Masyarakat sebagai kelompok manusia membentuk dan mewujudkan suatu lingkungan yang dikehendaki oleh para anggotanya. Nilai dan norma yang berlaku di dalamnya tergantung kepada kesepakatan yang diberlakukan dalam masyarakat itu. Manusia, interaksi sosial, agama, dan alam sekitarnya merupakan unsur-unsur yang saling pengaruhi dalam membentuk norma.
Manusia sebagai makhluk moral memiliki potensi dalam dirinya untuk cenderung kepada hal-hal yang baik Interaksi sosial antar manusia mewujudkan kesepakatan norma yang dipegang dan digunakan bersama sebagai acuan normatif sebagai sesuatu yang baik dan diterima secara sosial. Demikian pula agama yang merupakan keyakinan tertinggi memberikan sumber nilai dan norma ilahiyah yang digunakan dalam dimensi pribadi maupun sosial.
Bahasa sebagai produk masyarakat, tidak terlepas dari lingkungan sosial budaya masyarakatnya. Masyarakat yang bergerak secara dinamis menggerakkan bahasa secara dinamis pula. Suryalaga (1993:23), menyebutkan bahwa kesopanan atau tata krama dan perubahannya tidak terlepas dari faktor waktu, tempat, struktur sosial dan situasi. Waktu dan perobahannya dapat menggeser suatu tata krama, misalnya tatak rama zaman kerajaan berbeda dengan zaman kemerdekaan. Tata krama berkaitan dengan tempat, seperti tata krama makan di rumah atau di rumah makan (etiket). Tata krama terkait pula dengan struktur sosial seperti usia, ketokohan, pekerjaan dan sebagainya. Demikian pula situasi yang menjadikan kesesuaian tingkah laku pada situasi tertentu.
Santun dalam istilah Al-Quran bisa diidentikkan dengan akhlak dari segi bahasa, karena akhlak berarti ciptaan, atau apa yang tercipta, datang, lahir dari manusia dalam kaitan dengan perilaku. Perbedaan antara santun dengan akhlak dapat dilihat dari sumber dan dampaknya. Dari segi sumber, akhlak datang dari Allah Sang Pencipta, sedangkan santun bersumber dari masyarakat/budaya. Dari segi dampak dapat dibedakan, kalau akhlak dampaknya dipandang baik oleh manusia atau masyarakat sekaligus juga baik dalam pandangan Allah. Sedangkan santun dipandang baik oleh masyarakat, tetapi tidak selalu dipandang baik menurut Allah. Kendatipun demikian dalam pandangan Islam, nilai-nilai budaya bisa saja diadopsi oleh agama sebagai nilai-nilai yang baik menurut agama. Inilah yang dikenal dengan istilah ma’ruf. Ma’ruf berasal dari kata ‘urf, yaitu kebiasaan baik yang berlaku di masyarakat yang juga dipandang baik menurut pandangan Tuhan.
Temuan Penelitian
Penelitian ini menemukan dua aspek penting dalam pengembangan berbahasa santun, yaitu aspek teoritis dan praktis dalam pengembangan berbahasa santun di sekolah, yaitu:
1. Temuan teoritis
Aspek teoritis yang ditemukan dalam penelitian ini adalah teori berbahasa santun yang diangkat dari al-Quran dan al-Hadis yang dikatagorisasikan ke dalam enam prinsip berbahasa santun, yaitu qaulan sadidan, qaulan ma’rufan, qaulan balighan, qaulan maysuran, qaulan kariman, dan qaulan layyinan. Keenam prinsip tersebut dijabarkan dalam bentuk nilai-nilai berbahasa sebagai berikut: 1) kebenaran, 2) kejujuran, 3) keadilan, 4) kebaikan, 5) lurus, 6) halus, 7) sopan, 8) pantas, 9) penghargaan, 10) khidmat, 11) optimisme, 12) indah 13) menyenangkan, 14) logis, 15) fasih, 16) terang, 17) tepat, 18) menyentuh hati, 19) selaras, 20) mengesankan, 21) tenang, 22) efektif, 23) lunak, 24) dermawan, 25) lemah lembut, dan 26) rendah hati.
2. Temuan Praktis
Temuan penelitian yang bersifat praktis adalah sebagai berikut:
a. Strategi sekolah dalam pengembangan bahasa santun
Yang dimaksud dengan strategi sekolah adalah usaha atau cara-cara sekolah untuk mewujudkan iklim pendidikan yang layak bagi terjadinya proses pendidikan bahasa santun. Strategi sekolah tersebut adalah sebagai berikut:
1) Berbahasa santun dimasukkan sebagai salah satu point dalam tata tertib sekolah
2) Peningkatan disiplin guru, karyawan dan siswa dengan membiasakan untuk berbahasa santun di sekolah
3) Pemasangan plakat-plakat dan brosur-brosur yang berisi ajakan dan anjuran untuk membiasakan berbahasa santun
4) Memasukkan aspek kesantunan berbahasa dalam berbagai seleksi rangking, kenaikan kelas, kelulusan, dan pemilihan siswa teladan
5) Menjalin komunikasi antara sekolah, keluarga, dan masyarakat yang memberikan penekanan terhadap pembinaan berbahasa santun di sekolah, keluarga, dan masyarakat
6) Pemberian muatan kesantunan pada berbagai mata pelajaran di sekolah
7) Pengetatan penerimaan guru, siswa dan karyawan sekolah yang baru maupun pindahan dengan memasukkan kriteria kesantunan sebagai salah satu bahan seleksi penerimaan
8) Membudayakan teguran di kalangan warga sekolah kepada orang yang tidak berbahasa santun.
