PEMBELAJARAN NILAI/ETIKA UNTUK
ANAK USIA DINI
Disampaiakan pada hari Minggu tanggal 14 Desember 2008
di Gedung PGRI Kabupaten Sumedang
Oleh : Prof. Dr. H. Sofyan Sauri, M.Pd
Ketua Program Studi Pendidikan Umum/Nilai
Sekolah Pasca Sarjana Universitas Pendidikan Indonesia/UPI Bandung
ANAK USIA DINI
Disampaiakan pada hari Minggu tanggal 14 Desember 2008
di Gedung PGRI Kabupaten Sumedang
Oleh : Prof. Dr. H. Sofyan Sauri, M.Pd
Ketua Program Studi Pendidikan Umum/Nilai
Sekolah Pasca Sarjana Universitas Pendidikan Indonesia/UPI Bandung
PENDAHULUAN
Masih segar dalam ingatan, ketika sebuah stasiun televisi swasta menayangkan profil tentang kondisi pendidikan di negeri ini, melalui sebuah highlights "Menggugat Pendidikan Nasional" yang menyoroti putusan Mahkamah Konstitusi tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2009 untuk sektor pendidikan. Pemerintah yang menganggarkan 20% dari APBN untuk pendidikan, disinyalir masih belum menjamin terselesaikannya persoalan pendidikan nasional negera ini. Terbukti dengan masih kurang meratanya fasilitas pendidikan dan terabaikannya hak-hak anak dalam mengenyam pendidikan, serta dengan banyaknya bangunan-bangunan sekolah di negeri ini yang rusak dan tak layak digunakan untuk belajar. Hampir mencapai 50% untuk bangunan SD/MI, 18% bangunan rusak untuk SMP dan MTs serta jumlah anak putus sekolah untuk tingkat SD yang mencapai 2,97% atau sekitar 211.063.000 jiwa. (sumber : Depniknas 2007/2008).
Kenyataan di atas sangat mengiris hati, bagaimana mungkin peradaban bangsa ini akan di bangun sementara pendidikan sebagai alat untuk membangun manusianyapun belum menjadi prioritas yang utama.
Jutaan anak bangsa merintih di sudut-sudut bumi pertiwi, tidak hanya perut kosong menunggu datangnya nasi, tapi otak mereka pun turut meminta haknya untuk diberi ilmu. Anak-anak negeri hanya bisa berharap dengan tapak-tapak kaki mereka yang terlalu lemah untuk berlari mengejar cita-cita, sementara para pemimpin negara menghambur-hamburkan uang dengan dalih untuk mempersiapkan pesta demokrasi. Terlepas dari faktor ekonomi yang "memaksa" mereka untuk melakukan hal tersebut. Tetapi ditinjau dari sisi lain, permasalahan ini sebenarnya merupakan tugas utama pemerintah untuk segera mewujudkan "kemerdekaan" pendidikan terutama bagi anak-anak bangsa, sebagaimana ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak , pasal 9 ayat (1) menyatakan " Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya."
Masih banyaknya anak yang belum mendapatkan hak dalam pendidikan tidak lepas dari latar belakang sejarah negeri ini dan kondisi bangsa yang masih carut marut. Setelah beberapa kurun waktu kebelakang di awal era reformasi mengalami berbagai tempaan dan bencana. Hal ini memang bukan sepenuhnya kesalahan pemerintah. Namun, persoalan kemiskinan yang masih belum teratasi, korupsi yang terjadi di berbagai instansi (termasuk di lembaga yang mengatasnamakan wakil rakyat), pertarungan elit politik yang sudah menjadi santapan sehari-hari, kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang diikuti dengan naiknya berbagai harga makanan pokok dan persoalan-persoalan krusial lainnya, semuanya itu sudah barang tentu berdampak kepada sektor pendidikan di negeri ini yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah sebagai penyelenggara negara.
Terlepas dari masalah yang dihadapi negara kita, pendidikan tetap harus menjadi prioritas yang utama bagi pemerintah. Karena kemajuan sebuah negara terkait erat dengan kualitas pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah tersebut. Harus diakui, bahwa pada kurun waktu belakangan kualitas pendidikan kita terutama di lembaga formal terus menurun ditandai dengan menurunnya kualitas sumber daya manusia. Bahkan dinilai masih gagal dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, meningkatkan akhlaq mulia dan merajut kerukunan antar anak bangsa yang beragam latar belakangnya, demikian yang pernah dikatakan oleh Hafid Abbas ketika menjabat direktur jendral perlindungan Hak Asasi Manusia, terbukti dengan masih belum terciptanya masyarakat yang rukun dan damai bahkan bangsa Indonesia menjadi negara dengan tingkat kekerasan paling tinggi di dunia. Pakar pendidikan Arief Rachman juga pernah menilai terpuruknya bangsa dalam segala bidang disebabkan oleh masalah utama pendidikan yang tergambar dari kurang meratanya fasilitas, mutu guru, jumlah siswa, dan kurikulum yang belum mengakomodasi nilai-nilai budaya bangsa.
Menyoroti tentang kualitas pendidikan, sebuah informasi yang mencengangkan dari artikel yang ditulis di internet bahwa sebuah negara yang beribukota Helsinki tempat di mana sebuah perjanjian damai dengan GAM dirundingkan ternyata merupakan negara yang menduduki peringkat pertama sebagai negara yang kualitas pendidikannya terbaik di dunia. Peringkat I dunia diperoleh negara yang bernama Finlandia ini berdasarkan hasil survey internasional yang komprehensif pada tahun 2003 oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) melalui sebuah tes yang dikenal dengan nama PISA yaitu mengukur kemampuan siswa di bidang Sains, Membaca dan Matematika. Bahkan negara Finlandia bukan saja unggul secara akademis tetapi unggul dalam mewujudkan pendidikan bagi anak-anak yang lemah mental. Faktor yang meyebabkan negara Finlandia ini menjadi negara yang memiliki kualitas pendidikan terbaik di dunia ternyata salah satunya terletak pada peningkatan kualitas guru. Selain itu pula pemerintah Finlandia sangat memperhatikan anggaran untuk pendidikan serta memiliki sistem pendidikan yang berkualitas. Mulai dari kurikulum, metodologi pembelajaran, sistem penilaian, kinerja guru dan sebagainya, termasuk model pendekatan kepada siswa atau anak-anak ketika mereka menyampaikan pengajaran.
Yang harus mendapatkan perhatian serius dalam dunia pendidikan adakah Pendidikan anak usia dini (PAUD). Jenjang pendidikan sebelum jenjang pendidikan dasar yang merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut, yang diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan informal.
Pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual), sosio emosional (sikap dan perilaku serta agama) bahasa dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini.
Ada dua tujuan diselenggarakannya pendidikan anak usia dini yaitu: Tujuan utama: untuk membentuk anak Indonesia yang berkualitas, yaitu anak yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat perkembangannya sehingga memiliki kesiapan yang optimal di dalam memasuki pendidikan dasar serta mengarungi kehidupan di masa dewasa. Tujuan penyerta: untuk membantu menyiapkan anak mencapai kesiapan belajar (akademik) di sekolah.
Apabila perhatian yang maksimal dalam penyelenggaraan pembelajaran bagi anak usia dini, terutama dalam penanaman pendidikan nilai atau etika, maka akan lebih meresap dan mantap juga kuat, bertahan pada anak usia ini, hal sebagaimana diungkapkan dalam sebuah peribahasa “Belajar diwaktu kecil bagai mengukir diatas batau” artinya mengukir di atas batu akan bertahan lama walaupun terkena hujan maupun panas. Dari penjelasan latar belakakng di atas timnullah masalah sepertia pembelajaran pendidikan nilai atau etika pada anak usia dini?
LANDASAN HAK MEMPEROLEH PENDIDIDIKAN
Landasan Yuridis
Hak memperoleh pendidikan sebenarnya telah digariskan secara yuridis dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945, Bab XIII, pasal 31 ayat 1 dan 2 : 1) Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran; 2) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undang-undang. Demikian juga yang terdapat dalam penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, disebutkan, "bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu, serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan”.
Dalam Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005, Pasal 54 disebutkan bahwa pengelolaan satuan pendidikan dilaksanakan secara mandiri, efisien, efektif dan akuntabel. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) merupakan jenjang pendidikan yang sangat penting dalam mempersiapkan anak untuk mengikuti pendidikan dasar sehingga perlu dikelola dengan perencanaan dan penyelanggaraan yang baik. Keberlangsungan dan perkembangan pendidikan PAUD tidak terlepas dari peran serta pendidik PAUD. Para pendidik tersebut harus mampu memahami kebutuhan dengan pendidikan anak, sehingga keberadaannya benar-benar dapat memberikan layanan yang bermutu bagi masyarakat.
Pusat Pengembangan Sumberdaya Manusia (P2SDM) LPPM IPB memandang perlu menyelenggarakan Pelatihan Guru PAUD untuk Peningkatan Kompetensi Pendidik PAUD dalam Proses Belajar Mengajar. Salah satu pendekatan yang digunakan dalam proses belajar mengajar PAUD adalah Beyond Centers and Circle Times (BCCT), yaitu anak dirangsang untuk secara aktif melakukan kegiatan bermain sambil belajar. Untuk itu sentra-sentra pembelajaran disiapkan secara permanen, lengkap dengan fasilitas yang dibutuhkan dan selalu menggunakan pijakan duduk melingkar sebelum dan sesudah melakukan kegiatan dalam sentra. Pendekatan pembelajaran berfokus pada anak sebagai subjek “pembelajar” sehingga anak terbantu dalam pengembangan dirinya sesuai dengan bakat/potensi masing-masing. Dasar-dasarPelaksanan (1) UU RI No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. (2) UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas (3) Peraturan Pemerintah RI No. 73 Tahun 1991 tentang Pendidikan Luas Sekolah (4) Peraturan Pemerintah RI No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (5) Permendiknas No. 8 Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Ditjen PMPTK
Demikian sebenarnya secara hukum kita sudah memiliki landasan yang kuat untuk mewujudkan hak anak dalam memperoleh pendidikan di negara ini, apabila pemerintah saat ini belum mampu melaksanakan ketentuan yang telah digariskan oleh Undang-undang kita dapat mengkritisinya berdasarkan landasan hukum yang berlaku di negara kita, bahkan pemerintah sendiri telah menyediakan wadah bagi masyarakat untuk dijadikan tempat pengaduan berupa lembaga yang independen demi terwujudnya pendidikan yang seharusnya sudah menjadi hak bagi semua anak di sudut-sudut bumi pertiwi ini. Rentangan anak usia dini menurut Pasal 28 UU Sisdiknas No.20/2003 ayat 1 adalah 0-6 tahun. Sementara menurut kajian rumpun keilmuan PAUD dan penyelenggaraannya di beberapa negara, PAUD dilaksanakan sejak usia 0-8 tahun.
Landasan Religius
Anak adalah amanat bagi kedua orang tuanya, kewajiban orang tua memberikan pendidikan kepada anak merupakan urusan yang sangat berharga dan menempati prioritas tertinggi. Kalbu seorang anak yang masih bersih bak permata yang tak ternilai harganya, bila ia dididik dan dibiasakan untuk melakukan kebaikan, niscaya dia akan tumbuh menjadi baik, sebaliknya bila ia dididik dan dibiasakan dengan perbuatan jelek, maka ia akan menjadi orang yang merugi dan celaka dunia akhirat. Demikian yang ditulis Imam Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddinnya.
Menurut pandangan Islam mengenai hak anak dalam mendapatkan pendidikan sebetulnya terkait erat dengan tanggung jawab orang tua terhadap anaknya. Orang tua berkewajiban memberikan perhatian kepada anak dan dituntut untuk tidak lalai dalam mendidiknya. Jika anak merupakan amanah dari Allah SWT, maka otomatis mendidiknya termasuk bagian dari menunaikan amanah-Nya. Sebaliknya, melalaikan hak-hak mereka termasuk khianat terhadap amanah Allah SWT (QS. An-Nisa: 58). Perkembangan dan kecerdasan anak ditentukan bagaimana orang tua mendidiknya. Oleh karena itu, amanah mendidik anak merupakan sebuah hal yang teramat penting dan tidak seharusnya disepelekan oleh orang tua, kewajiban mereka terhadap anaknya bukan sekedar memenuhi kebutuhan secara lahir seperti makan, minum, pakaian, tempat tinggal dan sebagainya, tetapi juga harus memperhatikan kebutuhan bathin mereka melalui pendidikan (agama). Sebagaimana Allah SWT berfirman yang tercantum dalam kitab Alqur'an yang mulia : "Wahai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu." (QS. At-Tahrim :6). Mengenai pentingnya menunaikan "amanah" dipertegas juga dalam hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Buhari: "Barangsiapa diberi amanah oleh Allah, lalu ia mati (sedangkan pada) hari kematiannya ia dalam keadaan mengkhinati amanahnya, niscaya Allah mengharamkan surga baginya". Dari riwayat lain, Ibnul Qayyim berkata, "Barangsiapa yang melalaikan pendidikan anaknya serta meninggalkannya secara sia-sia, berarti ia telah berbuat yang terburuk".
Demikian sebagai bangsa yang beragama khususnya bagi yang beragama Islam, mewujudkan pendidikan bukanlah sekedar tugas pemerintah, melainkan lebih kepada tanggung jawab kita sebagai orang tua untuk mendidik anak yang dapat dimulai dari lingkungan terdekat yaitu keluarga.
HAKIKAT PENDIDIKAN BAGI ANAK
Menelusuri hakikat pendidikan bagi anak sebenarnya erat kaitannya dengan pengertian anak sebagai manusia dan makhluk Allah termasuk tujuan-tujuannya. Anak dilahirkan dalam kondisi yang lemah dan tidak tahu apapun, kemudian tumbuh dan berkembang menjadi sesosok manusia yang sesungguhnya. Pertumbuhan dan perkembangan manusia tidak dapat diserahkan begitu saja kepada alam lingkungannya; ia memerlukan bimbingan dan pengarahan karena terbatas kondisi fisik serta kemampuan yang dimilikinya. Oleh karena itu, manusia adalah makhluk yang sebenarnya memerlukan pendidikan. (Sauri , 2006 : 39)
Ibarat bayi yang baru lahir dalam keadaan yang serba lemah. Ia belum dapat berdiri sendiri, belum bisa mencari makan sendiri. Semuanya dalam keadaan yang serba tergantung pada orang lain. Walaupun demikian, ia telah menunjukkan keunikannya kendati dalam takaran yang sederhana. Pada saat ia lahir dari kandungan ibunya ia telah mengekspresikan dirinya dalam bentuk tangis atau gerakan-gerakan tertentu. Tangis atau gerakan yang tanpa latihan itu menggambarkan bahwa anak sejak lahir telah memiliki potensi untuk berkembang.
Ada beberapa pandangan yang bisa mempengaruhi perkembangan anak diantaranya: pertama, pandangan Nativisme yaitu berpendapat bahwa perkembangan individu semata-mata ditentukan oleh faktor yang dibawa sejak lahir, pandangan ini diperkenalkan oleh filsof Jerman Schopenhauer (1788-1880) Kedua, pandangan Environtalisme yang dikemukakan oleh John Locke seorang filsof Inggris (1632-1704) berpendapat bahwa perkembangan anak bergantung pada lingkungannya. Ketiga, pandangan Konvergensi yang berpendapat bahwa dalam proses perkembangan anak, faktor bawaan ataupun faktor lingkungan memberikan kontribusi yang sepadan. Pandangan ini dikembangkan oleh William Stern seorang ahli pendidikan Jerman yang hidup pada tahun 1871-1939. Pendapat pandangan ini tidak memisahkan secara terkotak-kotak antara faktor bawaan dengan faktor lingkungan. Faktor bawaan misalnya bakat seseorang, bisa tidak akan berkembang manakala tidak ada lingkungan yang mendukungnya. Sebaliknya lingkungan yang baik akan kurang bermakna apa-apa manakala anak sendiri tidak menunjukkan bakat atau kemampuanya untuk mengembangkan diri. Ini mengandung maksud bahwa anak dengan segala potensi yang dimilikinya adalah makhluk yang memerlukan bantuan untuk berkembang ke arah kedewasaan. Oleh karena itu, dalam tahapan selanjutnya ia perlu dibimbing dan diberi pendidikan ke arah pendewasaan dirinya.