b. Strategi pembelajaran bahasa santun
1) Strategi dasar pembelajaran berbahasa santun
Strategi yang dimaksud adalah pola umum kegiatan guru-siswa dalam mewujudkan kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Mengingat pengembangan bahasa santun tidak tercantum dalam kurikulum di sekolah, maka strategi belajar bahasa santun diformat pada suatu kegiatan belajar mengajar.
Dalam penelitian ini ditemukan empat strategi dasar tersebut pada belajar mengajar bahasa santun sebagai berikut:
a) menetapkan tujuan pembelajaran bahasa santun berupa perubahan tingkah laku yang diharapkan, yaitu kemampuan dan sikap santun dalam berbahasa yang mencakup kemampuan menggunakan bahasa dan tingkah laku santun.
Tujuan pembelajaran bahasa santun terdiri atas:
(1) siswa mampu mengatakan kosa kata yang santun dan mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari;
(2) siswa mampu membahasakan kata-kata santun dan mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari.
(3) menetapkan pedoman umum pembelajaran bahasa santun dalam proses belajar mengajar berbagai bidang studi.
Pedoman umum pembelajaran bahasa santun di dalam kelas adalah sebagai berikut:
(a) guru semua bidang studi menggunakan bahasa pengantar dalam pelajarannya dengan menggunakan bahasa yang santun;
(b) sedapat mungkin guru mengaitkan mata pelajarannya dengan nilai-nilai termasuk etika kesantunan;
(c) guru menegur siswa yang menggunakan bahasa tidak santun dalam proses belajar mengajar;
(d) guru mendorong siswa untuk menggunakan bahasa dan sikap santun.
(4) menetapkan prosedur dan metode pembelajaran bahasa santun.
(a) membiasakan guru mengajar dengan menggunakan bahasa santun sebagai metode peniruan dan keteladanan;
(b) membiasakan siswa berbahasa santun;
(c) memberikan reward pada saat siswa berbahasa santun di kelas dalam bentuk pujian;
(d) memberikan kritik terhadap siswa yang menggunakan bahasa tidak santun di dalam kegiatan belajar mengajar.
(5) Menetapkan tolok ukur keberhasilan pembelajaran dalam bentuk tingkah laku berbahasa santun yang terdiri atas:
(a) pengetahuan tentang kosa kata dan kalimat-kalimat santun;
(b) keterampilan menggunakan berbahasa santun dalam berbagai situasi.
c. Langkah-langkah strategi pembelajaran berbahasa santun
Berdasarkan teori-teori tentang strategi yang dikemukakan para ahli, diambil secara eklektik dan diaplikasikan pada belajar mengajar berbahasa santun yang memiliki komponen-komponen sebagai berkut:
(1) Tahapan langkah-langkah PBM
(2) Prinsip-prinsip reaksi guru-siswa
(3) sistem sosial
(4) sistem penunjang
Keempat komponen tersebut saling berkaitan dan membentuk strategi pembelajaran bahasa santun sebagaimana digambarkan dalam diagram di bawah ini.
Sistem penunjang
Aspek-aspek strategi pembelajaran berbahasa santun
Strategi pembelajaran berbahasa santun beserta komponen lainnya secara operasional dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Langkah-langkah Pembelajaran Berbahasa Santun:
Langkah 1: Persiapan (Pre-conditioning, readiness)
Menyiapkan siswa untuk memasuki proses belajar mengajar yang mengandung nilai kesantunan dengan membawanya kepada pengalaman-pengalaman yang dapat dihayati bahwa berbahasa santun merupakan bagian yang penting dalam kehidupan. Penyiapan siswa untuk memasuki proses belajar mengajar dilakukan dengan mempersiapkan fisik dan mental. Penyiapan fisik menyangkut penataan ruang sehingga layak untuk dijadikan tempat belajar. Penyiapan mental adalah kesiapan siswa secara psikologis untuk diajak kepada proses belajar mengajar.
Langkah 2: Pembukaan dan penciptaan iklim belajar
Memulai pembelajaran dengan membawa siswa kepada proses pembelajaran. Komunikasi guru diupayakan untuk memancing perhatian siswa memasuki suasana pembelajaran yang akan diciptakan. Dalam tahap ini guru mengemukakan kosa kata dan kalimat santun serta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dengan disertai nada suara, dan gerak yang seyogyanya melekat dalam pembahasaannya.