Adapun menurut pandangan Islam, anak adalah sebagai manusia yang mempunyai watak dasar (fitrah) yang baik, yang dalam perkembangannya sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang datang di luar dirinya. Konsep Al-Qur'an mengenai fitrah berbeda dengan konsep teori atau pandangan yang lain seperti disebutkan di atas. Tentang Fitrah ini dapat ditemukan dalam QS. Ar-Ruum ayat 30: "(Tetaplah) atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia berdasarkan fitrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah itu." Namun diakui dalam pemikiran Islam bahwa lingkungan berpengaruh juga pada perkembangan fitrah anak seperti diungkapkan dalam sabda Nabi Muhammad SAW: "Tiada seorang manusia dilahirkan, kecuali dalam keadaan fitrah (suci). Orang tuanyalah yang menjadikannya seorang Yahudi dan Nasrani". (HR. Muslim). Dalam riwayat lain : "Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah (islam), orang tuanyalah yang menjadikan ia Yahudi, Nasrani atau Majusi." (HR. Bukhari Muslim)
Fitrah tanpa memperdulikan lingkungan sekitar tidak akan berkembang, mengutip ungkapan yang di tulis Confucius "Walau manusia mempunyai fitrah kesucian, namun tanpa diikuti dengan intruksi (pendidikan dan sosialisai), manusia dapat berubah menjadi binatang, bahkan lebih buruk lagi." Tetapi dalam perkembangannya anak tidak dapat dipandang sebagai budak lingkungan, Artinya lingkungan bukanlah satu-satunya faktor yang dapat mempengaruhi individu anak. Namun yang jelas menurut pandangan Islam anak sebagai manusia yang diciptakan Allah SWT berdasarkan fitrahnya, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Fitrah inilah yang kemudian akan membedakan manusia dengan makhluq Allah lainnya, dan fitrah ini pulalah yang membuat manusia itu istimewa dan lebih mulia. Hal demikan sesungguhnya menunjukkan kepada kita bahwa manusia dapat memperoleh kecakapan melalui sesuatu yang bisa merubah dirinya menjadi lebih baik dan tahu tentang berbagai hal, yaitu melalui pendidikan. Karena pendidikan merupakan salah atu jembatan membuka tabir ilmu pengetahuan dan teknologi. Dan melalui pendidikan pula manusia derajatnya bisa meningkat dan kehidupannya akan berubah sesuai dengan tingkat pendidikannya. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Al- Mujadilah ayat 11: " ……. Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. . ."
MAKNA PENDIDIKAN DAN PENDIDIKAN SEBAGAI SEBUAH SISTEM
Makna Pendidikan
Dalam kajian yuridis formal, makna pendidikan seperti tersurat dalam UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, diungkapkan sebagai berikut:"Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pada rumusan tersebut, minimal terdapat 4 (empat) hal yang patut mendapat telaah seksama dalam mencermati makna pendidikan, yaitu: "usaha sadar", bagaimana" menyiapkannya, "melalui apa dan bagaimana", serta bagaimana mengetahui hasilnya terutama dalam "peranannya di masa mendatang".
Pertama, pendidikan sebagai usaha sadar. Hal tersebut memiliki makna bahwa pendidikan diselengarakan dengan rencana yang matang, mantap, sistematik, menyeluruh, berjenjang berdasarkan pemikiran yang rasional obyektif disertai dengan kaidah untuk kepentingan masyarakat dalam arti seluas-luasnya. Kedua, fungsi pendidikan adalah menyiapkan peserta didik. Maksudnya pendidikan lebih merupakan suatu proses berkesinambungan dalam upaya menyiapkan peserta didik menuju kesiapan dan kematangan pribadi yang menyangkut tiga aspek yaitu pengetahuan (kognitif), sikap atau perilaku (afektif) dan keterampilan (psikomotorik). Ketiga, Strategi pelaksanaan pendidikan dilakukan melalui berbagai bentuk kegiatan antara lain kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau pelatihan. Secara sederhana bimbingan (guidance) dimaknakan sebagai pemberian bantuan, arahan, nasihat, penyuluhan agar peserta didik dapat mengatasi dan memecahkan masalah yang dialaminya. Sedangkan pengajaran (teaching) adalah bentuk interaksi antara tenaga kependidikan dengan peserta didik dalam suatu kegiatan belajar-mengajar untuk mengembangkan perilaku sesuai dengan tujuan pengajaran. Keempat, garapan pendidikan seyogyanya berpijak ke masa kini dan beroreintasi ke masa depan. Hasilnya yang ingin dicapai oleh proses pendidikan adalah terbinanya sumber daya manusia dengan tuntutan pembangunan, yaitu sosok manusia Indonesia seutuhnya yang bisa memecahkan persoalan hari ini dan masa mendatang.
Pendidikan sebagai sebuah sistem
Pendidikan sebagai suatu sistem dapat ditinjau dari dua hal: (1) sistem pendidikan secara mikro; (2) sistem pendidikan secara makro. Pendidikan secara mikro lebih menekankan pada unsur pendidik dan peserta didik. Polanya lebih merupakan sebagai upaya mencerdaskan peserta didik melalui proses interaksi dan komunikasi, yaitu ada pesan (message) yang akan disampaikan dalam bentuk bahan belajar. Kemudian fungsi pendidik lebih merupakan sebagai pengirim pesan (senders) melalui kegiatan pembelajaran di kelas ataupun di luar kelas. Dalam kajian makro, sistem pendidikan menyangkut berbagai hal atau komponen yang lebih luas lagi, yaitu terdiri dari : 1) input (masukan) berupa sistem nilai dan pengetahuan, sumber daya manusia, masukan instrumental berupa kurikulum, silabus dsb, masukan sarana termasuk di dalamnya fasilitas dan sarana pendidikan yang harus disiapkan; 2) Proses yaitu segala sesuatu yang berkaitan dengan proses belajar mengajar atau proses pembelajaran di sekolah maupun di luar sekolah. Dalam komponen proses ini termsuk di dalamnya telaah kegiatan belajar dengan segala dinamika dan unsur yang mempengaruhinya, serta telaah kegiatan pembelajaranyang dilakukan pendidikdalam kerangka memberikan kemudahan kepada peserta didik untuk terjadinya proses pembelajaran; 3) Keluaran (output) yaitu hasil yang diperoleh pendidikan bukan hanya terbentuknya pribadi lulusan/peserta didik yang memiliki pengetahuan, sikap, dan keterampilan sesuai dengan yang diharapkan dalam tujuan yang ingin dicapai. Namun juga keluaran penddikan mencakup segala hal yang dihsilkan oleh garapan pendidikan berupa : kemampuan peserta didik (human behavior), produk jasa (services) dalam pendidikan seperti hasil penelitian, produk barang berupa karya iintelektua ataupun karya yang sifatnya fisik material.
IMPLEMENTASI HAK ANAK MEMPEROLEH PENDIDIKAN DI INDONESIA
Sebagaimana dituturkan pada pendahuluan, bahwa pada saat ini pendidikan nasional kita masih belum mencapai kualitas pendidikan yang diharapkan. Hal itu terbukti dengan masih rendahnya pemerataan pendidikan bagi semua warga negara, khususnya generasi-generasi anak bangsa di penjuru bumi pertiwi ini. Lantas apa yang dapat kita lakukan untuk mewujudkan hak anak tersebut, tentunya kita jangan sampai patah arang dan putus asa untuk terus berjuang menuntut hak-hak mereka kepada pemerintah dengan landasan hukum yang ada atau dengan upaya apapun yang bisa kita lakukan termasuk melakukan kerjasama dengan pihak swasta agar mereka mau berperan aktif dalam menciptakan instrumen pendidikan yang murah dan terjangkau bagi masyarakat Untuk mewujudkan pendidikan barangkali tidak bisa sepenuhnya mengandalkan pada pemerintah yang tampaknya untuk saat ini belum memperlihatkan keseriusan. Kita sebagai masyarakat sebaiknya proaktif dan cermat memfasilitasi serta mengupayakan sendiri pendidikan sebagai bekal kehidupan untuk masa depan putera-puteri kita kelak.
Dalam prakteknya pendidikan itu ada 3 (tiga), yaitu formal, nonformal, dan informal. Bila kita memiliki keterbatasan mendapatkan pendidikan formal, bukan berarti tamatlah hak kita mendapatkan pendidikan. Kita sebetulnya dapat mengupayakan pendidikan informal yang tidak kalah manfaatnya bagi putera-puteri. Dimanapun kita berpijak, merupakan tempat bagi kita mendidik dan menjadi pendidik, karena mendapatkan pendidikan tidaklah harus di dalam kelas dan bersifat formal. Sebagaimana dijelaskan dalam landasan pendidikan menurut pandangan Islam, pendidikan yang harus lebih awal diterapkan kepada anak adalah di lingkungan keluarga yang merupakan tanggung jawab utama orang tua. Dalam kehidupan sehari-hari dalam keluarga, Ibu adalah pendidik utama dan pertama bagi anak-anak. Kelembutan tangan seorang Ibu dapat mengukir sejarah gemilang perkembangan kecerdasan anak-anak bangsa. Walaupun pendidikan formal dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi mengalami kemunduran, tetapi Ibu sebagai pendidik utama anak-anak jangan ikut serta gagal menciptakan mutu pendidikan alamiah di rumah-rumah mereka.
Upaya lain yang dapat dilakukan bagi sebagian masyarakat yang belum dapat memperoleh pendidikan lewat jalur formal, bisa melalui kursus dan pendidikan lain pada jalur pedidikan luar sekolah seperti program Paket A dan B yang ketentuannya sudah ada dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.73 tahun 1991. Walaupun belum terlealisasikan sepenuhnya bahwa adanya rencana pemerintah tentang program pendidikan gratis juga merupakan sebuah solusi demi pemerataan pendidikan terutama untuk masyarakat yang tidak mampu membayar biaya pendidikan yang sekarang semakin mahal.
Untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional pemerintah maupun swasta diharapkan dapat menyediakan sarana dan prasana pendidikan yang memadai, dimulai dari pembangunan gedung sekolah yang permanen dan kokoh, ruang kelas yang sesuai dengan kapasitas anak, penyediaan sarana buku penunjang, ruang perpusatakaan, laboratorium, dan sebagainya yang tentunya akan menunjang kelancaran program pendidikan terutama yang berkenaan dengan proses belajar mengajar.
Peningkatan kualitas guru merupakan salah satu upaya juga dalam mewujudkan kualitas pendidikan nasional. Guru dituntut harus profesional dalam mendidik anak didiknya. Sesuai Undang-Undang no.14 tahun 2005 tentang peningkatan kualifikasi dan sertifikasi guru dan dosen, Guru harus memenuhi kualifikasi dan kompetensi yang sudah ditetapkan oleh pemerintah saat ini yaitu untuk tahun ke depan pemerintah menetapkan kualifikasi akademik untuk guru melalui pendidikan tinggi sampai jenjang S-1 atau program diploma empat (D-IV). Guru atau pendidik juga wajib memiliki kompetensi profesi yang meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional.
Kompetensi pedagogik yang wajib di miliki oleh seorang pendidik adalah pemahaman wawasan atau landasan kependidikan, pemahaman terhadap peserta didik; pengembangan kurikulum, perancangan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis, evaluasi hasil belajar dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Kompetensi kepribadian, yaitu guru harus mantap, stabil, dewasa, arif dan bijaksana, berwibawa, berkahlak mulia, menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat, mengevaluasi kinerja sendiri, serta mengembangkan diri secara berkelanjutan. Kompetensi Sosial adalah guru dapat berkomunikasi lisan dan tulisan, menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional, bergaul secara efektif dengan peseerta didik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik, dan bergaul secara santun dengan masyarakat. Sedangkan Kompetesi Profesional adalah berhubungan dengan konsep, struktur, dan metode keilmuwan/teknologi/seni yang menaungi/ koheren dengan materi ajar, materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah, hubungan konsep antar mata pelajaran terkait, penerapan konsep-konsep keilmuwan dalam kehidupan sehari-hari, dan kompetensi secara profesional dalam konteks global dengan tetap melestarikan nilai dan budaya nasional. Selain itu pula kualitas pendidikan nasional dapat diwujudkan melalui pemerataan tenaga pengajar yang profesional, diantaranya guru harus mau ditempatkan dimana saja di berbagai daerah terutama di daerah tertinggal yang pendidikannnya belum berkembang seperti di daerah perkotaan.
Pembenahan terhadap metode pengajaran yang selama ini cenderung monoton dan kurang inovatif merupakan upaya juga yang dapat kita lakukan dalam mewujudkan pendidikan yang berkualitas. Penyajian metode pembelajaran yang lebih inovatif dan menciptakan suasana belajar yang menyenangkan akan lebih menumbuhkembangkan potensi-potensi yang dimiliki anak didik sehingga mereka mampu meningkatkan pemahaman terhadap fakta/konsep/prinsip dalam kajian ilmu yang dipelajarinya yang kemudian akan terlihat kemampuannya untuk berpikir logis, kritis, dan kreatif. Sekarang ini telah banyak falsafah dan metodologi pembelajaran yang dipandang baru-mutakhir untuk dikembangkan terutama bagi para pendidik, seperti model pembelajaran konstruktivis, pembelajaran kooperatif, pembelajaran terpadu, pembelajaran aktif, pembelajaran kontekstual (contextual taching and learning atau CTL), pembelajaran berbasis projek (project based learning), pembelajaran berbasis masalah (problem based learning), pembelajaran interaksi dinamis, dan sebagainya termasuk yang kemarin sempat membooming di dunia pendidikan kita yang dipopulerkan melalui seminar-seminar, dan pelatihan yaitu pembelajaran quantum (quantum learning) dan quantum teaching yang dikembangkan gagasannya oleh seorang ibu rumah tangga bernama Bobbi De Porter.
Upaya lain yang sebenarnya sangat perlu segera dibenahi dalam rangka mewujudkan kualitas pendidikan adalah melalui perbaikan/pembenahan sistem pendidikan yang ada. Sebagaimana kita ketahui bahwa pendidikan merupakan sebuah sistem yang terdiri dari komponen-komponen yang satu sama lain saling berkaitan. Komponen-komponen tersebut harus diperbaiki dengan secara bertahap kearah kemajuan dan perbaikan mutu pendidikan. Ada 12 (dua belas) komponen pendidikan yang berhubungan satu sama lain seperti diungkapkan P.H. Coombs (1968:78) yaitu :1. Tujuan dan prioritas; 2. Peserta didik; 3. Manajemen; 4. Struktur dan jadwal; 5. Isi bahan belajar; 6. Pendidik; 7. Alat bantu mengajar; 8. Fasilitas; 9. Teknologi; 10. Pengawasan mutu; 11. Penelitian; 12. Ongkos pendidikan.
PENDIDIKAN NILAI SEBAGAI KENISCAYAAN BAGI ANAK BANGSA.