Iklim belajar diciptakan guru dalam komunikasinya dengan siswa dengan mengarahkan kepada sentuhan-sentuhan psikologis dan emosional sehingga mendorong siswa untuk menghayati makna kesantunan yang dibahas.
Langkah 3: Pengecekan iklim belajar
Melakukan pengecekan terhadap suasana yang hidup dalam proses belajar mengajar sebagai akibat komunikasi guru-siswa. Pengecekan suasana dilakukan guru dengan mengukur iklim yang terjadi melalui penghayatan dan pengamatan terhadap suasana yang terjadi. Indikator turun naiknya suasana dapat diamati melalui mimik siswa dan suasana kelas.
Langkah 4: Penguatan (re-inforcement)
Pada langkah ini materi yang telah disampaikan kepada siswa di beri penguatan-penguatan sehingga materi yang diajarkan bukan hanya sebatas diketahui atau dipahami, tetapi dihayati dan dijadikan bagian dari dirinya. Penguatan dapat dilakukan dengan pengulangan dan penekanan-penekanan pada bagian-bagian penting. Pengulangan dimaksud untuk memberikan daya dorong agar materi dapat dijadikan bagian yang fungsional bagi siswa sehingga penguasaan terhadap materi menajdi kebutuhan siswa. Demikian pula penekanan dilakukan untuk memberikan ketegasan dan penguatan sehingga materi yang telah disampaikan dapat melekat dalam diri siswa.
Langkah 5: Evaluasi
Pada bagian ini guru melakukan evaluasi terhadap aspek-aspek pengetahuan, penghayatan dan perilaku siswa dalam hubungannya dengan berbahasa santun. Aspek pengetahuan siswa dilakukan dengan mengevaluasi pengetahuan siswa terhadap penguasaan kosa kata bahasa santun yang dibahas pada pertemuan tersebut. Aspek penghayatan dapat dilakukan dengan mengamati cara pembahasaan kosa kata sesuai dengan intonasi yang diperlukan, seperti lentong. Sedangkan aspek perilaku dilakukan dengan mengamati isyarat –isyarat dalam kesantunan berbahasa, seperti rengkuh.
Langkah 6: Penyimpulan dan penutup
Menyimpulkan pelajaran dilakukan dengan cara mengarahkan siswa untuk dapat menyimpulkan hasil pembahasan secara benar. Penyimpulan dapat dilakukan dengan cara tanya jawab antara guru-siswa. Jawaban siswa diarahkan untuk sampai kepada kesimpulan yang benar sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.
2. Prinsip-prinsip reaksi Guru-Siswa
Reaksi guru-siswa berkaitan dengan stimulus dan respons yang terjadi dalam komunikasi guru-siswa. Bentuk reaksi antara lain perhatian, penghargaan (reward), atau teguran (punishment).
3. Sistem Sosial
Distem sosial berhubungan dengan komunikasi antara guru-siswa, siswa-siswa, dan komunikasi lainnya yang menunjang proses pembelajaran. Sistem sosial merupakan proses penunjang terciptanya iklim yang kondusif untuk terjadinya proses pendidikan.
4. Sistem Penunjang
Sistem penunjang bisa dalam bentuk material seperti media pengajaran dan juga dalam bentuk keterampilan guru yang menunjang proses belajar mengajar.
Rekomendasi
1. Pengembangan Pendidikan Umum
Bahasa santun sebagai salah satu kajian pendidikan umum dapat dijadikan jembatan pertama menuju pemaknaan lebih mendasar pada tujuan, peran dan fungsi pendidikan umum dengan mengambil nilai-nilai dari agama. Pendidikan umum mengarahkan tujuannya kepada perwujudan manusia yang berkepribadian. Sosok manusia yang memiliki kepribadian ditampakkan secara nyata melalui bahasa yang ditampilkannya. Karena itu, bahasa dalam pendidikan umum merupakan aspek yang sangat penting dan menonjol dan sekaligus menjadi ciri kepribadian yang tampak ke permukaan.
Pendidikan umum memerlukan kekayaan metode pendidikan nilai. Internalisasi nilai-nilai, penghayatan yang mendalam dan penciptaan iklim pendidikan menjadi kunci utama dalam proses pendidikan umum. Dengan demikian penelitian ini merekomendasikan perlunya pengembangan nilai-nilai bahasa santun sebagai kajian utama pendidikan umum yang memberi aspek penting dalam mewujudkan salah satu ciri pendidikan umum.
2. Pengembangan Institusi
Sekolah sebagai institusi pendidikan yang bertugas membina nilai-nilai kesantunan seyogyanya memberikan perhatian lebih besar pada pembinaan bahasa santun, karena manusia berkepribadian yang menjadi tujuan pendidian nasional, salah satu cirinya adalah berbahasa santun.
Daftar Pustaka
Riwayat Hidup
Tidak ada komentar:
Posting Komentar