Ketentuan umum Undang-undang No 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS point 2 menyebutkan bahwa pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UUD Republik Indonesia tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Selain itu, dalam Bab II Pasal 3 disebutkan pula bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Adanya kata-kata beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab dalam tujuan pendidikan nasional di atas menandakan bahwa yang menjadi bahan dalam praktek pendidikan hendaknya berbasis kepada seperangkat nilai sebagai paduan antara ranah kognitif, afektif dan psikomotor. Bahkan, tujuan pendidikan nasional yang utama menekankan pada aspek keimanan dan ketakwaan. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa core value pembangunan karakter moral bangsa bersumber dari keyakinan beragama. Artinya, semua proses pendidikan harus bermuara pada penguatan nilai-nilai ketuhanan sesuai dengan keyakinan agama yang diyakininya.
Praktek pendidikan pada jalur formal dewasa ini justru cenderung kurang memperhatikan esensi dari tujuan pendidikan nasional di atas, hal ini terbukti dengan kurang memadukannya nilai-nilai ketuhanan dalam proses pembelajaran yang dilaksanakannya, ironisnya justru lebih banyak berorientasi kepada pengembangan struktur kognitif semata. Fenomena tersebut tentunya sangat bertentangan dan membuat jarak antara tujuan dan hasil pendidikan nasional semakin jauh.
Berbagai fenomena sebagaimana disebutkan pada bagian pendahuluan, serta kenyataan semakin menggelindingnya proses dekadensi moral dikalangan generasi bangsa, semakin menunjukan bahwa praktek pendidikan dewasa ini tidak bersandar kepada amanah undang-undang yang mengisyaratkan pendidikan yang berbasis kepada seperangkat nilai (baca: pendidikan nilai), serta semakin penting dan mendesaknya pendidikan nilai.
Pendidikan nilai merupakan proses penanaman dan pengembangan nilai-nilai pada diri seseorang. Dalam pengertian yang hampir sama, Mardiatmadja dalam Mulyana (2004:119) mendefinisikan pendidikan nilai sebagai bantuan terhadap peserta didik agar menyadari dan mengalami nilai-nilai serta menempatkannya secara integral dalam keseluruhan hidupnya. Pendidikan nilai tidak hanya merupakan program khusus yang diajarkan melalui sejumlah mata pelajaran, akan tetapi mencakup keseluruhan program pendidikan.
Minimal terdapat empat faktor yang mendukung pendidikan nilai dalam proses pembelajaran berdasarkan UU Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) Nomor 20 tahun 2003:
Pertama, UUSPN No. 20 Tahun 2003 yang bercirikan desentralistik menunjukkan bahwa pengembangan nilai-nilai kemanusiaan terutama yang dikembangkan melalui demokratisasi pendidikan menjadi hal utama. Desenteralisasi tidak hanya dimaknai sebagai pelimpahan wewenang pengelolaan pendidikan pada tingkat daerah atau sekolah, tetapi sebagai upaya pengembangan dan pemberdayaan nilai secara otonom bagi para pelaku pendidikan.
Kedua, tujuan pendidikan nasional yang utama menekankan pada aspek keimanan dan ketaqwaan. Ini mengisyaratkan bahwa core value pembangunan karakter moral bangsa bersumber dari keyakinan beragama. Artinya bahwa semua peroses pendidikan harus bermuara pada penguatan nilai-nilai ketuhanan sesuai dengan keyakinan agama yang diyakini.
Ketiga, disebutkannya kurikulum berbasis kompetensi (KBK) pada UUSPN No. 20 Tahun 2003 menandakan bahwa nilai-nilai kehidupan peserta didik perlu dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan belajar mereka. Kebutuhan dan kemampuan peserta didik hanya dapat dipenuhi kalau proses pembelajaran menjamin tumbuhnya perbedaan individu. Oleh karena itu, pendidikan dituntut mampu mengembangkan tindakan-tindakan edukatif yang deskriptif, kontekstual dan bermakna.
Keempat, perhatian UUSPN No. 20 Tahun 2003 terhadap usia dini (PAUD) memiliki misi nilai yang amat penting bagi perkembangan anak. Walaupun persepsi nilai dalam pemahaman anak belum sedalam pemahaman orang dewasa, namun benih-benih untuk mempersepsi dan mengapresiasi dapat ditumbuhkan pada usia dini. Usia dini adalah masa pertumbuhan nilai yang amat penting karena usia dini merupakan golden age. Di usia ini anak perlu dilatih untuk melibatkan pikiran, perasaan, dan tindakan seperti menyanyi, bermain, menulis, dan menggambar agar pada diri mereka tumbuh nilai-nilai kejujuran, keadilan, kasih sayang, toleransi, keindahan, dan tanggung jawab dalam pemahaman nilai menurut kemampuan mereka.
Dari berbagai pendekatan yang dapat digunakan dalam praktek pendidikan nilai, pendekatan penanaman nilai (inculcation approach) merupakan pendekatan yang paling tepat digunakan dalam pelaksanaan pendidikan nilai di Indonesia. Walaupun pendekatan ini dikritik sebagai pendekatan indoktrinatif oleh penganut filsafat liberal. Namun, berdasarkan kepada nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia dan falsafah Pancasila, pendekatan ini dipandang paling sesuai. Alasan-alasan untuk mendukung pandangan ini antara lain sebagai berikut.
1) Tujuan pendidikan nilai adalah penanaman nilai-nilai tertentu dalam diri siswa. Pengajarannya bertitik tolak dari nilai-nilai sosial tertentu, yakni nilai-nilai Pancasila dan nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia lainnya, yang tumbuh dan berkembangan dalam masyarakat Indonesia.
2) Menurut nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia dan pandangan hidup Pancasila, manusia memiliki berbagai hak dan kewajiban dalam hidupnya. Setiap hak senantiasa disertai dengan kewajiban, misalnya: hak sebagai pembeli, disertai kewajiban sebagai pembeli terhadap penjual; hak sebagai anak, disertai dengan kewajiban sebagai anak terhadap orang tua; hak sebagai pegawai negeri, disertai kewajiban sebagai pegawai negeri terhadap masyarakat dan negara; dan sebagainya. Dalam rangka pendidikan nilai, siswa perlu diperkenalkan dengan hak dan kewajibannya, supaya menyadari dan dapat melaksanakan hak dan kewajiban tersebut dengan sebaik-baiknya.
3) Menurut konsep Pancasila, hakikat manusia adalah makhluk Tuhan Yang Maha Esa, makhluk sosial, dan makhluk individu. Sehubungan dengan hakikatnya itu, manusia memiliki hak dan kewajiban asasi, sebagai hak dan kewajiban dasar yang melekat eksistensi kemanusiaannya itu. Hak dan kewajiban asasi tersebut juga dihargai secara berimbang. Dalam rangka pendidikan nilai, siswa juga perlu diperkenalkan dengan hak dan kewajiban asasinya sebagai manusia.
4) Dalam pengajaran nilai di Indonesia, faktor isi atau nilai merupakan hal yang amat penting. Dalam hal ini berbeda dengan pendidikan moral dalam masyarakat liberal, yang hanya mementingkan proses atau keterampilan dalam membuat pertimbangan moral. Pengajaran nilai menurut pandangan tersebut adalah suatu indoktrinasi yang harus dijauhi. Anak harus diberikan kebebasan untuk memilih dan menentukan nilainya sendiri. Pandangan ini berbeda dengan falsafah Pancasila dan budaya luhur bangsa Indonesia, yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Misalnya, berzina, berjudi, adalah perbuatan tercela yang harus dihindari; orang tua harus dihormati, dan sebagainya. Nilai-nilai ini harus diajarkan kepada anak, sebagai pedoman tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, dalam pengajaran nilai faktor isi nilai dan proses, keduanya sama-sama penting.
Salah satu komponen terpenting dalam pendidikan adalah tujuan pendidikan, tujuan pendidikan dapat diartikan sebagai hasil-hasil yang dicita-citakan dari tindakan pendidikan. Tujuan pendidikan harus diarahkan kepada pengembangan tiga dimensi yang dimiliki oleh manusia yaitu dimensi fisikal, mental dan spiritual. Dimensi fisikal lebih ditandai dengan ketercapaian kemampuan dan sikap yang menjadikan manusia sehat dan kuat. Sedangkan mental berhubungan dengan pengembangan intelegensia atau kecerdasan intelektual. Sementara dimensi spiritual yaitu mengarah kepada perwujudan kualitas kepribadian yang bersifat ruhaniah dalam bentuk tingkah laku, akhlak, dan moralitas yang mencerminkan kualitas kepribadian. Ketiga dimensi tersebut harus dicapai secara terintegrasi dan merupakan satu kesatuan yang akan membentuk kepribadian untuk mencapai manusia yang unggul (Human Excellence).
Namun, pada kenyataannya harus diakui bahwa pendidikan yang berlangsung saat ini belum dapat mewujudkan ketiga dimensi/aspek di atas dengan seimbang dan proporsional. Salah satu penyebabnya adalah penyelengaraan pendidikan lebih menitikberatkan pada aspek intelektual dan kurang menyentuh aspek spritual. Karena itu output pendidikan sebagian besar hanya menampilkan performance intelektual, sementara tampilan sikap dan perilaku terpujinya sangat mengkhawatirkan. Oleh karena itu, dalam rangka membentuk keseimbangan ketiga aspek tersebut pada anak didik, pendidikan mesti melakukan transfer of knowledge sekaligus transformation and internalization of value.
Dalam kaitannya dengan upaya mewujudkan tujuan pendidikan yang terfokus pada aspek spritual, pendidikan nilai merupakan salah satu upaya untuk mengembangkan aspek spiritual. Melalui pembelajaran di lembaga-lembaga formal ataupun informal pendidikan nilai dipandang sangat perlu dan penting untuk diterapkan, mengingat semakin maraknya perilaku-perilaku buruk di kalangan remaja maupun anak-anak sekarang yang membuat tanggung jawab sebagai orang tua maupun pendidik semakin berat. Bukan hanya kesabaran dan keikhlasan yang harus lebih ditunjukkan oleh para guru maupun pun orang tua, tetapi pendidikan agama dan penerapan budi pekerti luhur serta keteladanan orang tua menampilkan akhlaq yang mulia harus lebih diintensifkan baik di lingkungan keluarga maupun di lingkungan sekolah sebagai lembaga formal pendidikan.
Penerapan konsep-konsep pendidikan nilai pernah juga diterapkan pada sebuah lembaga pendidikan di Thailand yaitu di sekolah dan Institute of Sathya Sai Education yang didirikan oleh Dr.Art-Ong Jumsai Na-Ayudha, B.A.,M.A.,D.I.C. Bahkan beliau pernah datang ke Indonesia untuk mengisi sebuah seminar internasional yang bertema "Membangun Bangsa melalui Pendidikan Hati" yang diselenggarakan atas kerjasama Prodi Pendidikan Umum/Nilai dengan Yayasan Pendidikan Sthya Sai Indonesia. Dalam makalahnya yang berjudul "Human Values Integrated Instructional Model" (Model Pembelajaran Nilai-nilai Kemanusian Terpadu), beliau menuliskan sebuah konsep tentang tujuan model pembelajaran yang menerapkan konsep pendidikan nilai dengan menggunakan suku kata dalam kata EDUCATION (SAI 2000, p.82), yang maknanya:
E--- singkatan untuk Enlightenment (pencerahan). Ini adalah proses pencapaian pemahaman dari dalam diri atau bathin melalui peningkatan kesadaran menuju pikiran super sadar yang akan memunculkan intuisi, kebijaksanaan, dan pemahaman.
D--- singkatan untuk Duty and Devotion (tugas dan pengabdian). Pendidikan harus membuat siswa menyadari tugasnya dalam hidup. Selain memiliki tugas atau kewajiban yang terhadap orang tua dan keluarga, siswa juga memiliki kewajiban yang berlandaskan cinta kasih dan belas kasih untuk melayani dan menolong semua orang di masyarakat dan di dunia.
U--- singkatan untuk Understanding (pemahaman). Ini bukan hanya mengenai pemahaman terhadap mata pelajaran yang diberikan dalam kurikulum nasional tetapi juga penting untuk memahami diri sendiri.
C--- singkatan untuk Character (karakter). Guru mesti membentuk karekter yang baik pada diri siswa. Seorang yang berkarakter adalah seorang yang memiliki kekuatan moral dan lima nilai kemanusiaan yaitu Kebenaran, Kebajikan, Kedamaian, Kasih sayang dan tanpa Kekerasan. Nilai-nilai kemanusiaan tersebut harus terpadu dalam pembelajatran di kelas.
A--- singkatan untuk Action (tindakan). Para siswa kini belajar dengan giat dan menuangkan pengetahuan yang dipelajarinya dalam ruang ujian dan keluar dengan kepala kosong. Pengetahuan yang mereka peroleh tidak diterapkan dalam tindakan. Pendidikan seperti itu tak berguna. Apapun yang dipelajari siswa mesti diterapkan dalam praktek. Model pembelajaran yang baik mesti membuat hubungan anatara yang dipelajari dan situasi nyata dalam hidup. Hal ini akan memungkinkan siswa mengaplikasikan pengetahuan ke dalam hidup mereka sendiri.
T--- singkatan untuk Thanking (berterima kasih). Siswa mesti belajar berterima kasih kepada orang-orang yang telah membantu mereka. Di atas segalanya adalah orang tua yang telah melahirkan dan mengasuh mereka. Siswaharus mengasihi dan menghormati orang tua mereka. Selanjutnya siswa harus berterima kasih kepada guru-guru, karena siswa memperoleh pengetahuan dan kebijaksanaan melalui guru-guru. Maka siswa mesti mengasihi dan menghormati guru. Demikian pula, siswa telah mendapatkan banyak hal dari masyarakat, dari bangsa, dari dunia, dan alam. Siswa mesti selalu berterima kasih kepada semua hal.
I--- singkatan untuk Integrity (Integritas). Integritas adalah sifat jujur dan karakter menjunjung kejujuran (hornby 1968). Siswa mesti tumbuh menjadi sesorang yang memiliki integritas, yang bisa dipercaya unutk menjadi pemimpin di bidangnya masing-masing.
O--- singkatan untuk Oneness (kesatuan). Pendidikan mesti membantu siswa melihat kesatuan dalam kemajemukan. Apakah kita memiliki agama atau kepercayaan yang berbeda, warna kulit dan ras yang berbeda. Kita mesti belajar hidup damai dan harmonis dengan alam.
N--- singkatan untuk Nobility (kemuliaan). Kemuliaan adalah sifat yang muncul karena memiliki karakter yang tinggi atau mulia. Kemuliaan tidak timbul dari lahir tetapi muncul dari pendidikan. Jadi, kemuliaan terdiri dari semua nilai-nilai yang dijelaskan di atas.
Pada kesempatan mengisi seminar di UPI Bandung, Dr. Art-Ong Jumsai mengemukakan Model pembelajaran nilai-nilai kemanusiaan yang ia terapkan di lembaganya terbukti dapat membentuk dan mengembangkan tujuan pendidikan yang bukan hanya aspek kecerdasan intelektual, tetapi juga kecerdasan emosional dan spiritual. Bahkan dalam implikasinya model pembelajaran nilai-nilai yang diterapkan oleh beliau menyebabkan proses transformasi bagi guru-guru dan anak-anak didiknya yang menjadikannya motivasi dan inspirasi untuk mempertahankan nilai-nilai dari pengaruh negatif di masyarakat.
PENUTUP
Pendidikan saat ini telah menjadi komoditas bisnis tersendiri. Kurangnya perhatian pemerintah terhadap bidang ini menumbuh suburkan usaha-usaha menjadikan pendidikan sebagai usaha profit oriented yang mengakibatkan persaingan dalam dunia pendidikan semakin tajam. Dengan demikian, sangat diperlukan kehati-hatian dalam memilih pendidikan yang bermutu dan bernilai. Mutu suatu pendidikan dapat dilihat dari output yang dihasilkan, melalui proses belajar mengajar serta sarana dan prasarananya. Input yang baik, kemudian diproses dengan yang baik maka akan menghasilkan output yang baik pula.
Melalui pendidikan yang bermutu, kita berharap dapat menghasilkan sumber daya manusia yang handal, yang mampu memenangkan persaingan di kancah percaturan internasional. Semua itu dapat kita raih jika kita memiliki komitmen untuk membekali sumber daya manusia itu dengan bekal pendidikan yang terbaik. Terbaik di sekolahnya maupun terbaik yang telah diberikan orang tua kepada anak-anaknya. Berikan pendidikan kepada anak-anak kita sedini mungkin dengan pendidikan terbaik yang diawali dari rumah.
Persiapkanlah masa depan anak-anak kita. Utamakanlah pendidikan mereka, karena pendidikan merupakan bekal bagi mereka menghadapi masa depan. Kita berharap Pendidikan Nasional di masa yang akan datang menjadi lebih baik. Sehingga tidak ada lagi generasi masa depan yang berkeliaran di jalan saat teman-teman sebayanya sedang belajar berhitung dan membaca di kelas-kelas berubin putih dan ber-AC.
Terakhir, marilah kita sama-sama berjuang untuk mewujudkan pendidikan anak, terlebih pendidikan yang lebih mengintegrasikan dimensi fisikal, mental dan spiritual, pendidikan yang memadukan dimensi IQ, ES dan SQ, atau pendidikan yang tidak hanya mengagungkan wilayah kognisi, melainkan keterpaduan antara kognisi, afeksi dan psikomotor, sehingga suatu saat anak-anak kita menjadi generasi-generasi penerus bangsa yang bisa diandalkan dan membawa citra negara kita menjadi negara yang lebih bermartabat di kancah internasional.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur'an dan Terjemahnya. (1989). Departemen Agama Republik Indonesia
Dinn Wahyudin dkk. Pengantar Pendidikan. (2006) Universitas Terbuka
Drs. Zulkabir dkk. Islam Konseptual dan Kontekstual. (1993). Itqan
Dr. H. Sofyan Sauri, M.Pd. Pendidikan Berbahasa Santun. (2006) PT Genesindo
Dr. Art-Ong Jumsai Na-Ayudha, B.A., M.A., D.I.C. Model Pembelajaran Nilai-nilai Kemanusian Terpadu. (2008). Yayasan Pendidikan Sathya Sai Indonesia
Jalaluddin Rakhmat. Mengembangkan Kecerdasan Spritual Anak Sejak Dini. (2007).Mizan
Bobbi De Porter & Mike Hernacki, Quantum Learning. Membiasakan Belajar nyaman dan menyenangkan. (2007) Mizan Pustaka
Dr. Zaidan Abdul Baqi.Sukses keluarga mendidik Balita (2005).Pena Pundi Aksara
Ratna Megawangi. Yang Terbaik Untuk Buah Hatiku (2006). Khansa'
MQS Publishing
http://mitrawacanawrc.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=317 8/15/2008
http://www.jugaguru.com/article/all/tahun/2008/bulan/03/tanggal/04/id/679 8/15/2008
http://www.jugaguru.com/vilb/40/tahun/2006/bulan/09/tanggal/13/id/88/ 8/15/2008
Makalah workshop Pengembangan Profesionalisme Guru Berprestasi dan Guru Berdedikasi tingkat Nasional tahun 2006
Majalah Assalaam No.23/november 2007 dan no.26/maret 2008-08-19
Lembaran Jum'at Ummul Quro, edisi 45 tahun ke-8
Sejalan dengan perkembangan usianya, anak usia dini dapat menilai situasi di lingkungan sekeliling terutama lingkungan keluarganya. Perubahan yang terjadi di di keluarga yang dirasakan anak, terutama pada waktu makan dan aturan tidak boleh makan dan minum di siang hari sampai menunggu adzan maghrib, tentu akan membingungkan mereka. Apalagi bila tidak ada penjelasan dan bimbingan dari orang tua sebelumnya mengenai situasi tersebut. Disinilah pentingnya kesadaran para orang tua dan anggota keluarga lainnya untuk mengoptimalkan keberkahan di bulan suci Ramadhan. Yaitu selain untuk melipatgandakan amal ibadahnya, namun juga memanfaatkannya sebagai momen berharga untuk menanamkan keimanan, mengenalkan dan mengajari nilai-nilai agama pada anak, salah satunya melalui aktivitas berpuasa.
Mengenalkan ajaran agama dan menanamkan benih-benih keimanan di hati sang anak pada usia dini seperti ini sangat penting sebagai pondasi kehidupan beragamanya kelak. Anak di usianya dini tertarik untuk meniru semua tindak-tanduk ayah ibunya, termasuk yang menyangkut masalah beribadah. Sebagaimana pendapat Dr Spock yaitu, “Yang mendasari keimanan anak kepada Allah dan kecintaannya pada Tuhan Yang Maha Pencipta sama dengan apa yang mendasari kedua orang tuanya untuk beriman kepada Allah dan mencintai-Nya.”
Mengenalkan ajaran agama kepada anak usia dini harus disesuaikan dengan perkembangan aspek-aspek psikologisnya, diantaranya perkembangan kemampuan berpikir (kognisinya). Menurut Jean Piaget (seorang Psikolog dari Perancis), semua anak memiliki pola perkembangan kognisi yang sama, yaitu melalui empat tahapan : Sensori – Motor, Pra – Operasional, Konkret – Operasional dan Formal Operasional. Perkembangan kognisi anak usia dini (2-7 tahun) berada pada tahapan berpikir “Pra operasional”. Tahap Pra Operasional adalah tahap dimana anak tidak dapat memahami sesuatu tanpa dipraktekkan terlebih dahulu (Piaget, 1970).
Sejalan dengan pendapat Piaget, Jean Jacques Rousseau, mengatakan bahwa, “Anak usia dini belajar melalui aktivitas fisiknya.” Dengan kata lain, untuk mengenalkan ajaran agama kepada anak usia dini, haruslah dengan cara memberikan kesempatan kepadanya untuk mempraktekkan apa yang kita katakan, dengan cara memberikan contoh kepada anak bagaimana melakukannya.
DR. Abdullah Nashih Ulwan, dalam bukunya yang berjudul Potensi Ruhaniah (Spiritual) Anak dalam Pembentukan Generasi Takwa dan Kreatif membagi lima metode yang harus dilakukan oleh orang tua dalam mengajari anak melakukan kegiatan keagaaman/beribadah. Kelima metode tersebut adalah Keteladanan, Pembiasaan, Pemberian nasihat, Pengawasan dan Pemberian hukuman.
Anak usia dini umumnya berperilaku dengan mencontoh atau meniru model orang dewasa yang dilihatnya. Dengan melihat keteladanan yang dicontohkan oleh orang tuanya, misalnya keteladanan dalam hal bersahur, berpuasa dan berbuka puasa, anak akan meniru melakukan apa yang dilakukan oleh orang tuanya. Orang tua, hendaknya memberi contoh teladan beribadah disertai dengan ajakan untuk bersama-sama melakukannya. Orang tua dapat menciptakan suasana yang menyenangkan bagi anak, diantaranya dengan mengajaknya bersama-sama memilih menu makanan untuk sahur, membeli makanan untuk berbuka puasa dan pemberian pujian dan reward bila anak ikut berpuasa dan melakukan aktivitas ibadah lainnya.
Momentum Ramadhan bagi anak usia dini, hakekatnya adalah pengenalan ajaran agama dan pembiasaan melaksanakannya, yang diantaranya adalah berpuasa di bulan ramadhan. Pelaksanaan puasa itu sendiri, bagi mereka hukumnya tidak wajib, namun pengenalan dan pembiasaan tersebut merupakan pembelajaran awal beragama bagi mereka. Anak dapat mulai berpuasa sejak usia TK (4-5 tahun), dimana pengerjaannya pun dapat dilakukan secara bertahap, misalnya hanya sebatas setengah hari. Pembiasaan tersebut dapat diperkuat dengan pemberian reward di akhir bulan, sehingga mereka termotivasi untuk melakukannya sampai selesai. Pengenalan agama sedini mungkin penting dilakukan agar pada saat dia menginjak akil baligh, anak tidak akan canggung lagi dan merasa terpaksa melakukannya, namun telah terbiasa dan tahu bagaimana melakukannya.
Pemaksaan maupun ancaman sangat tidak dianjurkan, Pemberian nasihat, pengawasan dan pemberian hukuman (bukan hukuman fisik), dapat dilakukan untuk mengontrol perilaku anak apabila ada yang tidak sesuai dengan ajaran agama. Dengan menegurnya apabila melakukan sesuatu yang salah, akan membuat anak paham bahwa apa yang dilakukannya itu tidak baik dan tidak boleh diulangi lagi. Namun, anak juga harus diberikan pujian apabila ia dapat melakukan semua kegiatan itu dengan baik. Memujinya ketika melakukan perbuatan yang terpuji meskipun sedikit, memaafkan kesalahan yang ia lakukan, tidak menganggap bodoh kata-kata dan perbuatannya, dan tidak membebaninya pekerjaan yang diluar batas kemampuannya adalah perbuatan bijak yang seharusnya dilakukan orang tua kepada anaknya.
Masih banyak lagi contoh ibadah-ibadah di bulan suci yang penuh berkah ini yang dapat kita kerjakan untuk mencari rahmat Allah Swt sambil mengenalkan ajaran agama pada anak sebagai bekal kehidupannya di masa yang akan datang. Dalam Islam, anak-anak adalah amanah, generasi penerus dan agen perubah di masa yang akan datang dan sebagai amanah Allah. Anak-anak haruslah dijaga dengan benar-benar mendidiknya secara Islami, dimana pengaruh dan cara mendidik anak akan sangat mendominasi gaya hidup si anak jika ia dewasa kelak. Untuk itulah setiap orang tua harus memberi agama bekal yang cukup terhadap si anak. **
• Peran Guru di tengah umat dan anak didiknya, adalah sesuatu pengabdian mulia, dan tugas sangat berat. Mereka adalah pelopor pembangunan (agent of changes). Bekal utamanya adalah keyakinan dan keimanan kepada Allah SWT, hidup beradat, berakhlaq mulia. Inilah, yang menjadi program utama di dalam pendidikan anak usia dini (PAUD).
Tugas itu berat. Umat hanya mungkin dibentuk melalui satu proses pembelajaran, dengan pengulangan terus menerus (kontiniutas), pencontohan (uswah) yang baik. Pekerjaan ini memerlukan ketaletenan dan semangat yang prima.
Kemuliaan seorang guru (pendidik) terpancar dari keikhlasan membentuk umat dan anak manusia menjadi pintar, beriman, berakhlaq, berilmu, mengamalkan ilmunya, untuk kebaikan diri sendiri, keluarga, dan kemaslahatan umat, di kelilingnya, serta mempunyai ibadah yang teratur, shaleh pribadi, dan shaleh social, dengan tauhid yang istiqamah.
Keberhasilan murabbi (guru) akan banyak didukung oleh kearifan, yang dibangun oleh kedalaman pengertian, pengalaman dalam membaca situasi, serta upaya dan kondisi yang kondusif di sekitarnya.
tantangan di abad ke 21
Alaf Baru ditandai oleh, (a). mobilitas serba cepat dan modern, (b). persaingan keras dan kompetitif, (c). komunikasi serba efektif, dalam satu global village, dan (d). Akibatnya, banyak ditemui limbah budaya kebaratan (westernisasi).
Alaf baru ini hadir dengan cabaran global yang menuntut keteguhan, dalam menghadapi tantangan yang berjibun banyaknya, di antaranya infiltrasi budaya sekularis yang menjajah mentalitas manusia, the globalization life style meniru sikap yahudi, suburnya budaya lucah (sensate culture), menjauh dari adat budaya luhur, pemujaan nilai rasa panca indera, menonjolkan keindahan sensual, erotik, seronok, ganas semata mengejar kesenangan badani, kebiasaan miras, pergaulan bebas, kecanduan madat dan narkoba.
Menghadapi tantangan ini, semua elemen masyarakat berkewajiban memper-siapkan generasi yang siap bersaing dalam era global terse¬but, dengan sibghah yang nyata, melalui pendidikan anak pada usia dini.
Penyimpangan perilaku menjadi ukuran atas kemunduran moral dan akhlak. Hilangnya kendali para remaja, berakibat ketahanan bangsa akan lenyap dengan lemahnya remaja.
Penyebab utama di antaranya, rusaknya sistim, pola dan politik pendidikan, hilangnya tokoh panutan, berkembangnya kejahatan di kalangan orang tua, luputnya tanggung jawab lingkungan dan masyarakat, impotensi di kalangan pemangku adat, hilangnya wibawa ulama, dan suluah bendang di nagari, bergesernya fungsi lembaga pendidikan menjadi bisnis, dan profesi da’i, guru, dan suluah bendang, dilecehkan.
Perilaku umat juga berubah
Interaksi dan ekspansi kebudayaan dari luar, bergerak secara meluas. Pengaruh budaya asing berkembang pesat, seperti pengagungan materia secara berlebihan (materialistik), pemisahan kehidupan duniawi dari supremasi agama (sekularistik), pemujaan kesenangan indera mengejar kenikmatan badani (hedonistik).
Perilaku di atas merupakan penyimpangan sangat jauh dari budaya luhur. Pada akhirnya, melahirkan Kriminalitas, perilaku Sadisme, dan Krisis moral, secara meluas.
Perubahan dalam hidup beradat juga telah merambah Minangkabau.
Adat ndak dipacik arek, agamo ndak dipagang taguah.
Fakta menunjukkan bahwa adat tidak berdampak banyak terhadap generasi muda. Tempat bertanya tidak ada, Sudah banyak yang tidak mengerti adat. Karena itu, generasi muda di Nagari mulai kebingungan.
Manakala problematika sosial ini lupa mengantisipasi melalui gerakan dakwah, melalui Pendidikan Anak Usia Dini berbasis aqidah, maka arus globalisasi ini membawa perubahan yang negatif.
Terutama pada perilaku generasi, akan menjadi dzurriyatan dhi’afan, atau menjadi “X-G” the loses generation, yang hilang keseimbangan.
Hilangnya keseimbangan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, yang menyebabkan timbulnya berbagai krisis.
Perilaku luhur akan bergeser, dan menipisnya ukhuwah, serta berkembangnya perbuatan maksiat. Maka sekolah atau pendidikan berbasis aqidah, mesti menjadi cerminan idealitas masyarakat yang mempertahankan pembelajaran budi akhlak.
Pergeseran budaya akan terjadi ketika mengabaikan nilai-nilai agama. Pengabaian nilai-nilai agama, menumbuhkan penyakit social yang kronis, seperti kegemaran berkorupsi, aqidah tauhid melemah, perilaku tidak mencerminkan akhlak Islami, serta suka melalaikan ibadah.
Salah satu solusi untuk mengatasi problematika keumatan ini, adalah dengan melaksanakan pendidikan aqidah pada anak usia dini (PAUD), dengan menambah ilmu, menguatkan amal, menanamkan akhlak, menjaga ibadah dan karakter umat, dengan berpedoman wahyu Allah SWT.
Pendidikan aqidah dan akhlaq, membawa umat kepada bertaqwa. Janji Allah SWT sangat tepat, ” apabila penduduk negeri beriman dan bertaqwa dibukakan untuk mereka keberkatan langit dan bumi.“
“ Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS.7,al-A’raf:96).
Satuan pendidikan penyelenggara
Taman Kanak-kanak (TK)
Raudatul Athfal (RA)
Bustanul Athfal (BA)
Kelompok Bermain (KB)
Taman Penitipan Anak (TPA)
Satuan PAUD Sejenis (SPS)
Sekolah Dasar Kelas Awal (kelas 1,2,3)
Bina Keluarga Balita
Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu)
Keluarga
Lingkungan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar