PENINGKATAN KUALITAS BELAJAR SISWA MELALUI PENELITIAN TINDAKAN KELAS
OLEH
SOFYAN SAURI
A.PENDAHULUAN
Penelitian berasal dari kata teliti artinya sesuatu kegiatan yang dilakukan dengan penuh kesungguhan, sehingga akan dapat dihasilkan yang lebih baik dari sebelumnya. Penelitian yang dilakukan di dalam kelas dalam upaya guru untuk mengamati permasalahan yang harus dipecahkan.
Kegiatan penelitian menjadi salah satu kompetensi yang harus dimiliki seorang guru yang profesional. Namun kenyataaan yang ada , guru jarang melakukan kegiatan yang satu ini. Bermacam alasan disampaikan seperti : kurang memiliki kemampuan meneliti/kurang pengalaman, keterbatasan waktu karena penelitian sering kali harus meninggalkan jam mengajar, penelitian membutuhkan dana yang besar, dan sebagainya. Kenyataan diatas rupanya menjadikan perhatian, sehingga akhirnya diciptakanlah formulasi penelitian yang sesuai untuk guru yakni Classroom Action Research atau yang lebih dikenal dengan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Penelitian tersebut merupakan bagian dari penelitian tindakan (action research) yang mempertemukan antara pendekatan eksperimental dalam ilmu sosial dengan program tindakan sosial untuk memecahkan isu-isu pokok yang berkembang dimasyarakat. Esensi penelitian tindakan terletak pada adanya tindakan dalam situasi alami untuk memecahkan permasalahan-permasalahan praktis atau meningkatkan kualitas praktis (Nurul, 2003 : 54).
Penelitian tindakan menutrut Kemmis (1994) mengemukakan bahwa Penelitian Tindakan merupakan suatu bentuk penelitian reflektif yang dilakukan oleh pelaku dalam masyarakat dan bertujuan untuk memperbaiki pekerjaannya, memahami pekerjaan itu sendiri serta situasi dimana pekerjaaan tersebut dilakukan. Sedangkan menurut Kurt Lewin penelitian tindakan merupakan suatu rangkaian langkah(a spiral steps) dimana setiap rangkaian langkah terdiri empat tahap seperti; perencanaan, tindakan, pengamatan, refleksi. Selanjutnya Natawijaya dkk mengemukakan bahwa penelitian tindakan merupakan suatu bentuk kajian yang bersifat reflektif oleh pelaku tindakan , yang dilakukan untuk meningkatkan kemantapan rasional dari tindakan-tindakan mereka dalam melaksanakan tugas, dalam memperdalam pemahaman tindakan-tindakan yang dilakukannya itu serta memperbaiki kondisi dimana praktek-praktek pembelajaran tersebut dilakukan. Dengan demikian Penelitian Tindakan Kelas merupakan studi sistematis terhadap praktek pembelajaran di kelas dengan tujuan untuk memperbaiki kualitas pembelajaran dan hasil belajar siswa dengan melakukan tindakan tersebut.
B.TUJUAN PENELITIAN KELAS
1.PTK merupakan upaya perbaikan, peningkatan dan perubahan kearah yang lebih baik sebagai upaya pemecahan masalah dalam praktek pembelajaran secara berkesinambungan.
2.PTK merupakan salah satu langkah strategis guru untuk meningkatkan layanan kependidikan secara keseluruhan.
3.PTK sebagai sarana pengembangan keterampilan guru yang bertolak dari kebutuhan untuk menanggulangi permasalahan pembelajaran yang dihadapi di kelas.
4.PTK merupakan salah satu sarana untuk menumbuhkan budaya meneliti di kalangan guru.
C. KARAKTERISTIK PTK
Dibandingkan penelitian lain, penelitian tindakan kelas memiliki beberapa karakteristik yang membedakannya, yakni:
1.Situasional, artinya kegiatan PTK berangkat dari permasalahan yang terjadi dalam tugas sehari-hari oleh guru sebagai pengelola program pembelajaran di kelas.
2.kontekstual, artinya upaya pemecahan masalah baik yang berupa model atau prosedur tindakan tidak terlepas dari konteks (sosial,politik,budaya) dimana proses pembelajaran tersebut berlangsung.
3.Kolaboratif, artinya PTK dilakukan dengan beberapa guru/teman sejawat baik di lingkungan sekolah maupun dilingkungan profesi(KKG/MGMP).
4.Self-reflektive dan self-evaluative, dimana pelaksana dan pelaku tindakan melakukan refleksi da evaluasi diri terhadap hasil/perubahan yang dicapai, karena PTK memiliki langkah-langkah dalam suatu daur/siklus mulai : perencanaan,tindakan , pengamatan dan refleksi.
5.Fleksibel, dalam arti PTK memberikan sedikit kelonggaran dalam pelaksanaan tanpa melanggar kaidah metodologi ilmiah. Contoh satu kelas yang di ajar sendiri.
D. PROSDUR PENELITIAN TINDAKAN KELAS
Prosedur pelakasanaan PTK mencakup : (1). Penetapan fokus masalah penelitian, (2). Perencanaan tindakan, (3). Pelaksanaan tindakan dan observasi, (4). Analisis dan refleksi, (5). Perencanaan dan tindak lanjut.
1. Penetapan fokus masalah penelitian
a.Ketika guru sedang atau telah melaksanakan pembelajaran, pasti pernah terbersit perasaan tidak puas terhadap praktek pembelajaran yang dilakukannya, bahwa masih ada sisi-sisi kelemahan dalam implementasi pembelajarannya
b.Identufikasi masalah
Bertolak dari adanya masalah maka guru dapat mengidentifikasi permasalahan, seperti misalnya:
o Hasil rata-rata nilai geografi rendah.
o Rendahnya minat siswa terhadap pelajaran geografi
o Kurang adanya keterlibatan siswa secara aktif dalam roses pembelajaran
o Kurangnya pemanfaatan media/alat peraga.
c.Perumusan masalah
Dari beberapa permasalahan yang timbul, perlu dilakukan pemilahan masalah dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
o Masalah tersebut menunjukkan kesenjangan antara fakta/teori dengan kondisi ideal yang sebenaranya yang dihsdspi guru dalamproses pembelajaran.
o Adanya kemungkinan dicarikan solusinya melalui tindakan yang konkrit yang dapat dilakukan guru jangan memilih masalah yang berada diluar kemampuan/kekuasaan guru untuk mengatasinya.
o Masalah tersebut memungkinkan dicari faktor yang menimbulkannya yang dapat digunakan sebagai landasan untuk merumuslkan alternatif pemecahannya.
o Pilih permasalahan yang dirasa penting serta melibatkan guru dalam aktivitas yang diprogramkan sekolah.
o Tetapkan permasalahan yang skalanya cukup kecil dan terbatas.
o Kaitksn PTK dengan prioritas yang ditetapkan dalam rencana pengembangan sekolah.
Selanjutnya setelah menetapkan fokus permasalahan, maka perlu merumuskannya secara lebih jelas, spesifik dan operasional, yang akan membuka peluang guru untuk menetapkan tindakan perbaikan yang diperlukan.
Contoh perumusan masalah :
Apakah dengan menampilakan model peta dari yang sederhana sampai yang lengkap dalam pembelajaran dapat meningkatkan minat belajar geografi?
2.Perencanaan Tindakan
Berbeda dengan hipotesis penelitian tindakan umumnya, hipotesis tindakan yang dilakukan dalam PTK merupakan suatu solusi yang diharapkan dapat memecahkan masalah yang diteliti. Menurut Soedarsono (1997) ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam merumuskan hipotesis tindakan, yakni :
o Alternatif tindakan dirumuskan berdasarkan hasil kajian sehingga mempunyai landasan yang mantap secara teoritis atau konseptual.
o Alternatif tindakan perlu dipertimbangkan, dikaji ulang baik dari segi relevansinya dengan tujuan, bentuk tindakan dan prosedurnya, kepraktisan dan optimalisasi hasil serta cara penilaiannya.
o Pilih alternatif tindakan yang dinilai paling menjanjikan hasil yang optimal namun tetap dalam jangkauan kemampuan guru sesuai situasi dan kondisi sekolah.
o Tentukan langkah-langkah untuk melaksanakan tindakan serta cara-cara untuk mengetahui hasilnya.
o Tentukan cara untuk menguji hipotesis tindakan guna membuktikan bahwa telah terjadi perubahan, perbaikan atau peningkatan meyakinkan.
Untuk merumuskan tindakan, peneliti dapat melakukan kajian terhadap :
• Teori pembelajaran danpendidikan
• Hasil penelitian yang relevan
• Hasil diskusi dengan rekan sejawat maupun pihak lain.
Contoh:
Dengan mengoptimalkan penggunaan model-model peta dalam proses pembelajaran terdapat peningkatan minat siswa kelas IA dalam belajar geogarafi sehingga prestasi siswa dalam belajar Geografi dapat meningkat pula.
3.Persiapan Tindakan.
Memuat persiapan yang dilakukan guru baik materi, sarana prasarana hingga langkah-langkah tindakan yang akan dilakukan dalam PTK.
4.Pelaksanaan Tindakan dan Observasi
Pelaksanaan tindakan dilakukan ssesuai dengan langkah-langkah yang telah disusun sebelumnya. Sedangkanobservasi adalah upaya merekam segala peristiwa dan kegiatan yang terjadi selama tindakan perbaikan itu berlangsung. Dengan demikian observasi dilakukan bersama-sama dengan pelaksanaan tindakan.
5.Refleksi dan Tindak Lanjut
Refleksi merupakan perenungan yang mencakup analisis, sintesis dan penilaian terhadap hasil pengamatan proses serta hasil tindakan. Proses analisis dilakukan sesuai data yang dikumpulkan. Jika menggunakan data kualitatif, dapat menggunakan model analisis Miles dan Hubberman (1984) yang meliputi :
a.Reduksi data, yakni memilih data yang relevan, penting dan bermakna. Kemudian menyederhanakan, mengklasifikasi, memfokuskan, mengorganisasi secara sistematis dan logis
b.Sajian deskriptif, diwujudkan dalam narasi, gambar, tabel, maupun bentuk visual lain sistematis dan logis.
c.Kesimpulan, merupakan intisari dari analisis yang memberikan pernyataan tentang dampak dari tindakan yang dilakukan terhadap proses pembelajaran.
Berdasarkan hasil refleksi ini biasanya akan muncul permasalahan atau pemikiran baru sehingga perlu perencanaan ulang, tindakan ulang, pengamatan ulang serta diikuti oleh refleksi ulang sampai permasalahan dianggap teratasi. Dengan demikian terdapat pengulangan daur/siklus kegiatan yang mencakup keempat fase PTK, yang dapat digambarkan sebagai berikut:
ALUR PENELITIAN TINDAKAN KELAS
(Adaptasi dari Hopkins, 1993 :48)
PLAN
REFLECTIVE
ACTION & OBSERVATION
REVISED PLAN
REFLECTIVE
ACTION & OBSERVATION
REVISED PLAN
REFLECTIVE
ACTION & OBSERVATION
D. PROPOSAL PTK
Secara sederhana, proposal penelitian tindakan kelas dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. JUDUL
Hendaknya dirumuskan secara singkat ,jelas, dan sederhana.
2. LATAR BELAKANG MASALAH
Penyebab terjadinya masalah (adanya kesenjangan antara yang diharapkan dengan kenyataan).
3. IDENTIFIKASI MASALAH
Identifikasi berdasarkan latar belakang masalah.
4. PEMBATASAN MASALAH
Batasan masalah yang akan diteliti sesuai kemampuan, waktu, dan serta situasi dan kondisi yang ada.
5. PERUMUSAN MASALAH
Merumuskan masalah secara jelas dan operasional.
6. TUJUAN PENELITIAN
Maksud dilaksanakannnya penelitian.
7. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat penelitian bagi guru, sekolah, siswa, maupun orang lain.
8. KERANGKA TEORITIK DAN HIPOTESIS TINDAKAN
Landasan teori tentang objek penelitian, kerangka berpikir, serta alternatif tindakan yang akan dilakukan untuk dapat mengatasi masalah.
9. METODOLOGI PENELITIAN
Lokasi penelitian
• Nama sekolah
• Alamat
• Kelas
• Lingkungan fisik dan sosial
Karakteristik subyek penelitian
• Komposisi siswa
• Kemampuan akademik
• Latar belakang sosial ekonomi keluarga
• Motivasi belajar
• Dll.
10. VARIABEL YANG DI TELITI ANTARA LAIN:
o Variabel input, yang terkait dengan siswa, guru, bahan pelajaran,sumber belajar, lingkungan belajar,dsb.
o Variabel proses, yang terkait dengan proses pembelajaran ,ketrampilan mengajar, implementasi metode pengajaran, dsb.
o Variabel output, seperti minat siswa, kemampuan siswa, hasil belajar siswa, dsb.
11. RANCANGAN TINDAKAN
o Perencanaan tindakan
Memuat langkah-langkah persiapan/perencanaan tindakan antara lain
1. Membuat skenario pembelajaran yang menarik, sesuai rencana tindakan yang akan dilakukan.
2. Mempersiapkan fasilitas dan sarana pendukung yang diperlukan seperti gambar-gambar, alat peraga, dsb.
3. Mempersiapakan instrumen penelitaian yang diperlukan, seperti format, pengamatan, kuisioner, pedoman wawancara, tes prestasi dan sebagainya.
4. Melakukan simulasi pelaksanaan tindakan untuk menguji keterlakasanaan rancangan, serta mempertebal kepercayaan diri dalam pelaksanaan nantinya.
o Tindakan
Memuat langkah-langkah tindakan yang akan dilakukan secara terperinci, termasuk kegiatan penilaiannya.
o Observasi
Berisi prosedur pengumpulan data baik pada saat pelaksanaan tindakan dan terdapat komponen lain mendukungnya.
o Refleksi
Berisi prosedur analisis terhadap hasil pemantauan/observasi dan refleksi berkenaan dengan proses dan dampak tindakan perbaikan yang akan dilakukan.
12. PENGUMPULAN DATA
o Jenis data
Misal : format/lembar pengamatan, pedoman wawancara, alat evaluasi/soal, check list.
o Teknik pengumpulan data
Misal : observasi, wawancara, pre test dan post test, mencatat dokumen.
13. TIM PENELITI DAN TUGASNYA
14. INDIKATOR KINERJA
Merupakan alat ukur untuk menentukan tingkat keberhasilan dari tindakan yang telah dilakukan.
15. JADWAL PENELITIAN
16. RENCANA PEMBIAYAAN(apabila memperoleh bantuan dana).
17. DAFTAR PUSTAKA
Meskipun PTK lebih fleksibel dibanding penelitian lain namun tetap tidak diperkenankan mengabaikan kaidah-kaidah keilmuan.
F. LAPORAN PTK
Dilihat dari prosesnya tahap penulisan laporan penelitian terbagi menjadi 3 tahap, yaitu :
1. Perencanaan : dituangkan dalam rancangan atau proposal penelitian.
2. Pelaksanaan : berisi kegiatan pengumpulan dan analisis data
3. Pelaporan : berisi kegiatan pengkomunikasian prosedur dan temuan penelitian.
Fungsi pokok dari penulisan laporan penelitian adalah :
1. sebagai pertanggungjawaban ilmiah.
2. sebagai media informasi ilmiah.
3. sebagai masukan bagi pengambil kebijakan atau orang yang berkepentingan.
4. sebagai media sosialisasi informasi bagi masyarakat luas.
5. sebagai pertanggungjawaban administratif bagi pemberi dana penelitian
Model laporan PTK dapat menggunakan format penelitian sebagaimana biasanya, namun ada hal khusus yang terletak pada hasil penelitian yang berulang-ulang(sesuai jumlah siklusnya). Laporan didasarkan pada proposal penelitian dan berkembang sesuai dengan hasil penelitian dilapangan. Untuk PTK, format laporan dapat berbentuk sebagai berikut.
Halaman judul
Halaman Pengesahan
Kata Pengantar
Daftar Isi
Daftar Lampiran
Abstrak
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
B. Rumusan masalah
C. Tujuan dan manfaat
BAB II : KAJIAN PUSTAKA/TEORITIS
A. Kajian teoritik
B. Hipotesis tindakan
C. Analisis penyebab
D. Kerangka berpikir
BAB III : METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Penelitian
B. Prosedur Penelitian
C. Instrumen Penelitian
D. Kerangka Analisis data
E. Subyek dan Waktu Penelitian
BAB 1V. : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian Siklus Pertama
B. Hasil Penelitian Siklus kedua
C. Hasil Penelitian Siklus Ketiga
BAB V . : KESIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
G. PENUTUP
Hal-hal yang perlu diperhatikan guru dalam penerapan PTK antara lain adalah :
o Memiliki kemauan untuk memperbaiki kinerja sendiri.
o Memiliki sikap keterbukaan, kesediaan menerima kritk terhadap kelemahan penampilan.
o Memandang kolaborator bukan sebagai hakim, polisi atau pengawas, tetapi sebagai pendamping guru(team –teaching).
Dengan demikian penelitian tindakan kelas merupakan kegiatan yang diperuntukkan bagi guru dengan harapan :
o Guru terbiasa melakukan perbaikan kerja.
o Guru memiliki konsesi menjadi peneliti.
o Guru bebas mengembangkan sikap inovatif secara kreatif.
o Guru terbiasa membuat alat bantu pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Depdikbud, 1999. Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research), Jakarta : Dirjen Dikti.
Nurul Zuriah, 2003 .Penelitian Tindakan Di Bidang Pendidikan Dan Sosial. Malang : Banyumedia Publishing.
Sudarsono, FX , 1997. Rencana, Desain dan Implementasi. Pedoman Penelitian Tindakan Kelas. Yogyakarta : UP3SD-BP3SD-UKMP.SD.
Sukaryana. I Wayan , 2002. Penelitian Tindakan Kelas. Malang : PPPG IPS dan PMP.
Wahyu, dkk. 2000. Laporan Hasil Penelitian Tindakan Kelas di Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta.
Lampiran 1 :
KERANGKA PIKIR DALAM PTK
JUDUL : Upaya meningkatkan minat belajar geografi melalui penampilan model-model peta pada siswa kelas IA SLTP I
• Nilai rata-rata Geografi rendah
• Diduga minat belajar rendah
PERENCANAAN
TINDAKAN
PENGAMATAN
REFLEKSI
Lampiran 2 :
PELAKSANAAN SIKLUS DALAM PTK
PERENCANAAN :
1. Membuat skenario pembelajaran yang menarik.
2. PBM menggunakan metode demonstrasi.
3. Menyiapkan model peta sederhana (denah).
4. Menyiapkan materi tentang pengetahuan peta, atlas dan globe.
5. Merancang penilaian.
PELAKSANAAN :
1. Melaksanakan pre test.
2. Memberi sedikit informasi mengenai peta, atlas dan globe.
3. Membagi siswa menjadi 5 kelompok.
4. Masing-masing kelompok diberi contoh peta sederhana (denah).
5. Menugaskan siswa untuk membuat peta sederhana.
6. Melakukan bimbingan selama pembuatan peta
7. Melakukan post test.
OBSERVASI :
1. Mengamati perilaku siswa selama proses pembelajaran.
2. Mengamati pelaksanaan proses pembelajaran :
o Penerapan metode demonstrasi
o Pelaksanaan bimbingan.
o Upaya menarik minat siswa melalui penampilan model peta
o Upaya memotivasi siswa.
3. Wawancara singkat dengan guru dan siswa setelah selesai tindakan.
REFLEKSI :
o Temuan-temuan pada siklus 1 akan dianalisis dan dideskripsikan untuk merivisi rencana siklus selanjutnya.
Diposting oleh Bulan Purnama di 19:54
0 komentar:
Posting sebuah Komentar
Posting Lama Halaman Muka
Berlangganan: Posting Komentar (Atom)
Ads Powered by:KumpulBlogger.com
Pasang iklan
Mini Banner di sini
, Komisi 3% untuk Blogger
Kamis, 16 Juli 2009
PEMBINAAN KEPERIBADIAN GURU BERBASIS NILAI MELALUI PTK
PEMBINAAN KEPERIBADIAN GURU BERBASIS NILAI MELALUI PTK
OLEH SOFYAN SAURI
A. PENDAHULUAN
Guru adalah sosok manusia yang patut ditiru dan digugu, demikianlah pribahasa yang sering kita dengar dari berbagai penyaji makalah dalam seminar-seminar atau dalam pembekalan kepada para guru dalam mengawali tugasnya dilapangan. Penampilan seorang guru di dalam kelas maupun di luar kelas menjadi pusat perhatian semua orang terlebih para murid-muridnya. Mulai dari menyisir rambut memakai baju, celana, sepatu, kaus kaki, tas yang disandangnya, ucapannya, jalannya, dan lain-lain menjadi pusat perhatian dalam kehidupannya sehari-hari.
Apa yang diucapkan guru di dalam kelas maupun di luar kelas, menjadi pusat perhatian para pendengarnya. Ucapan guru selalu bermakna dan kaya ilmu, ucapan guru tidak menimbulkan arogan, sombong, egois ingin kapuji para pendengarnya. Walaupun ada seperti itu hanya sebuah kasus dari sosok guru yang tidak memiliki keperibadian yang terpuji. Tugas mendidik dan mengajar merupakan amalan yang sangat menyenangkan tanpa henti, selama dua puluh empat jam sehari semalam guru berupaya sekuat tenaganya memikul tugas mulia para anak didiknya di mana pun berada.
Guru berupaya sekuat tenaga untuk menanam pohon yang dapat menghasilkan manfaat bagi dirinya, keluarga, masyarakat, dan sekolah. Diharapkan pohon yang dicita-citakannya, akan menjadi pohon yang kuat akar-akarnya, banyak dahannya, rindang daunnya, manis buahnya, dan melindungi orang yang berteduh di bawahnya. Sehinga pohon itu dipelihara bukan hanya oleh guru sendiri, tetapi semua orang memberikan perhatian yang maksimal kepadanya.
Pohon yang dimaksud adalah jadidiri seorang pendidik, yang akakr-akarnya kuat digambarkan sisi keilmuan yang dimilkinya sangat dalam dan luas. Apabila berargumen dengan yang seilmu selalu bijaksana, tidak mudah tersinggung, selalu mengedepankan hormat pada orang lain yang tidak sependapat, dan mengingatkan siapapun yang salah dengan bahasa sntun, yakni pilihan kata yang digunakaknnya dengan penuh pertimbangan sehingga kedengarannya menjadi obat penyejuk dalam kehidupannya.
Tangkai pohon yang banyak menggambarkan, sosok guru yang sangat bermanfaat dalam kehidupan pada masyarakat. Setiap ada kegiatan apapun makan yang menjadi sasaran dan kepercayaan adalah guru. Tantkala camat menentukan ketua panitia 17 agustusan, ketika memilih ketua lomba kebersihan lingkungan, ketika ada upacara hari-hari besar agama dan umum, yang terpilih siapa lagi kalau bukan guru.
Landasan legal guru dalam penyelenggaraan pendidikan adalah sebagai berikut; Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaga Negera Republik Indonesia tahun 2003 nomor 78, tambahan Lembaga Negara RI no 4301) pasal 39 ayat (2) yang menyatakan bahwa pendidik merupakan tenaga professional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran , menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan latihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat , terutama pendidik pada PT.
Guru adalah hamba Allah yang paling mulia dihadapn-Nya, tuganya sebagai kholifah fil ardi, yang dapat merubah peradaban manusia secara menyeluruh, dari tidak memilki kemampuan untuk berbuat menjadi dapat berkiprah sebagaimana yang diharapkan. Tidak membaca dirubah menjadi mampu membaca, tidak berperilaku santun dibimbing untuk menjadi santun, sabar, ulet, terampil, cerdas dan taqwa.
Saat menyusun makalah tergambarlah dalam pikiran, apabila guru memiliki profil sebagaimana yang digambarkan di atas, maka akan dengan keperibadian guru yang secara lestari digulirkan kepada anak didiknya, baik melalui pembelajaran secara langsung atau melalui penelitisn tindakan kelas, maka diprediksi, Indonesia yang sedang berada dalam level pendidikan di dunia yang sangat rendah, akan mampu bangkit, menggeliat secara teratur dan ilmiah merubah peradaban kea rah yang lebih baik, posistif, terhormat di mata dunia. Akhirnya timbul permasalahan “Bagaimana pembinaan keperibadian guru berbasis nilai dalam penelitian tindakan kelas (PTK)?
Pembinaan agar keperibadan guru yang terpuji tetap terjaga, maka perlu dilakukan pembinaan secara kontinu antara lain: (1) pertemuan silaturahmi secara periodic yang diseponsori oleh pimpinan langsung setiap daerah; (2) pengajian rutin dengan menghadirkan kiai dari dalam dan luar kelompok guru; (3) diskusi peningkatan wawasan guru dalam era global (4) anjang sana ke pada keluarga guru; (5) mennengok kepada keluarga guru yang terkena musibah; (6) silaturahmi guru dan orang tua muridsecara terjadwal, (7) mengikuti seminar dan pelatihan ISQ..
B. GURU PERLU MEMAHAMI TUJUAN HIDUP
Seorang manusia yang telah jelas visi hidupnya, maka selalu misinya mendukung apa yang terlukis dalam visinya. Sebuah visi terwujud tidak terlepas dari tujuan yang diinginkan sebelumnya. Misalnya menginginkan Indonesia kedepan adalah menjadi suatu Negara yang baldatun toyyibatun warobbun ghofur , yakni Negara yang aman, subur makmur gemah ripah lohjinawi. Artinya egara yang menjadi dambaan semua rakyatnya. Ungkapan di atas tadi seolah-olah sebagai visi ke depan.
Visi yang paling mendasar dan menjadi dambaan manusia yang beriman, adalah tertuang dalam Q.S Al Qosos 77, Dan hendaklah kami memraih kebahagiaan yang Allah siapkan di akhirat kelak dan jangan melupakakn bagianmu di dunia, dan berbuat baiklah kamu kepada Allah sebagaimana Allah telah berbat baik kepadamu. Sesungguhnya Allah sangat mencintai orang yang berbuat kebaikan. Dari ayat tersebut terungkap bahwa segala perbuatan yang dilakukan di alam dunia ini harus selalu berdasar kepada pedoman yang paling mendasar yakni ayat tersebut di atas. alangkah indahnya guru yang memiliki keimanan yang kuat dan pemahaman Al Quran yang hebat.
Tujuan ke depan dalam ayat tersebut meraih kebahagiaan yang hakiki, melalui kegiatan amalan setiap hari menjadi pendidik, dan pengajar para muridnya , dengan selalu berbuat yang paling baik dari sebelumnya. Hal ini diperkuat hadis nabi, bahwa hari ini harus lebih baik dari hari kemarin, dan hari besok harus lebih baik dari hari ini. Dan diperjelas lagi bahwa tujuan pendidikan di Indonesia sebagaimana terungkap, bahwa tujuan pendidikan tertuang dalan undang-undang sistem pendidikan nasional nomor 20 tahun 2003 bab II pasal 3 sebagai berikut: ”Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Adanya kata-kata mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat tentunya perlu diupayakan melalui formulasi pendidikan nasional yang tepat. Indikator watak dan peradaban bermartabat itu sendiri tentunya adalah ketika terbentuk gererasi yang betul-betul menghargai dan menghormati sistem nilai bangsanya. Watak dan peradaban yang bermartabat hanya dapat diraih oleh pendidikan yang betul-betul mengintegrasikan sistem nilai yang anut bangsanya ke dalam seluruh komponan pendidikan. Dengan demikian, jelaslah bahwa upaya pengembangan pendidikan yang berbasis kepada nilai etika suatu bangsa menjadi sangat penting.
C. PENDIDIKAN NILAI ETIKA
Ada pengamatan yang sangat tajam dilengkapi dengan hasil penelitian, dan diungkapkan oleh para ahli pendidikan nilai dewasa ini, bahwa pendidikan di Indonesia belum menghasilkan tujuan pendididikan nasional dengan maksimal. Hal ini terungkap bahwa penekanan pendidikan yang sekarang dan tempo dulu masih lebih ke arah kognisi yang paling diutamakan. Sedangkan pendidikan hati atau afeksi masih diabaikan, bahkan kalau boleh dikatakan belum menjadi bagian yang diseimbangkan. Untuk hal itu maka pendidikan nilai harus menjadi basis dalam semua kegiatan pendidikan dan pembelajaran di sekolah maupun di luar sekolah.
Dalam perspektif sejarah filsafat, nilai merupakan suatu tema filosofis yang berumur masih muda. Baru pada akhir abad ke-19 nilai mendapat kedudukan mantap dalam kajian filsafat akademis secara eksplisit. Namun secara implisit, nilai sudah lama memegang peranan dalam pembicaraan filsafat, yaitu sejak Plato menempatkan ide ‘baik’ paling atas dalam hierarki nilai-nilai (Bartens, 2004:12). Kurt Baier (UIA, 2003: 10) mengemukakan bahwa nilai adalah suatu kecenderungan perilaku yang berawal dari gejala-gejala psikologis seperti hasrat, motif, sikap, kebutuhan dan keyakinan yang dimiliki secara individual sampai pada wujud tingkah lakunya yang unik. Sedangkan Allport menyatakan bahwa nilai adalah keyakinan yang membuat seseorang bertindak atas dasar pilihannya. Bagi Allport nilai terjadi pada wilayah psikologis kepribadian (Allport, 1964:4).
Adapun Kluckhon dalam Mulyana (2004:5) lebih panjang merumuskan tentang nilai. Ia mendefinisikan nilai sebagai konsepsi dari apa yang diinginkan, yang memengaruhi pilihan terhadap cara, tujuan antara dan tujuan akhir tindakan. Sementara Bramel dalam Mulyana (2004:5) mengungkapkan bahwa definisi itu memiliki banyak implikasi terhadap pemaknaan nilai-nilai budaya, dalam pengertian lebih spesifik implikasi yang dimaksud adalah.
• Nilai merupakan konstruk yang melibatkan proses kognitif (logis dan rasional) dan proses katektik (ketertarikan atau penolakan menurut kata hati).
• Nilai selalu berfungsi secara potensial, tetapi selalu tidak bermakna apabila diverbalisasi.
• Apabila hal itu berkenan dengan budaya, nilai diungkapkan dengan cara yang unik oleh individu atau kelompok.
Deskripsi pendidikan berbasis nilai mencakup keseluruhan dimensi pendidikan. Tujuan pendidikan nilai yang ideal adalah membentuk kepribadian manusia seutuhnya. Tujuan ini diarahkan untuk mencapai manusia seutuhnya yang berimplikasi pada pendidikan nilai sebagai keseluruhan praktek pendidikan di lingkungan satuan pendidikan. Karena itu, pendidikan nilai berarti keseluruhan dimensi pendidikan yang dilakukan melalui kegiatan pengembangan, baik kegiatan kurikulum, ektrakurikuler, dan seluruh kegiatan belajar mengajar yang dikatakan sebagai upaya penanaman nilai dalam pendidikan.
Pendidikan nilai dapat menjadi sarana ampuh dalam menangkal pengaruh-pengaruh negatif yang terjadi dalam kehidupan masyarakat global dewasa ini. Sejalan dengan derap laju pembangunan dan laju perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, serta arus reformasi sekarang ini, pendidikan nilai semakin dirasa penting sebagai salah satu alat pengendali bagi tercapainya tujuan pendidikan nasional secara utuh.
Kaitanya dengan nilai etika, kata etika atau ethics (bahasa Inggris) itu sendiri memiliki banyak arti, secara etimologi istilah etika berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu ethos yang mempunyai arti tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Adapun dalam bentuk jamaknya ta etha yang artinya adat kebiasaan. Ta etha menjadi latar belakang terbentuknya istilah “etika” yang oleh filsuf Yunani besar Aristoteles (384-322) sudah dipakai untuk menunjukan filsafat moral. Jika dilihat dari asal-usul kata etika, maka etika dapat didefinisikan sebagai ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.
Selain secara etimologis, kita dapat melihat pengertian etika dari kamus, dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang lama (Peoerwadarmita,1953), etika dijelaskan sebagai ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral). Adapun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang baru terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1988), etika dirumuskan dalam tiga arti sebagai berikut:
• Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).
• Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak.
• Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Menanggapi tiga pengertian etika di atas, Bertens (2004:5) mengemukakan bahwa urutan tiga arti tersebut kurang kena, sebaiknya arti ketiga ditempatkan di depan karena lebih mendasar daripada yang pertama dan rumusannya juga bisa dipertajam lagi. Dengan demikian, menurut Bertens (2004:6) tiga arti Etika dapat dirumuskan sebagai berikut :
• Etika dipakai dalam arti nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Arti ini disebut juga sebagai “sistem nilai” dalam hidup manusia perseorangan atau hidup bermasyarakat. Misalnya etika orang Jawa dan etika agama Budha.
• Etika dipakai dalam arti kumpulan asas atau nilai moral.Yang dimaksud disini adalah kode etik, misalnya Kode Etik Advokat Indonesia.
• Etika dipakai dalam arti ilmu tentang yang baik atau yang buruk. Arti etika di sini sama dengan filsafat moral.
Etika juga disebut ilmu normatif, maka dengan sendirinya berisi ketentuan-ketentuan (norma-norma) dan nilai-nilai yang dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Kita juga sering mendengar istilah descriptive ethics, normative ethics dan philosophy ethics. Descriptive ethics, ialah gambaran atau lukisan tentang etika, Normative ethics, ialah norma-norma tertentu tentang etika agar seseoarang dapat dikatakan bermoral sedangkan philosophy ethics ialah etika sebagai filsafat, yang menyelidiki kebenaran.
Pengertian Etika juga dikemukakan oleh Sumaryono (1995), menurutnya bahwa Etika berasal dari istilah Yunani ethos yang mempunyai arti adat-istiadat atau kebiasaan yang baik. Bertolak dari pengertian tersebut etika berkembang menjadi studi tentang kebiasaan manusia berdasarkan kesepakatan menurut ruang dan waktu yang berbeda, yang menggambarkan perangai manusia dalam kehidupan manusia pada umumnya. Selain itu, Etika juga berkembang menjadi studi tentang kebenaran dan ketidakbenaran berdasarkan kodrat manusia yang diwujudkan melalui kehendak manusia.
Menurut Wiramiharja (2006 : 158) pada dasarnya etika meliputi empat pengertian:
• Etika merupakan sistem nilai kebiasaan yang penting dalam kehidupan kelompok khusus manusia.
• Etika digunakan pada suatu di antara sistem-sistem khusus tersebut yaitu “moralitas” yang melibatkan makna dari kebenaran dan kesalahan, seperti salah dan malu.
• Etika adalah sistem moralitas itu sendiri mengacu pada prinsip-prinsip moral aktual.
• Etika adalah suatu daerah dalam filsafat yang memperbincangkan telaahan etika dalam pengertian-pengertian lain.
Etika baru menjadi ilmu bila disusun secara metodis dan sistematis yang terdiri dari asas-asas dan nilai baik buruk. Jadi etika adalah suatu ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, mana yang dapat dinilai baik dan mana yang dinilai jelek dengan memperlihatkan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat dicerna akal pikiran. Pengertian etika sebagai ilmu merupakan suatu studi yang mempelajari tentang segala soal kebaikan dalam hidup manusia semuanya, mengenai gerak-gerik pikiran dan rasa yang merupakan pertimbangan perasaan sampai mengenai tujuannya. Beberapa ahli yang menyatakan bahwa etika sebagai ilmu antara lain;
• Ahmad Yamin, Etika diartikan sebagai ilmu yang menjelaskan arti baik-buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat.
• Soegarda Poerbakawatja, etika adalah sebagai filsafat nilai, kesusilaan tentang baik-buruk, berusaha mempelajari nilai-nilai dan merupakan pengetahuan tentang nilai-nilai itu sendiri.
• Ki Hajar Dewantara mengartikan etika sebagai ilmu yang mempelajari soal kebaikan dan keburukan dalam hidup manusia semuanya, teristimewa yang mengenai gerak-gerik pikiran, rasa yang dapat merupakan pertimbangan dan rasa perasaan sampai menguasai tujuannya yang dapat merupakan perbuatan.
• Austin Fogothey mengartikan etika sebagai ilmu yang berhubungan dengan seluruh ilmu pengetahuan tentang manusia dan ilmu masyarakat yang erat hubungannya dengan antropologi, psikologi, sosiologi, ekonomi, ilmu politik dan ilmu hukum.
• Ahmad Zubair mengartikan etika sebagai cabang filsafat, yaitu filsafat etika atau pemikiran filsafat tentang moralis, problem moral dan pertimbangan moral.
• H. Devos mengartikan etika sebagai ilmu pengetahuan mengenai kesusilaan secara ilmiah.
• Asmaran AS mengartikan etika sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku manusia untuk menentukan nilai-nilai perbuatan tersebut baik dan buruk, sedangkan ukuran untuk menetapkan nilainya adalah akal pikiran manusia.
• Hamzah Ya’kub menyatakan etika sebagai ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran.
• Burhanudin Salam mengartikan etika sebagai sebuah refleksi kritis dan rasional menyamai nilai-nilai dan norma moral yang menentukan dan terwujudnya dalam sikap dan pola perilaku hidup manusia, baik secara pribadi maupun secara kelompok.
• Surahwaldi Lubis mengartikan etika sebagai ilmu filsafat tentang nilai-nilai kesusilaan, tentang baik dan buruk.
• Pudjawijatna mengartikan etika sebagai ilmu yang mencari kebenaran. Ia mencari keterangan benar sedalam-dalamnya. Tugas etika adalah mencari ukuran baik buruknya tingkah laku manusia.
• Lewis Mustofa Adam mengartikan etika sebagai ilmu tentang filsafat, tidak mengenai fakta, tetapi tentang nilai-nilai, tidak mengenai sifat tindakan manusia tetapi tentang idenya.
• M. Yatimin Abdullah mengartikan etika sebagai ilmu yang mempelajari tentang baik-buruk. Jadi etika bisa berfungsi sebagai teori perbuatan baik dan buruk (ethics atau ilm al-akhlak al-karimah) praktiknya dapat dilakukan dalam disiplin filsafat.
• Magnis Suseno mengartikan etika bukan suatu sumber tambahan bagi ajaran moral, melainkan merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral.
• Sumantri mengartikan Etika sebagai suatu ilmu yang mengadakan ukuran yang dapat dipakai untuk menanggapi dan menilai perbuatan manusia yang berhubungan dengan perbuatan kesusilaan yang benar (normative).
• Socrates mengungkapkan bahwa etika membahas baik-buruk, benar-salah dalam tingkah laku, tindakan manusia, dan menyoroti kewajiban-kewajiban manusia.
Berdasarkan penjelasan di atas, sesungguhnya etika dapat dibedakan menjadi tiga macam pemahaman yaitu:
• Etika sebagai ilmu, yang merupakan kumpulan tentang kebajikan, tentang penilaian dari perbuatan seseorang.
• Etika dalam arti perbuatan, yaitu perbuatan kebajikan. Misalnya seseorang dikatakan etis apabila orang itu telah berbuat kebajikan.
• Etika sebagai filsafat, yang mempelajari pandangan-pandangan, persoalan-persoalan yang berhubungan dengan masalah kesusilaan.
Menurut Suseno (1991:15) sekurang-kurangnya terdapat empat alasan, mengapa etika pada zaman sekarang semakin perlu.
• Kita hidup dalam masyarakat yang semakin pluralistik, juga dalam bidang moralitas. Dan kita sering dihadapkan dengan sekian banyak pandangan moral, sehingga kadang bingung mana yang akan kita ikuti.
• Kita hidup dalam masa transfortasi masyarakat yang tanpa tanding. Perubahan itu terjadi di bawah hantaman kekuatan yang mengenai semua segi kehidupan kita, yaitu gelombang modernisasi. Dalam transfortasi ekonomi, sosial, intelektual dan budaya itu nilai-nilai budaya yang tradisional ditantang semuanya.
• Dalam hal ini etika membantu agar kita tidak kehilangan orientasi, dapat membedakan antara yang hakiki dan apa saja yang boleh berubah, sehingga kita kita tetap saggup mengambil sikap-sikap yang dapat dipertanggungjawabkan.
• Tidak mengherankan bahwa proses perubahan sosial budaya dan moral yang kita alami kini dipergunakan oleh berbagai pihak untuk memancing di air keruh.
Dengan demikian etika dapat membuat kita sanggup untuk menghadapi ideologi-ideologi itu secara kritis dan objektif dan untuk penilaian sendiri, agar kita tidak terlalu mudah terpancing. Etika juga berguna membantu kita agar tidak naïf atau ektrim. Etika diperlukan oleh kaum beragama yang disatu pihak menemukan dasar kemantapan mereka dalam iman kepercayaan mereka di lain pihak sekaligus mau berpartisifasi tanpa takut-takut dan dengan tidak menutup diri dalam semua dimensi kehidupan masyarakat yang sedang berubah. Etika mau membantu, agar kita lebih mampu untuk mempertanggungjawabkan kehidupan kita.
Etika tidak langsung membuat manusia menjadi lebih baik, melainkan etika merupakan sarana untuk memperoleh orientasi kritis untuk berhadapan dengan berbagai moralitas yang membingungkan. Etika ingin menampilkan keterampilan intelektual yaitu keterampilan untuk berargumentasi secara rasional dan kritis. Orientasi etis ini diperlukan dalam mengabil sikap yang wajar dalam suasana pluralisme. Pluralisme moral diperlukan karena pandangan moral yang berbeda-beda karena adanya perbedaan suku, daerah budaya dan agama yang hidup berdampingan, modernisasi membawa perubahan besar dalam struktur dan nilai kebutuhan masyarakat yang akibatnya menantang pandangan moral tradisional, berbagai ideologi menawarkan diri sebagai penuntun kehidupan, masing-masing dengan ajarannya sendiri tentang bagaimana manusia harus hidup.
Mengingat sangat strategisnya posisi sistem nilai etika dalam kehidupan, terlebih tantangan dewasa ini semakin besar, maka pendidikan sebagai core program dalam upaya membentuk generasi harapan masa depan bangsa, wajib hukumnya untuk diintegrasikan dengan seperangkat nilai yang terformulasikan dalam konsep etika. Hal ini perlu di jabarkan oleh para praktisi pendidikan ke dalam seluruh komponen pendidikan, lebih spesipiknya dalam komponen-komponen pembelajaran seperti tujuan, materi, metode, media, sumber dan evaluasi.
Dengan mengembangkan pendidikan yang berbasis pada nilai etika, maka diharapkan dapat terbentuk generasi yang kokoh idiologinya, mantap sikap mentalnya dan memiliki pondasi yang kuat dalam menghadapi serangan nilai luar yang datang bersamaan dengan derasnya arus global. Generasi yang mampu melihat secara tegas tentang apa yang baik dan apa yang buruk, hak dan kewajiban moral (akhlak), mampu mengejawantahkan kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak, serta memegang teguh sistem nilai mengenai benar dan salah yang dianut bangsanya
D. PENINGKATAN KUALITAS BELAJAR MELALUI PTK
PTK (Penelitian Tindakan Kelas) atau Classroom Action Research berkembang di beberapa Negara maju, antara lain Inggris, Amerika, Australia, dan Canada. Penelitian ini mampu menawarkan cara dan prosedur baru untuk memperbaiki dan meningkatkan profesionalisme guru dalam proses belajar-mengajar di kelas. McNiff (1992;1) dalam bukunya menjelaskan bahwa PTK sebagai bentuk penelitian reflektif yang dilakukan oleh guru sendiri, hasilnya dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk pengembangan kurikulum, pengembangan sekolah, pengembangan keahlian mengajar, dan lain sebagainya.
Dengan PTK, guru dapat meneliti sendiri terhadap praktek pembelajaran yang dilakukannya di kelas, guru dapat melakukan penelitian terhadap siswa dilihat dari interaksinya dalam proses pembelajaran. Dalam PTK, guru dan dosen secara kolaboratif dapat melakukan penelitian terhadap proses dan atau produk pembelajaran secara reflektif di kelas. Dengan demikian, PTK dapat memperbaiki praktek-praktek pembelajaran menjadi efektif.
Apabila proses kegiatan pendidikan di kelas yang disebut dengan pembelajaran dilakukan penelitian tindakan kelas, akan memunculkan reaksi tertentu baik dari siswa maupun guru lainnya, sehingga situasi pendidikan tidak menjadi original, tetapi berubah menjadi situasi yang dibuat-buat, seolah ada rekayasa yang tidak pas dengan situasi pembelajaran. Oleh karena itu, melakukan PTK harus didasari oleh asumsi-asumsi yang mencakup berbagai pendekatan, baik pendekatan filosofis maupun pendekatan ilmiah dan pendekatan yang memadukan kedua pendekatan tersebut.
Salah satu pendekatan yang mendasari bagaimana PTK dilakukan dengan benar adalah pendekatan filosofis. Dalam pendekatan ini, ada tiga aspek yang menjadi kajian sebuah pendekatan filsafiah, yaitu aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis.
Ontologis keilmuan membahas dan menelaah tentang obyek kajian yang menjadi pembahasannya. Epistemologis keilmuan membahas dan menelaah tentang metodologi telaahan untuk mencapai kebenaran obyektif. Sedangkan aksiologis keilmuan membahas tentang nilai kegunaan dari hasil kajian dan metodo- loginya.
PTK sebagai penelitian yang bersifat reflektif, melakukan tindakan-tindakan tertentu agar dapat memperbaiki dan atau meningkatkan prktek-praktek pembelajaran di kelas secara lebih professional. Oleh karena itu, PTK terkait erat dengan permasalahan praktek pembelajaran sehari-hari yang dihadapi oleh guru. Apabila praktek yang dilakukan hanya bertumpu pada tindakan-tindakan yang tanpa nilai dan tidak berorientasi pada keunggulan martabat manusia, maka PTK menjadi tidak memiliki nilai dan arti dalam pendidikan di sekolah.
Kajian obyek PTK secar material, adalah bagaimana peserta didik dapat difahami sebagai subyek yang ikut menentukan proses pembelajaran dan tercapai atau tidaknya tujuan yang ditetapkan. Secara formal, PTK lebih memfokuskan pada situasi komunikasi/pergaulan pendidikan di kelas dengan berbagai tindakan guru untuk mempengaruhi siswa untuk memahami pesan komunikasinya. Situasi pendidikan berbeda dengan situasi bermain sandiwara, yang sudah diketahui apa yang akan terjadi setelah permainan selesai, karena semua direkayasa dan semua pemain tahu harus melakukan apa, berkata apa, dan kapan peserta mengakhiri permainannya. Tidak ada pengaruh berarti dalam kehidupan sandiwara. Situasi ini berbeda dengan situasi pendidikan, yang mencoba merekayasa persiapannya, teknologinya, system penilaiannya, dan tehnik pengembangannya, tetapi tidak mengetahui apa yang terjadi pada siswa, apa mereka ada perubahan atau belum?
Dengan demikian, dibutuhkan berbagai pendekatan yang tepat untuk dapat memprediksi perilaku-perilaku peserta didik dan juga guru dalam melakukan kegiatan pembelajaran yang mendidik. Oleh karena itu, dibutuhkan refleksi dalam setiap tindakan yang berbasis analisis keilmuan, apakah aspek psikologisnya, sosio- logisnya, antropologisnya, aspek metodologisnya, aspek politisnya, dan aspek-aspek kehidupan lainnya.
Mengapa PTK dibutuhkan oleh guru? Masih banyak guru yang dibawah standar kompetensi professional dalam melakukan proses pembelajaran, sehingga banyak tindakan guru yang sia-sia karena tidak mencapai tujuan yang diharapkan. Untuk mengetahui tindakan apa yang keliru dalam pembelajaran, mengapa siswa tidak bergairah dalam belajar, dan mengapa tujuan pembelajaran tidak tercapai, dibutuhkan PTK sebagai salah satu upaya yang dapat memperbaiki kinerja guru di kelasnya.
TUJUAN PENELITIAN KELAS
1.PTK merupakan upaya perbaikan, peningkatan dan perubahan kearah yang lebih baik sebagai upaya pemecahan masalah dalam praktek pembelajaran secara berkesinambungan.
2.PTK merupakan salah satu langkah strategis guru untuk meningkatkan layanan kependidikan secara keseluruhan.
3.PTK sebagai sarana pengembangan keterampilan guru yang bertolak dari kebutuhan untuk menanggulangi permasalahan pembelajaran yang dihadapi di kelas.
4.PTK merupakan salah satu sarana untuk menumbuhkan budaya meneliti di kalangan guru.
KARAKTERISTIK PTK
Dibandingkan penelitian lain, penelitian tindakan kelas memiliki beberapa karakteristik yang membedakannya, yakni:
1.Situasional, artinya kegiatan PTK berangkat dari permasalahan yang terjadi dalam tugas sehari-hari oleh guru sebagai pengelola program pembelajaran di kelas.
2.kontekstual, artinya upaya pemecahan masalah baik yang berupa model atau prosedur tindakan tidak terlepas dari konteks (sosial,politik,budaya) dimana proses pembelajaran tersebut berlangsung.
3.Kolaboratif, artinya PTK dilakukan dengan beberapa guru/teman sejawat baik di lingkungan sekolah maupun dilingkungan profesi(KKG/MGMP).
4.Self-reflektive dan self-evaluative, dimana pelaksana dan pelaku tindakan melakukan refleksi da evaluasi diri terhadap hasil/perubahan yang dicapai, karena PTK memiliki langkah-langkah dalam suatu daur/siklus mulai : perencanaan,tindakan , pengamatan dan refleksi.
5.Fleksibel, dalam arti PTK memberikan sedikit kelonggaran dalam pelaksanaan tanpa melanggar kaidah metodologi ilmiah. Contoh satu kelas yang di ajar sendiri.
E. PROSDUR PENELITIAN TINDAKAN KELAS
Prosedur pelakasanaan PTK mencakup : (1). Penetapan fokus masalah penelitian, (2). Perencanaan tindakan, (3). Pelaksanaan tindakan dan observasi, (4). Analisis dan refleksi, (5). Perencanaan dan tindak lanjut.
1. Penetapan fokus masalah penelitian
a.Ketika guru sedang atau telah melaksanakan pembelajaran, pasti pernah terbersit perasaan tidak puas terhadap praktek pembelajaran yang dilakukannya, bahwa masih ada sisi-sisi kelemahan dalam implementasi pembelajarannya
b.Identufikasi masalah
Bertolak dari adanya masalah maka guru dapat mengidentifikasi permasalahan, seperti misalnya:
o Hasil rata-rata nilai geografi rendah.
o Rendahnya minat siswa terhadap pelajaran geografi
o Kurang adanya keterlibatan siswa secara aktif dalam roses pembelajaran
o Kurangnya pemanfaatan media/alat peraga.
c.Perumusan masalah
Dari beberapa permasalahan yang timbul, perlu dilakukan pemilahan masalah dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
o Masalah tersebut menunjukkan kesenjangan antara fakta/teori dengan kondisi ideal yang sebenaranya yang dihsdspi guru dalamproses pembelajaran.
o Adanya kemungkinan dicarikan solusinya melalui tindakan yang konkrit yang dapat dilakukan guru jangan memilih masalah yang berada diluar kemampuan/kekuasaan guru untuk mengatasinya.
o Masalah tersebut memungkinkan dicari faktor yang menimbulkannya yang dapat digunakan sebagai landasan untuk merumuslkan alternatif pemecahannya.
o Pilih permasalahan yang dirasa penting serta melibatkan guru dalam aktivitas yang diprogramkan sekolah.
o Tetapkan permasalahan yang skalanya cukup kecil dan terbatas.
o Kaitksn PTK dengan prioritas yang ditetapkan dalam rencana pengembangan sekolah.
Selanjutnya setelah menetapkan fokus permasalahan, maka perlu merumuskannya secara lebih jelas, spesifik dan operasional, yang akan membuka peluang guru untuk menetapkan tindakan perbaikan yang diperlukan.
Contoh perumusan masalah :
Apakah dengan menampilakan model peta dari yang sederhana sampai yang lengkap dalam pembelajaran dapat meningkatkan minat belajar geografi?
2.Perencanaan Tindakan
Berbeda dengan hipotesis penelitian tindakan umumnya, hipotesis tindakan yang dilakukan dalam PTK merupakan suatu solusi yang diharapkan dapat memecahkan masalah yang diteliti. Menurut Soedarsono (1997) ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam merumuskan hipotesis tindakan, yakni :
o Alternatif tindakan dirumuskan berdasarkan hasil kajian sehingga mempunyai landasan yang mantap secara teoritis atau konseptual.
o Alternatif tindakan perlu dipertimbangkan, dikaji ulang baik dari segi relevansinya dengan tujuan, bentuk tindakan dan prosedurnya, kepraktisan dan optimalisasi hasil serta cara penilaiannya.
o Pilih alternatif tindakan yang dinilai paling menjanjikan hasil yang optimal namun tetap dalam jangkauan kemampuan guru sesuai situasi dan kondisi sekolah.
o Tentukan langkah-langkah untuk melaksanakan tindakan serta cara-cara untuk mengetahui hasilnya.
o Tentukan cara untuk menguji hipotesis tindakan guna membuktikan bahwa telah terjadi
perubahan, perbaikan atau peningkatan meyakinkan.
Untuk merumuskan tindakan, peneliti dapat melakukan kajian terhadap :
• Teori pembelajaran danpendidikan
• Hasil penelitian yang relevan
• Hasil diskusi dengan rekan sejawat maupun pihak lain.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hakam, Kama, (2002), Pendidikan Nilai, Bandung, Value Press
Bartens, K. (2004), Etika, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama.
Barnadib, Imam, (1988), Ke Arah Perspektif Baru Pendidikan, Jakarta. Depdiknas.
Bachtiar, Harsya W. (1987), Budaya dan Manusia Indonesia, Yogyakarta: PT Hanindata Graha Widya.
Friedman, Thomas L. (2002), Memahami Globalisasi, Bandung:Penerbit ITB.
Haricahyono, Cheppy. (1995). Dimensi-dimensi Pendidikan Moral. Semarang: IKIP Semarang Press.
Hers. Richard H. et al. (1980). Model of Moral Education: An Appraisal. New York: Longman Inc.
Maksum, Ali dan Luluk YR, (2004), Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Post Modern, Yogyakarta: Irgi.
Martin, Hans, dan Harald Schuman, (2005), Jebakan Global, Hasta Mitra-Institute For Global Justice.
Magnis Susesno Frans, (1987), Etika Dasar; Masalah-masalah pokok Filsafat Moral, Jakarta, Kanisiu
Mahmud Shubhi Ahmad, (2001), Filsafat Etika; Tanggapan Kaum Rasionalis dan Intuisionalis. Jakarta, Serambi
Mangunhardjana A, (1996), Isme-isme dalam Etika dari A-Z, Yogyakarta, Kanisius
Mackie, 1981, Ethics Inventing Right and Wrong, England, Penguin Book.
Mulyana, Rohmat, (2004), Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, Bandung, Alfabeta.
Nadraha, Taliziduhu (1997), Budaya Organisasi, Jakarta, Rineka Cipta
Naisbitt, John, (2002), Hig tech high touch, Pencarian Makna di tengah perkembangan pesat teknologi, Bandung:Mizan
Ohmae, Kenichi, 2005), The Next Global Stage, jakarta: Indecs
Piliang, Yasraf Amir, (2003), Paradoks Globalisasi: Kritik globalisasi di Indonesia dan perspektif Sosial Budaya, Jurnal Dialektika, Vol 3 No 1-2003
Pulungan, Amalia dan Abimanyu, (2005), Bukan sekedar Anti Globalisasi, Jakarta : walhi.
Steger, Manfred B, (2006), Globalisme Bangkitnya Ideologi Pasar, Yogyakarta: Lafadly Pustaka
Sumaatmadja, Nursid, (2002), Pendidikan Pemanusiaan Manusia Manusiawi, Bandung: Alfabeta.
Suwito, (2004), Filsafat Pendidikan Etika Ibnu Miskawaih, Yogyakarta
OLEH SOFYAN SAURI
A. PENDAHULUAN
Guru adalah sosok manusia yang patut ditiru dan digugu, demikianlah pribahasa yang sering kita dengar dari berbagai penyaji makalah dalam seminar-seminar atau dalam pembekalan kepada para guru dalam mengawali tugasnya dilapangan. Penampilan seorang guru di dalam kelas maupun di luar kelas menjadi pusat perhatian semua orang terlebih para murid-muridnya. Mulai dari menyisir rambut memakai baju, celana, sepatu, kaus kaki, tas yang disandangnya, ucapannya, jalannya, dan lain-lain menjadi pusat perhatian dalam kehidupannya sehari-hari.
Apa yang diucapkan guru di dalam kelas maupun di luar kelas, menjadi pusat perhatian para pendengarnya. Ucapan guru selalu bermakna dan kaya ilmu, ucapan guru tidak menimbulkan arogan, sombong, egois ingin kapuji para pendengarnya. Walaupun ada seperti itu hanya sebuah kasus dari sosok guru yang tidak memiliki keperibadian yang terpuji. Tugas mendidik dan mengajar merupakan amalan yang sangat menyenangkan tanpa henti, selama dua puluh empat jam sehari semalam guru berupaya sekuat tenaganya memikul tugas mulia para anak didiknya di mana pun berada.
Guru berupaya sekuat tenaga untuk menanam pohon yang dapat menghasilkan manfaat bagi dirinya, keluarga, masyarakat, dan sekolah. Diharapkan pohon yang dicita-citakannya, akan menjadi pohon yang kuat akar-akarnya, banyak dahannya, rindang daunnya, manis buahnya, dan melindungi orang yang berteduh di bawahnya. Sehinga pohon itu dipelihara bukan hanya oleh guru sendiri, tetapi semua orang memberikan perhatian yang maksimal kepadanya.
Pohon yang dimaksud adalah jadidiri seorang pendidik, yang akakr-akarnya kuat digambarkan sisi keilmuan yang dimilkinya sangat dalam dan luas. Apabila berargumen dengan yang seilmu selalu bijaksana, tidak mudah tersinggung, selalu mengedepankan hormat pada orang lain yang tidak sependapat, dan mengingatkan siapapun yang salah dengan bahasa sntun, yakni pilihan kata yang digunakaknnya dengan penuh pertimbangan sehingga kedengarannya menjadi obat penyejuk dalam kehidupannya.
Tangkai pohon yang banyak menggambarkan, sosok guru yang sangat bermanfaat dalam kehidupan pada masyarakat. Setiap ada kegiatan apapun makan yang menjadi sasaran dan kepercayaan adalah guru. Tantkala camat menentukan ketua panitia 17 agustusan, ketika memilih ketua lomba kebersihan lingkungan, ketika ada upacara hari-hari besar agama dan umum, yang terpilih siapa lagi kalau bukan guru.
Landasan legal guru dalam penyelenggaraan pendidikan adalah sebagai berikut; Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaga Negera Republik Indonesia tahun 2003 nomor 78, tambahan Lembaga Negara RI no 4301) pasal 39 ayat (2) yang menyatakan bahwa pendidik merupakan tenaga professional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran , menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan latihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat , terutama pendidik pada PT.
Guru adalah hamba Allah yang paling mulia dihadapn-Nya, tuganya sebagai kholifah fil ardi, yang dapat merubah peradaban manusia secara menyeluruh, dari tidak memilki kemampuan untuk berbuat menjadi dapat berkiprah sebagaimana yang diharapkan. Tidak membaca dirubah menjadi mampu membaca, tidak berperilaku santun dibimbing untuk menjadi santun, sabar, ulet, terampil, cerdas dan taqwa.
Saat menyusun makalah tergambarlah dalam pikiran, apabila guru memiliki profil sebagaimana yang digambarkan di atas, maka akan dengan keperibadian guru yang secara lestari digulirkan kepada anak didiknya, baik melalui pembelajaran secara langsung atau melalui penelitisn tindakan kelas, maka diprediksi, Indonesia yang sedang berada dalam level pendidikan di dunia yang sangat rendah, akan mampu bangkit, menggeliat secara teratur dan ilmiah merubah peradaban kea rah yang lebih baik, posistif, terhormat di mata dunia. Akhirnya timbul permasalahan “Bagaimana pembinaan keperibadian guru berbasis nilai dalam penelitian tindakan kelas (PTK)?
Pembinaan agar keperibadan guru yang terpuji tetap terjaga, maka perlu dilakukan pembinaan secara kontinu antara lain: (1) pertemuan silaturahmi secara periodic yang diseponsori oleh pimpinan langsung setiap daerah; (2) pengajian rutin dengan menghadirkan kiai dari dalam dan luar kelompok guru; (3) diskusi peningkatan wawasan guru dalam era global (4) anjang sana ke pada keluarga guru; (5) mennengok kepada keluarga guru yang terkena musibah; (6) silaturahmi guru dan orang tua muridsecara terjadwal, (7) mengikuti seminar dan pelatihan ISQ..
B. GURU PERLU MEMAHAMI TUJUAN HIDUP
Seorang manusia yang telah jelas visi hidupnya, maka selalu misinya mendukung apa yang terlukis dalam visinya. Sebuah visi terwujud tidak terlepas dari tujuan yang diinginkan sebelumnya. Misalnya menginginkan Indonesia kedepan adalah menjadi suatu Negara yang baldatun toyyibatun warobbun ghofur , yakni Negara yang aman, subur makmur gemah ripah lohjinawi. Artinya egara yang menjadi dambaan semua rakyatnya. Ungkapan di atas tadi seolah-olah sebagai visi ke depan.
Visi yang paling mendasar dan menjadi dambaan manusia yang beriman, adalah tertuang dalam Q.S Al Qosos 77, Dan hendaklah kami memraih kebahagiaan yang Allah siapkan di akhirat kelak dan jangan melupakakn bagianmu di dunia, dan berbuat baiklah kamu kepada Allah sebagaimana Allah telah berbat baik kepadamu. Sesungguhnya Allah sangat mencintai orang yang berbuat kebaikan. Dari ayat tersebut terungkap bahwa segala perbuatan yang dilakukan di alam dunia ini harus selalu berdasar kepada pedoman yang paling mendasar yakni ayat tersebut di atas. alangkah indahnya guru yang memiliki keimanan yang kuat dan pemahaman Al Quran yang hebat.
Tujuan ke depan dalam ayat tersebut meraih kebahagiaan yang hakiki, melalui kegiatan amalan setiap hari menjadi pendidik, dan pengajar para muridnya , dengan selalu berbuat yang paling baik dari sebelumnya. Hal ini diperkuat hadis nabi, bahwa hari ini harus lebih baik dari hari kemarin, dan hari besok harus lebih baik dari hari ini. Dan diperjelas lagi bahwa tujuan pendidikan di Indonesia sebagaimana terungkap, bahwa tujuan pendidikan tertuang dalan undang-undang sistem pendidikan nasional nomor 20 tahun 2003 bab II pasal 3 sebagai berikut: ”Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Adanya kata-kata mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat tentunya perlu diupayakan melalui formulasi pendidikan nasional yang tepat. Indikator watak dan peradaban bermartabat itu sendiri tentunya adalah ketika terbentuk gererasi yang betul-betul menghargai dan menghormati sistem nilai bangsanya. Watak dan peradaban yang bermartabat hanya dapat diraih oleh pendidikan yang betul-betul mengintegrasikan sistem nilai yang anut bangsanya ke dalam seluruh komponan pendidikan. Dengan demikian, jelaslah bahwa upaya pengembangan pendidikan yang berbasis kepada nilai etika suatu bangsa menjadi sangat penting.
C. PENDIDIKAN NILAI ETIKA
Ada pengamatan yang sangat tajam dilengkapi dengan hasil penelitian, dan diungkapkan oleh para ahli pendidikan nilai dewasa ini, bahwa pendidikan di Indonesia belum menghasilkan tujuan pendididikan nasional dengan maksimal. Hal ini terungkap bahwa penekanan pendidikan yang sekarang dan tempo dulu masih lebih ke arah kognisi yang paling diutamakan. Sedangkan pendidikan hati atau afeksi masih diabaikan, bahkan kalau boleh dikatakan belum menjadi bagian yang diseimbangkan. Untuk hal itu maka pendidikan nilai harus menjadi basis dalam semua kegiatan pendidikan dan pembelajaran di sekolah maupun di luar sekolah.
Dalam perspektif sejarah filsafat, nilai merupakan suatu tema filosofis yang berumur masih muda. Baru pada akhir abad ke-19 nilai mendapat kedudukan mantap dalam kajian filsafat akademis secara eksplisit. Namun secara implisit, nilai sudah lama memegang peranan dalam pembicaraan filsafat, yaitu sejak Plato menempatkan ide ‘baik’ paling atas dalam hierarki nilai-nilai (Bartens, 2004:12). Kurt Baier (UIA, 2003: 10) mengemukakan bahwa nilai adalah suatu kecenderungan perilaku yang berawal dari gejala-gejala psikologis seperti hasrat, motif, sikap, kebutuhan dan keyakinan yang dimiliki secara individual sampai pada wujud tingkah lakunya yang unik. Sedangkan Allport menyatakan bahwa nilai adalah keyakinan yang membuat seseorang bertindak atas dasar pilihannya. Bagi Allport nilai terjadi pada wilayah psikologis kepribadian (Allport, 1964:4).
Adapun Kluckhon dalam Mulyana (2004:5) lebih panjang merumuskan tentang nilai. Ia mendefinisikan nilai sebagai konsepsi dari apa yang diinginkan, yang memengaruhi pilihan terhadap cara, tujuan antara dan tujuan akhir tindakan. Sementara Bramel dalam Mulyana (2004:5) mengungkapkan bahwa definisi itu memiliki banyak implikasi terhadap pemaknaan nilai-nilai budaya, dalam pengertian lebih spesifik implikasi yang dimaksud adalah.
• Nilai merupakan konstruk yang melibatkan proses kognitif (logis dan rasional) dan proses katektik (ketertarikan atau penolakan menurut kata hati).
• Nilai selalu berfungsi secara potensial, tetapi selalu tidak bermakna apabila diverbalisasi.
• Apabila hal itu berkenan dengan budaya, nilai diungkapkan dengan cara yang unik oleh individu atau kelompok.
Deskripsi pendidikan berbasis nilai mencakup keseluruhan dimensi pendidikan. Tujuan pendidikan nilai yang ideal adalah membentuk kepribadian manusia seutuhnya. Tujuan ini diarahkan untuk mencapai manusia seutuhnya yang berimplikasi pada pendidikan nilai sebagai keseluruhan praktek pendidikan di lingkungan satuan pendidikan. Karena itu, pendidikan nilai berarti keseluruhan dimensi pendidikan yang dilakukan melalui kegiatan pengembangan, baik kegiatan kurikulum, ektrakurikuler, dan seluruh kegiatan belajar mengajar yang dikatakan sebagai upaya penanaman nilai dalam pendidikan.
Pendidikan nilai dapat menjadi sarana ampuh dalam menangkal pengaruh-pengaruh negatif yang terjadi dalam kehidupan masyarakat global dewasa ini. Sejalan dengan derap laju pembangunan dan laju perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, serta arus reformasi sekarang ini, pendidikan nilai semakin dirasa penting sebagai salah satu alat pengendali bagi tercapainya tujuan pendidikan nasional secara utuh.
Kaitanya dengan nilai etika, kata etika atau ethics (bahasa Inggris) itu sendiri memiliki banyak arti, secara etimologi istilah etika berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu ethos yang mempunyai arti tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Adapun dalam bentuk jamaknya ta etha yang artinya adat kebiasaan. Ta etha menjadi latar belakang terbentuknya istilah “etika” yang oleh filsuf Yunani besar Aristoteles (384-322) sudah dipakai untuk menunjukan filsafat moral. Jika dilihat dari asal-usul kata etika, maka etika dapat didefinisikan sebagai ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.
Selain secara etimologis, kita dapat melihat pengertian etika dari kamus, dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang lama (Peoerwadarmita,1953), etika dijelaskan sebagai ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral). Adapun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang baru terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1988), etika dirumuskan dalam tiga arti sebagai berikut:
• Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).
• Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak.
• Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Menanggapi tiga pengertian etika di atas, Bertens (2004:5) mengemukakan bahwa urutan tiga arti tersebut kurang kena, sebaiknya arti ketiga ditempatkan di depan karena lebih mendasar daripada yang pertama dan rumusannya juga bisa dipertajam lagi. Dengan demikian, menurut Bertens (2004:6) tiga arti Etika dapat dirumuskan sebagai berikut :
• Etika dipakai dalam arti nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Arti ini disebut juga sebagai “sistem nilai” dalam hidup manusia perseorangan atau hidup bermasyarakat. Misalnya etika orang Jawa dan etika agama Budha.
• Etika dipakai dalam arti kumpulan asas atau nilai moral.Yang dimaksud disini adalah kode etik, misalnya Kode Etik Advokat Indonesia.
• Etika dipakai dalam arti ilmu tentang yang baik atau yang buruk. Arti etika di sini sama dengan filsafat moral.
Etika juga disebut ilmu normatif, maka dengan sendirinya berisi ketentuan-ketentuan (norma-norma) dan nilai-nilai yang dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Kita juga sering mendengar istilah descriptive ethics, normative ethics dan philosophy ethics. Descriptive ethics, ialah gambaran atau lukisan tentang etika, Normative ethics, ialah norma-norma tertentu tentang etika agar seseoarang dapat dikatakan bermoral sedangkan philosophy ethics ialah etika sebagai filsafat, yang menyelidiki kebenaran.
Pengertian Etika juga dikemukakan oleh Sumaryono (1995), menurutnya bahwa Etika berasal dari istilah Yunani ethos yang mempunyai arti adat-istiadat atau kebiasaan yang baik. Bertolak dari pengertian tersebut etika berkembang menjadi studi tentang kebiasaan manusia berdasarkan kesepakatan menurut ruang dan waktu yang berbeda, yang menggambarkan perangai manusia dalam kehidupan manusia pada umumnya. Selain itu, Etika juga berkembang menjadi studi tentang kebenaran dan ketidakbenaran berdasarkan kodrat manusia yang diwujudkan melalui kehendak manusia.
Menurut Wiramiharja (2006 : 158) pada dasarnya etika meliputi empat pengertian:
• Etika merupakan sistem nilai kebiasaan yang penting dalam kehidupan kelompok khusus manusia.
• Etika digunakan pada suatu di antara sistem-sistem khusus tersebut yaitu “moralitas” yang melibatkan makna dari kebenaran dan kesalahan, seperti salah dan malu.
• Etika adalah sistem moralitas itu sendiri mengacu pada prinsip-prinsip moral aktual.
• Etika adalah suatu daerah dalam filsafat yang memperbincangkan telaahan etika dalam pengertian-pengertian lain.
Etika baru menjadi ilmu bila disusun secara metodis dan sistematis yang terdiri dari asas-asas dan nilai baik buruk. Jadi etika adalah suatu ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, mana yang dapat dinilai baik dan mana yang dinilai jelek dengan memperlihatkan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat dicerna akal pikiran. Pengertian etika sebagai ilmu merupakan suatu studi yang mempelajari tentang segala soal kebaikan dalam hidup manusia semuanya, mengenai gerak-gerik pikiran dan rasa yang merupakan pertimbangan perasaan sampai mengenai tujuannya. Beberapa ahli yang menyatakan bahwa etika sebagai ilmu antara lain;
• Ahmad Yamin, Etika diartikan sebagai ilmu yang menjelaskan arti baik-buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat.
• Soegarda Poerbakawatja, etika adalah sebagai filsafat nilai, kesusilaan tentang baik-buruk, berusaha mempelajari nilai-nilai dan merupakan pengetahuan tentang nilai-nilai itu sendiri.
• Ki Hajar Dewantara mengartikan etika sebagai ilmu yang mempelajari soal kebaikan dan keburukan dalam hidup manusia semuanya, teristimewa yang mengenai gerak-gerik pikiran, rasa yang dapat merupakan pertimbangan dan rasa perasaan sampai menguasai tujuannya yang dapat merupakan perbuatan.
• Austin Fogothey mengartikan etika sebagai ilmu yang berhubungan dengan seluruh ilmu pengetahuan tentang manusia dan ilmu masyarakat yang erat hubungannya dengan antropologi, psikologi, sosiologi, ekonomi, ilmu politik dan ilmu hukum.
• Ahmad Zubair mengartikan etika sebagai cabang filsafat, yaitu filsafat etika atau pemikiran filsafat tentang moralis, problem moral dan pertimbangan moral.
• H. Devos mengartikan etika sebagai ilmu pengetahuan mengenai kesusilaan secara ilmiah.
• Asmaran AS mengartikan etika sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku manusia untuk menentukan nilai-nilai perbuatan tersebut baik dan buruk, sedangkan ukuran untuk menetapkan nilainya adalah akal pikiran manusia.
• Hamzah Ya’kub menyatakan etika sebagai ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran.
• Burhanudin Salam mengartikan etika sebagai sebuah refleksi kritis dan rasional menyamai nilai-nilai dan norma moral yang menentukan dan terwujudnya dalam sikap dan pola perilaku hidup manusia, baik secara pribadi maupun secara kelompok.
• Surahwaldi Lubis mengartikan etika sebagai ilmu filsafat tentang nilai-nilai kesusilaan, tentang baik dan buruk.
• Pudjawijatna mengartikan etika sebagai ilmu yang mencari kebenaran. Ia mencari keterangan benar sedalam-dalamnya. Tugas etika adalah mencari ukuran baik buruknya tingkah laku manusia.
• Lewis Mustofa Adam mengartikan etika sebagai ilmu tentang filsafat, tidak mengenai fakta, tetapi tentang nilai-nilai, tidak mengenai sifat tindakan manusia tetapi tentang idenya.
• M. Yatimin Abdullah mengartikan etika sebagai ilmu yang mempelajari tentang baik-buruk. Jadi etika bisa berfungsi sebagai teori perbuatan baik dan buruk (ethics atau ilm al-akhlak al-karimah) praktiknya dapat dilakukan dalam disiplin filsafat.
• Magnis Suseno mengartikan etika bukan suatu sumber tambahan bagi ajaran moral, melainkan merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral.
• Sumantri mengartikan Etika sebagai suatu ilmu yang mengadakan ukuran yang dapat dipakai untuk menanggapi dan menilai perbuatan manusia yang berhubungan dengan perbuatan kesusilaan yang benar (normative).
• Socrates mengungkapkan bahwa etika membahas baik-buruk, benar-salah dalam tingkah laku, tindakan manusia, dan menyoroti kewajiban-kewajiban manusia.
Berdasarkan penjelasan di atas, sesungguhnya etika dapat dibedakan menjadi tiga macam pemahaman yaitu:
• Etika sebagai ilmu, yang merupakan kumpulan tentang kebajikan, tentang penilaian dari perbuatan seseorang.
• Etika dalam arti perbuatan, yaitu perbuatan kebajikan. Misalnya seseorang dikatakan etis apabila orang itu telah berbuat kebajikan.
• Etika sebagai filsafat, yang mempelajari pandangan-pandangan, persoalan-persoalan yang berhubungan dengan masalah kesusilaan.
Menurut Suseno (1991:15) sekurang-kurangnya terdapat empat alasan, mengapa etika pada zaman sekarang semakin perlu.
• Kita hidup dalam masyarakat yang semakin pluralistik, juga dalam bidang moralitas. Dan kita sering dihadapkan dengan sekian banyak pandangan moral, sehingga kadang bingung mana yang akan kita ikuti.
• Kita hidup dalam masa transfortasi masyarakat yang tanpa tanding. Perubahan itu terjadi di bawah hantaman kekuatan yang mengenai semua segi kehidupan kita, yaitu gelombang modernisasi. Dalam transfortasi ekonomi, sosial, intelektual dan budaya itu nilai-nilai budaya yang tradisional ditantang semuanya.
• Dalam hal ini etika membantu agar kita tidak kehilangan orientasi, dapat membedakan antara yang hakiki dan apa saja yang boleh berubah, sehingga kita kita tetap saggup mengambil sikap-sikap yang dapat dipertanggungjawabkan.
• Tidak mengherankan bahwa proses perubahan sosial budaya dan moral yang kita alami kini dipergunakan oleh berbagai pihak untuk memancing di air keruh.
Dengan demikian etika dapat membuat kita sanggup untuk menghadapi ideologi-ideologi itu secara kritis dan objektif dan untuk penilaian sendiri, agar kita tidak terlalu mudah terpancing. Etika juga berguna membantu kita agar tidak naïf atau ektrim. Etika diperlukan oleh kaum beragama yang disatu pihak menemukan dasar kemantapan mereka dalam iman kepercayaan mereka di lain pihak sekaligus mau berpartisifasi tanpa takut-takut dan dengan tidak menutup diri dalam semua dimensi kehidupan masyarakat yang sedang berubah. Etika mau membantu, agar kita lebih mampu untuk mempertanggungjawabkan kehidupan kita.
Etika tidak langsung membuat manusia menjadi lebih baik, melainkan etika merupakan sarana untuk memperoleh orientasi kritis untuk berhadapan dengan berbagai moralitas yang membingungkan. Etika ingin menampilkan keterampilan intelektual yaitu keterampilan untuk berargumentasi secara rasional dan kritis. Orientasi etis ini diperlukan dalam mengabil sikap yang wajar dalam suasana pluralisme. Pluralisme moral diperlukan karena pandangan moral yang berbeda-beda karena adanya perbedaan suku, daerah budaya dan agama yang hidup berdampingan, modernisasi membawa perubahan besar dalam struktur dan nilai kebutuhan masyarakat yang akibatnya menantang pandangan moral tradisional, berbagai ideologi menawarkan diri sebagai penuntun kehidupan, masing-masing dengan ajarannya sendiri tentang bagaimana manusia harus hidup.
Mengingat sangat strategisnya posisi sistem nilai etika dalam kehidupan, terlebih tantangan dewasa ini semakin besar, maka pendidikan sebagai core program dalam upaya membentuk generasi harapan masa depan bangsa, wajib hukumnya untuk diintegrasikan dengan seperangkat nilai yang terformulasikan dalam konsep etika. Hal ini perlu di jabarkan oleh para praktisi pendidikan ke dalam seluruh komponen pendidikan, lebih spesipiknya dalam komponen-komponen pembelajaran seperti tujuan, materi, metode, media, sumber dan evaluasi.
Dengan mengembangkan pendidikan yang berbasis pada nilai etika, maka diharapkan dapat terbentuk generasi yang kokoh idiologinya, mantap sikap mentalnya dan memiliki pondasi yang kuat dalam menghadapi serangan nilai luar yang datang bersamaan dengan derasnya arus global. Generasi yang mampu melihat secara tegas tentang apa yang baik dan apa yang buruk, hak dan kewajiban moral (akhlak), mampu mengejawantahkan kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak, serta memegang teguh sistem nilai mengenai benar dan salah yang dianut bangsanya
D. PENINGKATAN KUALITAS BELAJAR MELALUI PTK
PTK (Penelitian Tindakan Kelas) atau Classroom Action Research berkembang di beberapa Negara maju, antara lain Inggris, Amerika, Australia, dan Canada. Penelitian ini mampu menawarkan cara dan prosedur baru untuk memperbaiki dan meningkatkan profesionalisme guru dalam proses belajar-mengajar di kelas. McNiff (1992;1) dalam bukunya menjelaskan bahwa PTK sebagai bentuk penelitian reflektif yang dilakukan oleh guru sendiri, hasilnya dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk pengembangan kurikulum, pengembangan sekolah, pengembangan keahlian mengajar, dan lain sebagainya.
Dengan PTK, guru dapat meneliti sendiri terhadap praktek pembelajaran yang dilakukannya di kelas, guru dapat melakukan penelitian terhadap siswa dilihat dari interaksinya dalam proses pembelajaran. Dalam PTK, guru dan dosen secara kolaboratif dapat melakukan penelitian terhadap proses dan atau produk pembelajaran secara reflektif di kelas. Dengan demikian, PTK dapat memperbaiki praktek-praktek pembelajaran menjadi efektif.
Apabila proses kegiatan pendidikan di kelas yang disebut dengan pembelajaran dilakukan penelitian tindakan kelas, akan memunculkan reaksi tertentu baik dari siswa maupun guru lainnya, sehingga situasi pendidikan tidak menjadi original, tetapi berubah menjadi situasi yang dibuat-buat, seolah ada rekayasa yang tidak pas dengan situasi pembelajaran. Oleh karena itu, melakukan PTK harus didasari oleh asumsi-asumsi yang mencakup berbagai pendekatan, baik pendekatan filosofis maupun pendekatan ilmiah dan pendekatan yang memadukan kedua pendekatan tersebut.
Salah satu pendekatan yang mendasari bagaimana PTK dilakukan dengan benar adalah pendekatan filosofis. Dalam pendekatan ini, ada tiga aspek yang menjadi kajian sebuah pendekatan filsafiah, yaitu aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis.
Ontologis keilmuan membahas dan menelaah tentang obyek kajian yang menjadi pembahasannya. Epistemologis keilmuan membahas dan menelaah tentang metodologi telaahan untuk mencapai kebenaran obyektif. Sedangkan aksiologis keilmuan membahas tentang nilai kegunaan dari hasil kajian dan metodo- loginya.
PTK sebagai penelitian yang bersifat reflektif, melakukan tindakan-tindakan tertentu agar dapat memperbaiki dan atau meningkatkan prktek-praktek pembelajaran di kelas secara lebih professional. Oleh karena itu, PTK terkait erat dengan permasalahan praktek pembelajaran sehari-hari yang dihadapi oleh guru. Apabila praktek yang dilakukan hanya bertumpu pada tindakan-tindakan yang tanpa nilai dan tidak berorientasi pada keunggulan martabat manusia, maka PTK menjadi tidak memiliki nilai dan arti dalam pendidikan di sekolah.
Kajian obyek PTK secar material, adalah bagaimana peserta didik dapat difahami sebagai subyek yang ikut menentukan proses pembelajaran dan tercapai atau tidaknya tujuan yang ditetapkan. Secara formal, PTK lebih memfokuskan pada situasi komunikasi/pergaulan pendidikan di kelas dengan berbagai tindakan guru untuk mempengaruhi siswa untuk memahami pesan komunikasinya. Situasi pendidikan berbeda dengan situasi bermain sandiwara, yang sudah diketahui apa yang akan terjadi setelah permainan selesai, karena semua direkayasa dan semua pemain tahu harus melakukan apa, berkata apa, dan kapan peserta mengakhiri permainannya. Tidak ada pengaruh berarti dalam kehidupan sandiwara. Situasi ini berbeda dengan situasi pendidikan, yang mencoba merekayasa persiapannya, teknologinya, system penilaiannya, dan tehnik pengembangannya, tetapi tidak mengetahui apa yang terjadi pada siswa, apa mereka ada perubahan atau belum?
Dengan demikian, dibutuhkan berbagai pendekatan yang tepat untuk dapat memprediksi perilaku-perilaku peserta didik dan juga guru dalam melakukan kegiatan pembelajaran yang mendidik. Oleh karena itu, dibutuhkan refleksi dalam setiap tindakan yang berbasis analisis keilmuan, apakah aspek psikologisnya, sosio- logisnya, antropologisnya, aspek metodologisnya, aspek politisnya, dan aspek-aspek kehidupan lainnya.
Mengapa PTK dibutuhkan oleh guru? Masih banyak guru yang dibawah standar kompetensi professional dalam melakukan proses pembelajaran, sehingga banyak tindakan guru yang sia-sia karena tidak mencapai tujuan yang diharapkan. Untuk mengetahui tindakan apa yang keliru dalam pembelajaran, mengapa siswa tidak bergairah dalam belajar, dan mengapa tujuan pembelajaran tidak tercapai, dibutuhkan PTK sebagai salah satu upaya yang dapat memperbaiki kinerja guru di kelasnya.
TUJUAN PENELITIAN KELAS
1.PTK merupakan upaya perbaikan, peningkatan dan perubahan kearah yang lebih baik sebagai upaya pemecahan masalah dalam praktek pembelajaran secara berkesinambungan.
2.PTK merupakan salah satu langkah strategis guru untuk meningkatkan layanan kependidikan secara keseluruhan.
3.PTK sebagai sarana pengembangan keterampilan guru yang bertolak dari kebutuhan untuk menanggulangi permasalahan pembelajaran yang dihadapi di kelas.
4.PTK merupakan salah satu sarana untuk menumbuhkan budaya meneliti di kalangan guru.
KARAKTERISTIK PTK
Dibandingkan penelitian lain, penelitian tindakan kelas memiliki beberapa karakteristik yang membedakannya, yakni:
1.Situasional, artinya kegiatan PTK berangkat dari permasalahan yang terjadi dalam tugas sehari-hari oleh guru sebagai pengelola program pembelajaran di kelas.
2.kontekstual, artinya upaya pemecahan masalah baik yang berupa model atau prosedur tindakan tidak terlepas dari konteks (sosial,politik,budaya) dimana proses pembelajaran tersebut berlangsung.
3.Kolaboratif, artinya PTK dilakukan dengan beberapa guru/teman sejawat baik di lingkungan sekolah maupun dilingkungan profesi(KKG/MGMP).
4.Self-reflektive dan self-evaluative, dimana pelaksana dan pelaku tindakan melakukan refleksi da evaluasi diri terhadap hasil/perubahan yang dicapai, karena PTK memiliki langkah-langkah dalam suatu daur/siklus mulai : perencanaan,tindakan , pengamatan dan refleksi.
5.Fleksibel, dalam arti PTK memberikan sedikit kelonggaran dalam pelaksanaan tanpa melanggar kaidah metodologi ilmiah. Contoh satu kelas yang di ajar sendiri.
E. PROSDUR PENELITIAN TINDAKAN KELAS
Prosedur pelakasanaan PTK mencakup : (1). Penetapan fokus masalah penelitian, (2). Perencanaan tindakan, (3). Pelaksanaan tindakan dan observasi, (4). Analisis dan refleksi, (5). Perencanaan dan tindak lanjut.
1. Penetapan fokus masalah penelitian
a.Ketika guru sedang atau telah melaksanakan pembelajaran, pasti pernah terbersit perasaan tidak puas terhadap praktek pembelajaran yang dilakukannya, bahwa masih ada sisi-sisi kelemahan dalam implementasi pembelajarannya
b.Identufikasi masalah
Bertolak dari adanya masalah maka guru dapat mengidentifikasi permasalahan, seperti misalnya:
o Hasil rata-rata nilai geografi rendah.
o Rendahnya minat siswa terhadap pelajaran geografi
o Kurang adanya keterlibatan siswa secara aktif dalam roses pembelajaran
o Kurangnya pemanfaatan media/alat peraga.
c.Perumusan masalah
Dari beberapa permasalahan yang timbul, perlu dilakukan pemilahan masalah dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
o Masalah tersebut menunjukkan kesenjangan antara fakta/teori dengan kondisi ideal yang sebenaranya yang dihsdspi guru dalamproses pembelajaran.
o Adanya kemungkinan dicarikan solusinya melalui tindakan yang konkrit yang dapat dilakukan guru jangan memilih masalah yang berada diluar kemampuan/kekuasaan guru untuk mengatasinya.
o Masalah tersebut memungkinkan dicari faktor yang menimbulkannya yang dapat digunakan sebagai landasan untuk merumuslkan alternatif pemecahannya.
o Pilih permasalahan yang dirasa penting serta melibatkan guru dalam aktivitas yang diprogramkan sekolah.
o Tetapkan permasalahan yang skalanya cukup kecil dan terbatas.
o Kaitksn PTK dengan prioritas yang ditetapkan dalam rencana pengembangan sekolah.
Selanjutnya setelah menetapkan fokus permasalahan, maka perlu merumuskannya secara lebih jelas, spesifik dan operasional, yang akan membuka peluang guru untuk menetapkan tindakan perbaikan yang diperlukan.
Contoh perumusan masalah :
Apakah dengan menampilakan model peta dari yang sederhana sampai yang lengkap dalam pembelajaran dapat meningkatkan minat belajar geografi?
2.Perencanaan Tindakan
Berbeda dengan hipotesis penelitian tindakan umumnya, hipotesis tindakan yang dilakukan dalam PTK merupakan suatu solusi yang diharapkan dapat memecahkan masalah yang diteliti. Menurut Soedarsono (1997) ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam merumuskan hipotesis tindakan, yakni :
o Alternatif tindakan dirumuskan berdasarkan hasil kajian sehingga mempunyai landasan yang mantap secara teoritis atau konseptual.
o Alternatif tindakan perlu dipertimbangkan, dikaji ulang baik dari segi relevansinya dengan tujuan, bentuk tindakan dan prosedurnya, kepraktisan dan optimalisasi hasil serta cara penilaiannya.
o Pilih alternatif tindakan yang dinilai paling menjanjikan hasil yang optimal namun tetap dalam jangkauan kemampuan guru sesuai situasi dan kondisi sekolah.
o Tentukan langkah-langkah untuk melaksanakan tindakan serta cara-cara untuk mengetahui hasilnya.
o Tentukan cara untuk menguji hipotesis tindakan guna membuktikan bahwa telah terjadi
perubahan, perbaikan atau peningkatan meyakinkan.
Untuk merumuskan tindakan, peneliti dapat melakukan kajian terhadap :
• Teori pembelajaran danpendidikan
• Hasil penelitian yang relevan
• Hasil diskusi dengan rekan sejawat maupun pihak lain.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hakam, Kama, (2002), Pendidikan Nilai, Bandung, Value Press
Bartens, K. (2004), Etika, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama.
Barnadib, Imam, (1988), Ke Arah Perspektif Baru Pendidikan, Jakarta. Depdiknas.
Bachtiar, Harsya W. (1987), Budaya dan Manusia Indonesia, Yogyakarta: PT Hanindata Graha Widya.
Friedman, Thomas L. (2002), Memahami Globalisasi, Bandung:Penerbit ITB.
Haricahyono, Cheppy. (1995). Dimensi-dimensi Pendidikan Moral. Semarang: IKIP Semarang Press.
Hers. Richard H. et al. (1980). Model of Moral Education: An Appraisal. New York: Longman Inc.
Maksum, Ali dan Luluk YR, (2004), Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Post Modern, Yogyakarta: Irgi.
Martin, Hans, dan Harald Schuman, (2005), Jebakan Global, Hasta Mitra-Institute For Global Justice.
Magnis Susesno Frans, (1987), Etika Dasar; Masalah-masalah pokok Filsafat Moral, Jakarta, Kanisiu
Mahmud Shubhi Ahmad, (2001), Filsafat Etika; Tanggapan Kaum Rasionalis dan Intuisionalis. Jakarta, Serambi
Mangunhardjana A, (1996), Isme-isme dalam Etika dari A-Z, Yogyakarta, Kanisius
Mackie, 1981, Ethics Inventing Right and Wrong, England, Penguin Book.
Mulyana, Rohmat, (2004), Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, Bandung, Alfabeta.
Nadraha, Taliziduhu (1997), Budaya Organisasi, Jakarta, Rineka Cipta
Naisbitt, John, (2002), Hig tech high touch, Pencarian Makna di tengah perkembangan pesat teknologi, Bandung:Mizan
Ohmae, Kenichi, 2005), The Next Global Stage, jakarta: Indecs
Piliang, Yasraf Amir, (2003), Paradoks Globalisasi: Kritik globalisasi di Indonesia dan perspektif Sosial Budaya, Jurnal Dialektika, Vol 3 No 1-2003
Pulungan, Amalia dan Abimanyu, (2005), Bukan sekedar Anti Globalisasi, Jakarta : walhi.
Steger, Manfred B, (2006), Globalisme Bangkitnya Ideologi Pasar, Yogyakarta: Lafadly Pustaka
Sumaatmadja, Nursid, (2002), Pendidikan Pemanusiaan Manusia Manusiawi, Bandung: Alfabeta.
Suwito, (2004), Filsafat Pendidikan Etika Ibnu Miskawaih, Yogyakarta
ORASI ILMIAH MENUJU TENAGA KEPENDIDIKAN PROFESIONAL
MENUJU TENAGA KEPENDIDIKAN PROFESIONAL
Disajikan pada Orasi Ilmiah Wisuda Sarjana Strata Satu STAI Lantabur Jakarta
Pada tanggal 6 agustus 2009
Oleh Prof. Dr. H. Sofyan Sauri, M.Pd
Terlebih dahulu marilah kita memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan panjang umur , sehat wal a’fiat, sehingga kita bisa menghadiri upacara wisuda yang mulya ini. Salawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga sahabat dan kita beserta keluarga hingga aklhir jaman.
Yang terhormat Bapak Ketua DPR
Yang terhormat Bapak Wali Kota Jakarta Pusat
Yang terhormat Bapak Ketua Yayasan Lantabur
Yang terhormat Bapak Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Lantabur
Yang terhormat para dosen, panitia, karyawan, orang tua, wisudawan, dan mahasiswa/i yang saya banggakan.
Dalam kesempatan ini saya menghaturkan terima kasih yang tiada terhingga kepada Bapak Ketua STAI Lantabur Jakarta Pusat dan kepada semua yang hadir, yang telah mengundang saya untuk berorasi ilmiah di hadapan para tamu undangan, dan para wisudawan yang dimuliakan dan dibanggakan Allah SWT. dengan judul “Menuju Tenaga Kependidikan Profesional”.
Hadirin hadirat yang dimulyakan Allah SWT
Pendidikan di Indonesia saat ini masih kurang memberikan kegembiraan yang sangat memuaskan untuk dapat mewujudkan tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam
UU No 20 Tahun 2003 “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermanfaat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab”. Pasal tersebut mengisyaratkan bahwa, tujuan pendidikan di Indonesia adalah mengembangkan manusia utuh, bukan kecakapan intelektual saja, tetapi juga kepribadian dan keterampilan, atau dalamhasil tafakkur penulis dapat melahirkan insan yang cerdas otaknya, lembut hatinya dan terampil tangannya. Untuk mewujudkan hal tersebut maka perlu dipersiapkan calon guru yang profesional.
Hadirin Undangan yang dibanggakan Allah SWT
Saya mengajak hadirin untuk mencermati hal-hal berikut:
1. Tenaga pendidik (guru) kurang profesional berakibat pada rendahnya mutu sumber daya manusia.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa kualitas sumber daya manusia (SDM) dan mutu pendidikan di negara kita jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, lebih-lebih jika dibandingkan dengan negara-negara maju. Data UNDP PBB tahun 2000 mengemukakan, bahwa kualitas SDM Indonesia berada di peringkat 109 ( di bawah Bangladesh) dari 174 negara (Malaysia,61; Thailand, 67; Philipina, 77). Sedangkan hasil survey Institute for Management Developmental tahun 1999, kualitas SDM Indonesia berada pada urutan 44 dari 46 negara.
Berbagai upaya telah banyak dilakukan oleh semua pihak, untuk menuju perbaikan mutu pendidikan. Upaya tersebut antara lain, dengan dikeluarkannya UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, PP No.28 tahun 1990, Kurikulum 1994 Suplemen 1999, Sistem Pembinaan Profesional Guru, UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pelaksanaan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), Kepmendiknas no. 044/U/2002 tahun 2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), dan Program Wajib Belajar 9 tahun dengan sasaran semua anak usia 7 hingga 15 tahun, untuk mengikuti pendidikan 6 tahun di sekolah dasar dan 3 tahun di sekolah lanjutan pertama.
Dari berbagai upaya sudah dilakukan, mutu pendidikan khususnya di tingkat SMP negeri/swasta berdasarkan data Nilai Ujian Akhir Nasional (NUAN) tahun 2002/2003 menunjukkan bahwa rerata Nilai UAN untuk seluruh mata pelajaran secara nasional relatif cukup tinggi, yaitu 5,93 (Ditjen Dikdasmen, 2004). Tingkat pencapaian ini dapat ditafsirkan bahwa secara rerata, lulusan SMP menguasai 59,30% dari seluruh materi yang seharusnya dikuasai.
Hasil UAN seyogyanya dijadikan oleh pemerintah daerah, untuk memetakan mutu pendidikan di wilayahnya, terutama menyangkut mutu hasil belajar siswa dan faktor-faktor yang berhubungan dengan guru. Dengan demikian, khususnya penyebaran tenaga guru, tidak semata-mata pada perhitungan kuantitas, tetapi juga aspek kualitas. Hasil UAN juga hendaknya memberi makna terhadap upaya peningkatan mutu pendidikan. Daerah-daerah mestinya sudah bisa membuat peta sekolah mana yang siswanya paling banyak lulus atau gagal UAN. Dari situ bisa dievaluasi, faktor kualitas sekolah termasuk kuantitas atau kualitas gurunya.
Berkaitan dengan peningkatan mutu pendidikan di sekolah, maka para peneliti pengambil kebijakan yang banyak terlibat dalam reformasi sekolah, mengajukan pertanyaan baru tentang pentingnya berbagai usaha terhadap hubungan antara faktor-faktor pendidikan dengan hasil-hasil belajar, seperti, kualifikasi guru (Ferguson,1991), kualitas guru (National Comissions on Teaching and America’s Future, 1996; National Education Goals Panel, 1998; dalam Darling dan Hammond, 2000), kompetensi guru mengajar dan kebijakan terhadap standar pengangkatan calon guru (Hammond, 2000), standar keterampilan mengajar guru (Wenglinsky ,2002), keterampilan akademik (Wayne, 2002), kualitas dan orientasi pelatihanan guru (McGin dan Borden,1995; Zafeirakou 2005).
Standar-standar baru untuk belajar siswa telah dikenalkan di seluruh dunia, standar-standar tersebut memberikan perhatian terbesar bahwa kualitas guru memainkan peranan penting terhadap prestasi siswa ( NCTA, 1996; NEGP, 1998, dalam Darling dan Hammond, 2000). Dalam beberapa tahun terakhir, lebih dari 25 negara telah menetapkan undang-undang untuk meningkatkan rekruitmen, pendidikan, sertifikasi atau pengembangan provesional guru ( Darling dan Hammond, 1997a). Selanjutnya Darling dan Hammond, (2000) mengemukakan pada berbagai bukti memperlihatkan bahwa guru yang berkualifikasi lebih baik, akan membuat perbedaan terhadap belajar siswa di kelas, sekolah dan di tingkat distrik, bahkan kualifikasi guru dan faktor input-input sekolah, seperti luas kelas, berhubungan dengan prestasi siswa.
Kualifikasi guru berkaitan erat dengan kompetensi yang dimiliki guru, baik kompetensi tingkat pendidikan, keilmuan dan profesional. Kompetensi tingkat pendidikan merupakan tingkat pendidikan yang dipersyaratkan bagi seorang guru, untuk mengajar di tingkat sekolah tertentu. Sedangkan kompetensi keilmuan adalah kesesuaian antara basis keilmuan yang diperoleh selama di perguruan tinggi dengan mata pelajaran yang diajarkan. Kompetensi profesi adalah pelatihan-pelatihan yang diikuti dan berguna untuk memperkuat kemampuan profesinya, dan lazimnya dibuktikan dengan uji kompetensi, lisensi, dan sertifikasi, sehingga dapat menggambarkan ”trickrecord” guru yang bersangkutan dalam perjalanan aspek profesionalnya.
Terhadap kompetensi guru, Wayne (2002) mengindikasikannya dengan sebutan ”teacher’s academic skills”. Shulman (1987) mengkonseptualisasikan kualitas guru berkaitan dengan sejumlah pengetahuan spesifik dan keterampilan-keterampilan. Kualitas guru itu dapat dilihat indikatornya melalui variabel pengalaman guru, sertifikasi dan tingkatan penguasaan yang dimiliki, seperti pengetahuan pedagogis dan materi ajar. Sedangkan Darling dan Hammond (2000) menunjukkan indikator kompetensi guru yang berkaitan dengan belajar siswa adalah kemampuan akademik, lamanya waktu studi di perguruan tinggi, lamanya pengalaman mengajar, penguasaan materi ajar dan pengetahuan mengajar, status sertifikasi, dan perilaku mengajar di kelas. Selanjutnya seecara khusus Darling dan Hammond (2000) mempaparkan variabel-variabel yang berkaitan dengan kualitas guru, yaitu intelegensi dan kemampuan umum akademik, pengetahuan materi ajar, pengetahuan tentang mengajar dan belajar, pengalaman mengajar, status sertifikasi atau lisensi mengajar, praktek-praktek dan perilaku-perilaku mengajar di kelas.
Para Undangan dan Wisudawan yang Amat Terpelajar
2. SDM yang lemah intelektual, skill dan kecerdasan sosial tidak mampu bersaing terutama dalam era globalisasi.
Dalam era global saat ini, jika seorang guru tidak memiliki intelektual yang maksimal, skill yang cukup dan kecerdasan sosial yang memadai, maka ia akan terpuruk, sehingga dia tidak mampu bersaing secara profesional. Kalau hal ini terjadi, ia akan kehilangan kepercayaan baik dari peserta didik, orang tua maupun masyarakat. Untuk menghadapi tantangan profesionalitas tersebut, guru perlu berfikir secara antisipatif dan proaktif. Artinya, guru harus melakukan pembaruan ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya secara terus menerus.
Disamping itu, guru masa depan harus paham penelitian guna mendukung terhadap efektivitas pengajaran yang dilaksanakannya, sehingga dengan dukungan hasil penelitiaan guru tidak terjebak pada praktek pengajaran yang menurut asumsi mereka sudah efektif, namun kenyataannya justru mematikan kreativitas para peserta didiknya. Begitu juga, dengan dukungan hasil penelitian yang mutakhir memungkinkan guru untuk melakukan pengajaran yang bervariasi dari tahun ke tahun, disesuaikan dengan konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedang berlangsung, sehingga diharapkan guru akan berperan lebih profesional sesuai dengan tugas dan kewajibannya sebagai salah satu penentu kehidupan bangsa yang akan datang dalam menghadapi globalisasi saat ini.
Jika memperhatikan kualitas guru di Indonesia memang jauh berbeda dengan guru-guru yang ada di Amerika Serikat atau Inggris. Di Amerika Serikat misalnya sebagaimana diuraikan dalam jurnal Educational Leadership 1993 (dalam Supriadi, 1998) dijelaskan bahwa untuk menjadi profesional seorang guru dituntut untuk memiliki lima hal: (1) Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya; (2) Guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarnya kepada siswa; (3) Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai cara evaluasi; (4) Guru mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya; (5) Guru seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.
Hadirin Wal Hadirat Rohima Kumulloh
3. Ciri-ciri guru profesional.
Guru yang profesional dituntut untuk memiliki kompetensi dalam profesi kependidikan yang menjadi tugas pokoknya. Adapun kompetensi yang harus dimiliki seorang guru professional menurut Undang-Undang no. 14 tahun 2005 adalah sebagai berikut:
1. Kompetensi Pedagogik. Kompetensi pedagogik meliputi:
a. Pemahaman terhadap peserta didik dengan indikator esensial: memahami peserta didik dengan memanfaatkan prinsip-prinsip perkembangan kognitif, kepribadian dan mengidentifikasi bekal/ajar awal peserta didik.
b. Rancangan pembelajaran dengan indikator esensial: memahami landasan kependidikan, menerapkan teori belajar, dan pembelajaran; menentukan strategi pembelajaran berdasarkan karakteristik peserta didik, kompetensi yang ingin dicapai, dan materi ajar; serta menyusun rancangan pembelajaran berdasarkan strategi yang dipilih.
c. Pembelajaran dengan indikator esensial: menata latar (setting) pembelajaran; dan melaksanakan pembelajaran yang kondusif.
d. Perancangan dan pelaksanaan evaluasi belajar, dengan indikator esensial: merancang dan melaksanakan evaluasi (assessment) proses dan hasil belajar secara berkesinambungan dengan berbagai metode; menganalisis hasil evaluasi proses dan hasil belajar untuk menentukan tingkat ketuntasan belajar (mastery learning); dan memanfaatkan hasil penilaian pembelajaran untuk perbaikan kualitas program pembelajaran secara umum.
e. Pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya, dengan indiaktor esensial: memfasilitasi peserta didik untuk pengembangan berbagai potensi akademik; dan memfasilitasi peserta didik untuk mengembangkan berbagai potensi non akademik.
2. Kompetensi Profesional
Kompetensi profesional merupakan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam, yang mencakup penguasaan materi kurikulum mata pelajaran di sekolah dan substansi keilmuan yang menaungi materinya, serta penguasaan terhadap struktur dan metodologi keilmuannya.
3. Kompetensi Sosial
Kompetensi sosial merupakan kemampuan guru untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.
4. Kompetensi Kepribadian
Kompetensi kepribadian merupakan personal yang mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik dan berakhlak mulia.
Secara konseptual menurut Sa’ud U.S dalam buku 50 tahun Kiprah Mencerdaskan Bangsa menyatakan bahwa standar pendidikan guru profesional itu berfungsi sebagai alat untuk menjamin program-program pendidikan suatu profesi dapat memberikan kualifikasi kemampuan yang harus dipenuhi oleh calon sebelum masuk ke dalam profesi yang bersangkutan. Standar suatu profesi merupakan alat untuk mengarahkan upaya-upaya peningkatan kualitas program pendidikan dan pelatihan profesional secara kontinu, sehingga terdapat keterpaduan dan sinergitas dalam out-come and program improvement pengembangan kualitas profesi tersebut. Ini berarti bahwa standar mutu suatu profesi dapat mengarahkan program pendidikan atau pelatihan calon anggota profesi yang bersangkutan untuk selalu mengutamakan kualitas kemampuan yang tinggi dalam proses pendidikannya. Dengan cara ini, maka standar program dan lulusannya secara tidak langsung akan meningkatkan posisi profesi tersebut di dalam kehidupan masyarakat maupun dengan profesi lainnya.
Penggunaan standarisasi lulusan program dalam pendidikan pra jabatan guru bermanfaat untuk berbagai kepentingan. Pertama, standar dapat dijadikan titik berangkat (starting point) untuk menetapkan kemampuan dasar minimum yang harus dikuasai calon guru dari aspek profesional knowledge/based of teaching sebelum memasuki jabatan guru. Kemampuan-kemampuan dasar apakah yang harus dikuasai calon guru sebelum memasuki pekerjaan mengajar? Kriteria apakah yang digunakan untuk mengukur penguasaan calon guru terhadap kemampuan-kemampuan tersebut? Misalnya teori yang dipilih Shulman (1986) mengusulkan bahwa untuk menjadi guru profesional yang efektif, seorang kandidat guru harus menguasai tiga pengetahuan pokok yang berkaitan dengan knowledge based of teaching yaitu:
1. Pengetahuan tentang materi bidang studi
2. Pengetahuan tentang ilmu mendidik umum
3. Pengetahuan tentang ilmu mendidik khusus.
4. Peran guru dan pengembangan profesionalismenya di era globalisasi
Sejalan dengan tantangan kehidupan global, peran dan tanggung jawab guru pada masa mendatang akan semakin kompleks, sehingga menuntut guru untuk senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian kemampuan profesionalnya. Berikut ini beberapa peran guru yang perlu dicermati dalam upaya mengembangkan profesionalismenya di era globalisasi menurut Syamsuddin A dengan mengutip pemikiran Gagne dan Berliner, yakni :
1. Guru yang profesional dalam pengertian pendidikan secara luas yaitu seorang guru yang ideal yang dapat berperan sebagai :
pertama Konservator (pemelihara) sistem nilai yang merupakan sumber norma kedewasaan; kedua Inovator (pengembang) sistem nilai ilmu pengetahuan; ketiga Transmitor (penerus) sistem-sistem nilai tersebut kepada peserta didik; keempat Transformator (penterjemah) sistem-sistem nilai tersebut melalui penjelmaan dalam pribadinya dan perilakunya, dalam proses interaksi dengan sasaran didik; dan kelima Organisator (penyelenggara) terciptanya proses edukatif yang dapat dipertanggungjawabkan, baik secara formal (kepada pihak yang mengangkat dan menugaskannya) maupun secara moral (kepada sasaran didik, serta Tuhan yang menciptakannya).
2. Guru yang profesional dalam pengertian pendidikan secara terbatas yaitu dalam proses pembelajaran peserta didik, seorang guru berperan sebagai : (a) Guru sebagai perencana (planner) yang harus mempersiapkan apa yang akan dilakukan di dalam proses belajar mengajar (pre-teaching problems); (b) Guru sebagai pelaksana (organizer), yang harus dapat menciptakan situasi, memimpin, merangsang, menggerakkan, dan mengarahkan kegiatan belajar mengajar sesuai dengan rencana, di mana ia bertindak sebagai seorang sumber (resource person), konsultan kepemimpinan yang bijaksana dalam arti demokratik & humanistik (manusiawi) selama proses berlangsung (during teaching problems); (c) Guru sebagai penilai (evaluator) yang harus mengumpulkan, menganalisa, menafsirkan dan akhirnya harus memberikan pertimbangan (judgement), atas tingkat keberhasilan proses pembelajaran, berdasarkan kriteria yang ditetapkan, baik mengenai aspek keefektifan prosesnya maupun kualifikasi produknya.
3. Peran guru yang berhubungan dengan aktivitas pengajaran dan administrasi pendidikan, diri pribadi (self oriented), dan dari sudut pandang psikologis. Dalam hubungannya dengan aktivitas pembelajaran dan administrasi pendidikan, guru berperan sebagai : (a) pengambil inisiatif, pengarah, dan penilai pendidikan; (b) wakil masyarakat di sekolah, artinya guru berperan sebagai pembawa suara dan kepentingan masyarakat dalam pendidikan; (c) seorang pakar dalam bidangnya, yaitu menguasai bahan yang harus diajarkannya; (d) penegak disiplin, yaitu guru harus menjaga agar para peserta didik melaksanakan disiplin; (e) pelaksana administrasi pendidikan, yaitu guru bertanggung jawab agar pendidikan dapat berlangsung dengan baik; (f) pemimpin generasi muda, artinya guru bertanggung jawab untuk mengarahkan perkembangan peserta didik sebagai generasi muda yang akan menjadi pewaris masa depan; dan (g) penterjemah kepada masyarakat, yaitu guru berperan untuk menyampaikan berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kepada masyarakat.
4. Peran guru dari segi diri-pribadinya (self oriented), berperan sebagai : (a) Pekerja sosial (social worker), yaitu seorang yang harus memberikan pelayanan kepada masyarakat; (b) Pelajar dan ilmuwan, yaitu seorang yang harus senantiasa belajar secara terus menerus untuk mengembangkan penguasaan keilmuannya; (c) Orang tua, artinya guru adalah wakil orang tua peserta didik bagi setiap peserta didik di sekolah; (d) Model keteladanan, artinya guru adalah model perilaku yang harus dicontoh oleh para peserta didik; dan (e) Pemberi keselamatan bagi setiap peserta didik. Peserta didik diharapkan akan merasa aman berada dalam didikan gurunya.
5. Peran guru ditinjau dari sudut pandang secara psikologis sebagai : (a) pakar psikologi pendidikan, artinya guru merupakan seorang yang memahami psikologi pendidikan dan mampu mengamalkannya dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik; (b) seniman dalam hubungan antar manusia (artist in human relations), artinya guru adalah orang yang memiliki kemampuan menciptakan suasana hubungan antar manusia, khususnya dengan para peserta didik, sehingga dapat mencapai tujuan pendidikan; (c) pembentuk kelompok (group builder), yaitu mampu membentuk, menciptakan kelompok dan aktivitasnya sebagai cara untuk mencapai tujuan pendidikan; (d) catalyc agent atau inovator, yaitu guru merupakan orang yang yang mampu menciptakan suatu pembaharuan untuk membuat suatu hal yang baik; dan (e) petugas kesehatan mental (mental hygiene worker), artinya guru bertanggung jawab bagi terciptanya kesehatan mental para peserta didik.
Sementara itu, menurut Doyle sebagaimana dikutip oleh Sudarwan Danim (2002) mengemukakan dua peran utama guru dalam pembelajaran yaitu menciptakan keteraturan (establishing order) dan memfasilitasi proses belajar (facilitating learning). Yang dimaksud keteraturan di sini mencakup hal-hal yang terkait langsung atau tidak langsung dengan proses pembelajaran, seperti : tata letak tempat duduk, disiplin peserta didik di kelas, interaksi peserta didik dengan sesamanya, interaksi peserta didik dengan guru, jam masuk dan keluar untuk setiap sesi mata pelajaran, pengelolaan sumber belajar, pengelolaan bahan belajar, prosedur dan sistem yang mendukung proses pembelajaran, lingkungan belajar, dan lain-lain.
Demikianlah dapat disimpulkan bahwa memperhatikan profesionalisme guru dan perannya sebagai salah satu faktor determinan bagi keberhasilan pendidikan, maka keberadaan dan peningkatan profesi guru menjadi wacana yang sangat penting. Pendidikan di era globalisasi ini menuntut adanya manajemen pendidikan modern dan profesional dengan bernuansa pendidikan.
Kemerosotan pendidikan bukan diakibatkan oleh kurikulum tetapi oleh kurangnya kemampuan profesionalisme guru dan keengganan belajar siswa. Profesionalisme menekankan kepada penguasaan ilmu pengetahuan atau kemampuan manajemen beserta strategi penerapannya. Profesionalisme bukan sekadar pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi lebih merupakan sikap, pengembangan profesionalisme lebih dari seorang teknisi bukan hanya memiliki keterampilan yang tinggi tetapi memiliki suatu tingkah laku yang dipersyaratkan.
Guru yang profesional pada dasarnya ditentukan oleh attitudenya yang berarti pada tataran kematangan yang mempersyaratkan willingness dan ability, baik secara intelektual maupun pada kondisi yang prima. Profesionalisasi harus dipandang sebagai proses yang terus menerus. Usaha meningkatkan profesionalisme guru merupakan tanggung jawab bersama antara LPTK sebagai pencetak guru, instansi yang membina guru (dalam hal ini Depdiknas atau yayasan swasta), PGRI dan masyarakat.
5. Konsep yang ditawarkan
1. Lembaga pencetak calon guru dan pribadi yang ingin menjadi guru harus paham tentang landasan normative (UUD) yang menjelaskan syarat, tugas, dan fungsi guru profesional
2. Berupaya untuk internalisasi nilai dan penyadaran diri bahwa menjadi guru tugas yang amat mulai (tugas kholifah fil ardhi, sebagai ibadah, contoh guru yang sukses, dan murid yang berhasil)
3. Guru harus berupaya mengembangkan kualitas diri (kognitif, afektif, dan psikomotorik)agar implementasi ilmu yang telah dimiliki dapat ditrerapkan dalam pembelajaran baik melalui pendidikan formal, infoermal , dan non formal)
4. Guru dan calon guru harus berupaya melakukan pemantapan diri melalui proses dan kegiatan belajar sepanjang hayat dan belajar tuntas (mastery learning), dengan cara melanjutkan pendidikan berjenjang yang lebih tinggi.
Hadirin wal hadirot, para wisudawan yang terpelajar
Untuk mengakhiri orasi ilmiah ini saya mengajak kepada para guru dan calon guru untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) melalui meneruskan pendidikan ke jenjang magister S2 dan ataupun doctor S3. Saya sebagai Ketua Program Studi Pendidikan Umum/Nilai Sekolah Pasaca Sarjana Universitas Pendidikan Indonesia membuka kesempatan bekerja sama dengan berbagai intansi, pemerintah tingkat I dan II untuk sekolah di UPI di Bandung.
Semoga orasi ini memberikan gambaran, informasi bagi para wisudawan khususnya calon guru dan para guru yang sudah mengamalkan ilmunya di masyarakat, dan semua yang hadir. Semoga Allah memberikan kekuatan iman dan Islam dan selalu memperoleh ilmu yang bermanfaat, dan berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa Negara dan agam yang diridhoi Allah SWT.
Mohon maaf atas segala kekurangan dan kekhilapan, wabillahitaufiq wal hidayah.
Wassalamualaikum warohmatullohi wabarokatu.
Daftar Rujukan
Arifin, I. 2000. Profesionalisme Guru: Analisis Wacana Reformasi Pendidikan dalam Era Globalisasi. Simposium Nasional Pendidikan di Universitas Muham-madiyah Malang, 25-26 Juli 2001.
Dahrin, D. 2000. Memperbaiki Kinerja Pendidikan Nasional Secara Komprehensip: Transformasi Pendidikan. Komunitas, Forum Rektor Indonesia. Vol.1 No. Hlm 24.
Degeng, N.S. 1999. Paradigma Baru Pendidikan Memasuki Era Desentralisasi dan Demokrasi. Jurnal Getengkali Edisi 6 Tahun III 1999/2000. Hlm. 2-9.
Galbreath, J. 1999. Preparing the 21st Century Worker: The Link Between Computer-Based Technology and Future Skill Sets. Educational Technology Nopember-Desember 1999. Hlm. 14-22.
Maister, DH. 1997. True Professionalism. New York: The Free Press.
Makagiansar, M. 1996. Shift in Global paradigma and The Teacher of Tomorrow, 17th. Convention of the Asean Council of Teachers (ACT); 5-8 Desember, 1996, Republic of Singapore.
Naisbitt, J. 1995. Megatrend Asia: Delapan Megatrend Asia yang Mengubah Dunia, (Alih bahasa oleh Danan Triyatmoko dan Wandi S. Brata): Jakarta: Gramdeia.
Nasanius, Y. 1998. Kemerosotan Pendidikan Kita: Guru dan Siswa Yang Berperan Besar, Bukan Kurikulum. Suara Pembaharuan. (Online) (http://www.suara pembaharuan.com/News/1998/08/230898, diakses 7 Juni 2001). Hlm. 1-2.
NRC. 1996. Standar for Professional Development for Teacher Sains. Hlm. 59-70
Pantiwati, Y. 2001. Upaya Peningkatan Profesionalisme Guru Melalui Program Sertifikasi Guru Bidang Studi (untuk Guru MI dan MTs). Makalah Dipresentasikan. Malang: PSSJ PPS Universitas Malang. Hlm.1-12.
Journal PAT. 2001. Teacher in England and Wales. Professionalisme in Practice: the PAT Journal. April/Mei 2001. (Online) (http://members. aol.com/PTRFWEB/journal1040.html, diakses 7 Juni 2001)
Semiawan, C.R. 1991. Mencari Strategi Pengembangan Pendidikan Nasional Menjelang Abad XXI. Jakarta: Grasindo.
Stiles, K.E. dan Loucks-Horsley, S. 1998. Professional Development Strategies: Proffessional Learning Experiences Help Teachers Meet the Standards. The Science Teacher. September 1998. hlm. 46-49).
Sumargi. 1996. Profesi Guru Antara Harapan dan Kenyataan. Suara Guru No. 3-4/1996. Hlm. 9-11.
Supriadi, D. 1998. Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Jakarta: Depdikbud.
Surya, H.M. 1998. Peningkatan Profesionalisme Guru Menghadapi Pendidikan Abad ke-21n (I); Organisasi & Profesi. Suara Guru No. 7/1998. Hlm. 15-17.
Tilaar, H.A.R. 1999. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21. Magelang: Indonesia Tera.
Trilling, B. dan Hood, P. 1999. Learning, Technology, and Education Reform in the Knowledge Age or "We're Wired, Webbed, and Windowed, Now What"? Educational Technology may-June 1999. Hlm. 5-18.
Mulyasa, 2005. Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Ronnie M. Dani, 2005. Seni Mengajar dengan Hati. Jakarta: Alex Media Komputindo.
R. Tantiningsih, 2005. Guru Cengkiling dan Amoral. Koran Harian Sore Wawasan. 14 Mei 2005.
Undang-Undang nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Jakarta: BP. Media Pustaka Mandiri.
Walgito, Bimo 1990. Psikologi Sosial Suatu Pengantar. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM.
Disajikan pada Orasi Ilmiah Wisuda Sarjana Strata Satu STAI Lantabur Jakarta
Pada tanggal 6 agustus 2009
Oleh Prof. Dr. H. Sofyan Sauri, M.Pd
Terlebih dahulu marilah kita memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan panjang umur , sehat wal a’fiat, sehingga kita bisa menghadiri upacara wisuda yang mulya ini. Salawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga sahabat dan kita beserta keluarga hingga aklhir jaman.
Yang terhormat Bapak Ketua DPR
Yang terhormat Bapak Wali Kota Jakarta Pusat
Yang terhormat Bapak Ketua Yayasan Lantabur
Yang terhormat Bapak Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Lantabur
Yang terhormat para dosen, panitia, karyawan, orang tua, wisudawan, dan mahasiswa/i yang saya banggakan.
Dalam kesempatan ini saya menghaturkan terima kasih yang tiada terhingga kepada Bapak Ketua STAI Lantabur Jakarta Pusat dan kepada semua yang hadir, yang telah mengundang saya untuk berorasi ilmiah di hadapan para tamu undangan, dan para wisudawan yang dimuliakan dan dibanggakan Allah SWT. dengan judul “Menuju Tenaga Kependidikan Profesional”.
Hadirin hadirat yang dimulyakan Allah SWT
Pendidikan di Indonesia saat ini masih kurang memberikan kegembiraan yang sangat memuaskan untuk dapat mewujudkan tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam
UU No 20 Tahun 2003 “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermanfaat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab”. Pasal tersebut mengisyaratkan bahwa, tujuan pendidikan di Indonesia adalah mengembangkan manusia utuh, bukan kecakapan intelektual saja, tetapi juga kepribadian dan keterampilan, atau dalamhasil tafakkur penulis dapat melahirkan insan yang cerdas otaknya, lembut hatinya dan terampil tangannya. Untuk mewujudkan hal tersebut maka perlu dipersiapkan calon guru yang profesional.
Hadirin Undangan yang dibanggakan Allah SWT
Saya mengajak hadirin untuk mencermati hal-hal berikut:
1. Tenaga pendidik (guru) kurang profesional berakibat pada rendahnya mutu sumber daya manusia.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa kualitas sumber daya manusia (SDM) dan mutu pendidikan di negara kita jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, lebih-lebih jika dibandingkan dengan negara-negara maju. Data UNDP PBB tahun 2000 mengemukakan, bahwa kualitas SDM Indonesia berada di peringkat 109 ( di bawah Bangladesh) dari 174 negara (Malaysia,61; Thailand, 67; Philipina, 77). Sedangkan hasil survey Institute for Management Developmental tahun 1999, kualitas SDM Indonesia berada pada urutan 44 dari 46 negara.
Berbagai upaya telah banyak dilakukan oleh semua pihak, untuk menuju perbaikan mutu pendidikan. Upaya tersebut antara lain, dengan dikeluarkannya UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, PP No.28 tahun 1990, Kurikulum 1994 Suplemen 1999, Sistem Pembinaan Profesional Guru, UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pelaksanaan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), Kepmendiknas no. 044/U/2002 tahun 2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), dan Program Wajib Belajar 9 tahun dengan sasaran semua anak usia 7 hingga 15 tahun, untuk mengikuti pendidikan 6 tahun di sekolah dasar dan 3 tahun di sekolah lanjutan pertama.
Dari berbagai upaya sudah dilakukan, mutu pendidikan khususnya di tingkat SMP negeri/swasta berdasarkan data Nilai Ujian Akhir Nasional (NUAN) tahun 2002/2003 menunjukkan bahwa rerata Nilai UAN untuk seluruh mata pelajaran secara nasional relatif cukup tinggi, yaitu 5,93 (Ditjen Dikdasmen, 2004). Tingkat pencapaian ini dapat ditafsirkan bahwa secara rerata, lulusan SMP menguasai 59,30% dari seluruh materi yang seharusnya dikuasai.
Hasil UAN seyogyanya dijadikan oleh pemerintah daerah, untuk memetakan mutu pendidikan di wilayahnya, terutama menyangkut mutu hasil belajar siswa dan faktor-faktor yang berhubungan dengan guru. Dengan demikian, khususnya penyebaran tenaga guru, tidak semata-mata pada perhitungan kuantitas, tetapi juga aspek kualitas. Hasil UAN juga hendaknya memberi makna terhadap upaya peningkatan mutu pendidikan. Daerah-daerah mestinya sudah bisa membuat peta sekolah mana yang siswanya paling banyak lulus atau gagal UAN. Dari situ bisa dievaluasi, faktor kualitas sekolah termasuk kuantitas atau kualitas gurunya.
Berkaitan dengan peningkatan mutu pendidikan di sekolah, maka para peneliti pengambil kebijakan yang banyak terlibat dalam reformasi sekolah, mengajukan pertanyaan baru tentang pentingnya berbagai usaha terhadap hubungan antara faktor-faktor pendidikan dengan hasil-hasil belajar, seperti, kualifikasi guru (Ferguson,1991), kualitas guru (National Comissions on Teaching and America’s Future, 1996; National Education Goals Panel, 1998; dalam Darling dan Hammond, 2000), kompetensi guru mengajar dan kebijakan terhadap standar pengangkatan calon guru (Hammond, 2000), standar keterampilan mengajar guru (Wenglinsky ,2002), keterampilan akademik (Wayne, 2002), kualitas dan orientasi pelatihanan guru (McGin dan Borden,1995; Zafeirakou 2005).
Standar-standar baru untuk belajar siswa telah dikenalkan di seluruh dunia, standar-standar tersebut memberikan perhatian terbesar bahwa kualitas guru memainkan peranan penting terhadap prestasi siswa ( NCTA, 1996; NEGP, 1998, dalam Darling dan Hammond, 2000). Dalam beberapa tahun terakhir, lebih dari 25 negara telah menetapkan undang-undang untuk meningkatkan rekruitmen, pendidikan, sertifikasi atau pengembangan provesional guru ( Darling dan Hammond, 1997a). Selanjutnya Darling dan Hammond, (2000) mengemukakan pada berbagai bukti memperlihatkan bahwa guru yang berkualifikasi lebih baik, akan membuat perbedaan terhadap belajar siswa di kelas, sekolah dan di tingkat distrik, bahkan kualifikasi guru dan faktor input-input sekolah, seperti luas kelas, berhubungan dengan prestasi siswa.
Kualifikasi guru berkaitan erat dengan kompetensi yang dimiliki guru, baik kompetensi tingkat pendidikan, keilmuan dan profesional. Kompetensi tingkat pendidikan merupakan tingkat pendidikan yang dipersyaratkan bagi seorang guru, untuk mengajar di tingkat sekolah tertentu. Sedangkan kompetensi keilmuan adalah kesesuaian antara basis keilmuan yang diperoleh selama di perguruan tinggi dengan mata pelajaran yang diajarkan. Kompetensi profesi adalah pelatihan-pelatihan yang diikuti dan berguna untuk memperkuat kemampuan profesinya, dan lazimnya dibuktikan dengan uji kompetensi, lisensi, dan sertifikasi, sehingga dapat menggambarkan ”trickrecord” guru yang bersangkutan dalam perjalanan aspek profesionalnya.
Terhadap kompetensi guru, Wayne (2002) mengindikasikannya dengan sebutan ”teacher’s academic skills”. Shulman (1987) mengkonseptualisasikan kualitas guru berkaitan dengan sejumlah pengetahuan spesifik dan keterampilan-keterampilan. Kualitas guru itu dapat dilihat indikatornya melalui variabel pengalaman guru, sertifikasi dan tingkatan penguasaan yang dimiliki, seperti pengetahuan pedagogis dan materi ajar. Sedangkan Darling dan Hammond (2000) menunjukkan indikator kompetensi guru yang berkaitan dengan belajar siswa adalah kemampuan akademik, lamanya waktu studi di perguruan tinggi, lamanya pengalaman mengajar, penguasaan materi ajar dan pengetahuan mengajar, status sertifikasi, dan perilaku mengajar di kelas. Selanjutnya seecara khusus Darling dan Hammond (2000) mempaparkan variabel-variabel yang berkaitan dengan kualitas guru, yaitu intelegensi dan kemampuan umum akademik, pengetahuan materi ajar, pengetahuan tentang mengajar dan belajar, pengalaman mengajar, status sertifikasi atau lisensi mengajar, praktek-praktek dan perilaku-perilaku mengajar di kelas.
Para Undangan dan Wisudawan yang Amat Terpelajar
2. SDM yang lemah intelektual, skill dan kecerdasan sosial tidak mampu bersaing terutama dalam era globalisasi.
Dalam era global saat ini, jika seorang guru tidak memiliki intelektual yang maksimal, skill yang cukup dan kecerdasan sosial yang memadai, maka ia akan terpuruk, sehingga dia tidak mampu bersaing secara profesional. Kalau hal ini terjadi, ia akan kehilangan kepercayaan baik dari peserta didik, orang tua maupun masyarakat. Untuk menghadapi tantangan profesionalitas tersebut, guru perlu berfikir secara antisipatif dan proaktif. Artinya, guru harus melakukan pembaruan ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya secara terus menerus.
Disamping itu, guru masa depan harus paham penelitian guna mendukung terhadap efektivitas pengajaran yang dilaksanakannya, sehingga dengan dukungan hasil penelitiaan guru tidak terjebak pada praktek pengajaran yang menurut asumsi mereka sudah efektif, namun kenyataannya justru mematikan kreativitas para peserta didiknya. Begitu juga, dengan dukungan hasil penelitian yang mutakhir memungkinkan guru untuk melakukan pengajaran yang bervariasi dari tahun ke tahun, disesuaikan dengan konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedang berlangsung, sehingga diharapkan guru akan berperan lebih profesional sesuai dengan tugas dan kewajibannya sebagai salah satu penentu kehidupan bangsa yang akan datang dalam menghadapi globalisasi saat ini.
Jika memperhatikan kualitas guru di Indonesia memang jauh berbeda dengan guru-guru yang ada di Amerika Serikat atau Inggris. Di Amerika Serikat misalnya sebagaimana diuraikan dalam jurnal Educational Leadership 1993 (dalam Supriadi, 1998) dijelaskan bahwa untuk menjadi profesional seorang guru dituntut untuk memiliki lima hal: (1) Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya; (2) Guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarnya kepada siswa; (3) Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai cara evaluasi; (4) Guru mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya; (5) Guru seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.
Hadirin Wal Hadirat Rohima Kumulloh
3. Ciri-ciri guru profesional.
Guru yang profesional dituntut untuk memiliki kompetensi dalam profesi kependidikan yang menjadi tugas pokoknya. Adapun kompetensi yang harus dimiliki seorang guru professional menurut Undang-Undang no. 14 tahun 2005 adalah sebagai berikut:
1. Kompetensi Pedagogik. Kompetensi pedagogik meliputi:
a. Pemahaman terhadap peserta didik dengan indikator esensial: memahami peserta didik dengan memanfaatkan prinsip-prinsip perkembangan kognitif, kepribadian dan mengidentifikasi bekal/ajar awal peserta didik.
b. Rancangan pembelajaran dengan indikator esensial: memahami landasan kependidikan, menerapkan teori belajar, dan pembelajaran; menentukan strategi pembelajaran berdasarkan karakteristik peserta didik, kompetensi yang ingin dicapai, dan materi ajar; serta menyusun rancangan pembelajaran berdasarkan strategi yang dipilih.
c. Pembelajaran dengan indikator esensial: menata latar (setting) pembelajaran; dan melaksanakan pembelajaran yang kondusif.
d. Perancangan dan pelaksanaan evaluasi belajar, dengan indikator esensial: merancang dan melaksanakan evaluasi (assessment) proses dan hasil belajar secara berkesinambungan dengan berbagai metode; menganalisis hasil evaluasi proses dan hasil belajar untuk menentukan tingkat ketuntasan belajar (mastery learning); dan memanfaatkan hasil penilaian pembelajaran untuk perbaikan kualitas program pembelajaran secara umum.
e. Pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya, dengan indiaktor esensial: memfasilitasi peserta didik untuk pengembangan berbagai potensi akademik; dan memfasilitasi peserta didik untuk mengembangkan berbagai potensi non akademik.
2. Kompetensi Profesional
Kompetensi profesional merupakan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam, yang mencakup penguasaan materi kurikulum mata pelajaran di sekolah dan substansi keilmuan yang menaungi materinya, serta penguasaan terhadap struktur dan metodologi keilmuannya.
3. Kompetensi Sosial
Kompetensi sosial merupakan kemampuan guru untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.
4. Kompetensi Kepribadian
Kompetensi kepribadian merupakan personal yang mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik dan berakhlak mulia.
Secara konseptual menurut Sa’ud U.S dalam buku 50 tahun Kiprah Mencerdaskan Bangsa menyatakan bahwa standar pendidikan guru profesional itu berfungsi sebagai alat untuk menjamin program-program pendidikan suatu profesi dapat memberikan kualifikasi kemampuan yang harus dipenuhi oleh calon sebelum masuk ke dalam profesi yang bersangkutan. Standar suatu profesi merupakan alat untuk mengarahkan upaya-upaya peningkatan kualitas program pendidikan dan pelatihan profesional secara kontinu, sehingga terdapat keterpaduan dan sinergitas dalam out-come and program improvement pengembangan kualitas profesi tersebut. Ini berarti bahwa standar mutu suatu profesi dapat mengarahkan program pendidikan atau pelatihan calon anggota profesi yang bersangkutan untuk selalu mengutamakan kualitas kemampuan yang tinggi dalam proses pendidikannya. Dengan cara ini, maka standar program dan lulusannya secara tidak langsung akan meningkatkan posisi profesi tersebut di dalam kehidupan masyarakat maupun dengan profesi lainnya.
Penggunaan standarisasi lulusan program dalam pendidikan pra jabatan guru bermanfaat untuk berbagai kepentingan. Pertama, standar dapat dijadikan titik berangkat (starting point) untuk menetapkan kemampuan dasar minimum yang harus dikuasai calon guru dari aspek profesional knowledge/based of teaching sebelum memasuki jabatan guru. Kemampuan-kemampuan dasar apakah yang harus dikuasai calon guru sebelum memasuki pekerjaan mengajar? Kriteria apakah yang digunakan untuk mengukur penguasaan calon guru terhadap kemampuan-kemampuan tersebut? Misalnya teori yang dipilih Shulman (1986) mengusulkan bahwa untuk menjadi guru profesional yang efektif, seorang kandidat guru harus menguasai tiga pengetahuan pokok yang berkaitan dengan knowledge based of teaching yaitu:
1. Pengetahuan tentang materi bidang studi
2. Pengetahuan tentang ilmu mendidik umum
3. Pengetahuan tentang ilmu mendidik khusus.
4. Peran guru dan pengembangan profesionalismenya di era globalisasi
Sejalan dengan tantangan kehidupan global, peran dan tanggung jawab guru pada masa mendatang akan semakin kompleks, sehingga menuntut guru untuk senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian kemampuan profesionalnya. Berikut ini beberapa peran guru yang perlu dicermati dalam upaya mengembangkan profesionalismenya di era globalisasi menurut Syamsuddin A dengan mengutip pemikiran Gagne dan Berliner, yakni :
1. Guru yang profesional dalam pengertian pendidikan secara luas yaitu seorang guru yang ideal yang dapat berperan sebagai :
pertama Konservator (pemelihara) sistem nilai yang merupakan sumber norma kedewasaan; kedua Inovator (pengembang) sistem nilai ilmu pengetahuan; ketiga Transmitor (penerus) sistem-sistem nilai tersebut kepada peserta didik; keempat Transformator (penterjemah) sistem-sistem nilai tersebut melalui penjelmaan dalam pribadinya dan perilakunya, dalam proses interaksi dengan sasaran didik; dan kelima Organisator (penyelenggara) terciptanya proses edukatif yang dapat dipertanggungjawabkan, baik secara formal (kepada pihak yang mengangkat dan menugaskannya) maupun secara moral (kepada sasaran didik, serta Tuhan yang menciptakannya).
2. Guru yang profesional dalam pengertian pendidikan secara terbatas yaitu dalam proses pembelajaran peserta didik, seorang guru berperan sebagai : (a) Guru sebagai perencana (planner) yang harus mempersiapkan apa yang akan dilakukan di dalam proses belajar mengajar (pre-teaching problems); (b) Guru sebagai pelaksana (organizer), yang harus dapat menciptakan situasi, memimpin, merangsang, menggerakkan, dan mengarahkan kegiatan belajar mengajar sesuai dengan rencana, di mana ia bertindak sebagai seorang sumber (resource person), konsultan kepemimpinan yang bijaksana dalam arti demokratik & humanistik (manusiawi) selama proses berlangsung (during teaching problems); (c) Guru sebagai penilai (evaluator) yang harus mengumpulkan, menganalisa, menafsirkan dan akhirnya harus memberikan pertimbangan (judgement), atas tingkat keberhasilan proses pembelajaran, berdasarkan kriteria yang ditetapkan, baik mengenai aspek keefektifan prosesnya maupun kualifikasi produknya.
3. Peran guru yang berhubungan dengan aktivitas pengajaran dan administrasi pendidikan, diri pribadi (self oriented), dan dari sudut pandang psikologis. Dalam hubungannya dengan aktivitas pembelajaran dan administrasi pendidikan, guru berperan sebagai : (a) pengambil inisiatif, pengarah, dan penilai pendidikan; (b) wakil masyarakat di sekolah, artinya guru berperan sebagai pembawa suara dan kepentingan masyarakat dalam pendidikan; (c) seorang pakar dalam bidangnya, yaitu menguasai bahan yang harus diajarkannya; (d) penegak disiplin, yaitu guru harus menjaga agar para peserta didik melaksanakan disiplin; (e) pelaksana administrasi pendidikan, yaitu guru bertanggung jawab agar pendidikan dapat berlangsung dengan baik; (f) pemimpin generasi muda, artinya guru bertanggung jawab untuk mengarahkan perkembangan peserta didik sebagai generasi muda yang akan menjadi pewaris masa depan; dan (g) penterjemah kepada masyarakat, yaitu guru berperan untuk menyampaikan berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kepada masyarakat.
4. Peran guru dari segi diri-pribadinya (self oriented), berperan sebagai : (a) Pekerja sosial (social worker), yaitu seorang yang harus memberikan pelayanan kepada masyarakat; (b) Pelajar dan ilmuwan, yaitu seorang yang harus senantiasa belajar secara terus menerus untuk mengembangkan penguasaan keilmuannya; (c) Orang tua, artinya guru adalah wakil orang tua peserta didik bagi setiap peserta didik di sekolah; (d) Model keteladanan, artinya guru adalah model perilaku yang harus dicontoh oleh para peserta didik; dan (e) Pemberi keselamatan bagi setiap peserta didik. Peserta didik diharapkan akan merasa aman berada dalam didikan gurunya.
5. Peran guru ditinjau dari sudut pandang secara psikologis sebagai : (a) pakar psikologi pendidikan, artinya guru merupakan seorang yang memahami psikologi pendidikan dan mampu mengamalkannya dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik; (b) seniman dalam hubungan antar manusia (artist in human relations), artinya guru adalah orang yang memiliki kemampuan menciptakan suasana hubungan antar manusia, khususnya dengan para peserta didik, sehingga dapat mencapai tujuan pendidikan; (c) pembentuk kelompok (group builder), yaitu mampu membentuk, menciptakan kelompok dan aktivitasnya sebagai cara untuk mencapai tujuan pendidikan; (d) catalyc agent atau inovator, yaitu guru merupakan orang yang yang mampu menciptakan suatu pembaharuan untuk membuat suatu hal yang baik; dan (e) petugas kesehatan mental (mental hygiene worker), artinya guru bertanggung jawab bagi terciptanya kesehatan mental para peserta didik.
Sementara itu, menurut Doyle sebagaimana dikutip oleh Sudarwan Danim (2002) mengemukakan dua peran utama guru dalam pembelajaran yaitu menciptakan keteraturan (establishing order) dan memfasilitasi proses belajar (facilitating learning). Yang dimaksud keteraturan di sini mencakup hal-hal yang terkait langsung atau tidak langsung dengan proses pembelajaran, seperti : tata letak tempat duduk, disiplin peserta didik di kelas, interaksi peserta didik dengan sesamanya, interaksi peserta didik dengan guru, jam masuk dan keluar untuk setiap sesi mata pelajaran, pengelolaan sumber belajar, pengelolaan bahan belajar, prosedur dan sistem yang mendukung proses pembelajaran, lingkungan belajar, dan lain-lain.
Demikianlah dapat disimpulkan bahwa memperhatikan profesionalisme guru dan perannya sebagai salah satu faktor determinan bagi keberhasilan pendidikan, maka keberadaan dan peningkatan profesi guru menjadi wacana yang sangat penting. Pendidikan di era globalisasi ini menuntut adanya manajemen pendidikan modern dan profesional dengan bernuansa pendidikan.
Kemerosotan pendidikan bukan diakibatkan oleh kurikulum tetapi oleh kurangnya kemampuan profesionalisme guru dan keengganan belajar siswa. Profesionalisme menekankan kepada penguasaan ilmu pengetahuan atau kemampuan manajemen beserta strategi penerapannya. Profesionalisme bukan sekadar pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi lebih merupakan sikap, pengembangan profesionalisme lebih dari seorang teknisi bukan hanya memiliki keterampilan yang tinggi tetapi memiliki suatu tingkah laku yang dipersyaratkan.
Guru yang profesional pada dasarnya ditentukan oleh attitudenya yang berarti pada tataran kematangan yang mempersyaratkan willingness dan ability, baik secara intelektual maupun pada kondisi yang prima. Profesionalisasi harus dipandang sebagai proses yang terus menerus. Usaha meningkatkan profesionalisme guru merupakan tanggung jawab bersama antara LPTK sebagai pencetak guru, instansi yang membina guru (dalam hal ini Depdiknas atau yayasan swasta), PGRI dan masyarakat.
5. Konsep yang ditawarkan
1. Lembaga pencetak calon guru dan pribadi yang ingin menjadi guru harus paham tentang landasan normative (UUD) yang menjelaskan syarat, tugas, dan fungsi guru profesional
2. Berupaya untuk internalisasi nilai dan penyadaran diri bahwa menjadi guru tugas yang amat mulai (tugas kholifah fil ardhi, sebagai ibadah, contoh guru yang sukses, dan murid yang berhasil)
3. Guru harus berupaya mengembangkan kualitas diri (kognitif, afektif, dan psikomotorik)agar implementasi ilmu yang telah dimiliki dapat ditrerapkan dalam pembelajaran baik melalui pendidikan formal, infoermal , dan non formal)
4. Guru dan calon guru harus berupaya melakukan pemantapan diri melalui proses dan kegiatan belajar sepanjang hayat dan belajar tuntas (mastery learning), dengan cara melanjutkan pendidikan berjenjang yang lebih tinggi.
Hadirin wal hadirot, para wisudawan yang terpelajar
Untuk mengakhiri orasi ilmiah ini saya mengajak kepada para guru dan calon guru untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) melalui meneruskan pendidikan ke jenjang magister S2 dan ataupun doctor S3. Saya sebagai Ketua Program Studi Pendidikan Umum/Nilai Sekolah Pasaca Sarjana Universitas Pendidikan Indonesia membuka kesempatan bekerja sama dengan berbagai intansi, pemerintah tingkat I dan II untuk sekolah di UPI di Bandung.
Semoga orasi ini memberikan gambaran, informasi bagi para wisudawan khususnya calon guru dan para guru yang sudah mengamalkan ilmunya di masyarakat, dan semua yang hadir. Semoga Allah memberikan kekuatan iman dan Islam dan selalu memperoleh ilmu yang bermanfaat, dan berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa Negara dan agam yang diridhoi Allah SWT.
Mohon maaf atas segala kekurangan dan kekhilapan, wabillahitaufiq wal hidayah.
Wassalamualaikum warohmatullohi wabarokatu.
Daftar Rujukan
Arifin, I. 2000. Profesionalisme Guru: Analisis Wacana Reformasi Pendidikan dalam Era Globalisasi. Simposium Nasional Pendidikan di Universitas Muham-madiyah Malang, 25-26 Juli 2001.
Dahrin, D. 2000. Memperbaiki Kinerja Pendidikan Nasional Secara Komprehensip: Transformasi Pendidikan. Komunitas, Forum Rektor Indonesia. Vol.1 No. Hlm 24.
Degeng, N.S. 1999. Paradigma Baru Pendidikan Memasuki Era Desentralisasi dan Demokrasi. Jurnal Getengkali Edisi 6 Tahun III 1999/2000. Hlm. 2-9.
Galbreath, J. 1999. Preparing the 21st Century Worker: The Link Between Computer-Based Technology and Future Skill Sets. Educational Technology Nopember-Desember 1999. Hlm. 14-22.
Maister, DH. 1997. True Professionalism. New York: The Free Press.
Makagiansar, M. 1996. Shift in Global paradigma and The Teacher of Tomorrow, 17th. Convention of the Asean Council of Teachers (ACT); 5-8 Desember, 1996, Republic of Singapore.
Naisbitt, J. 1995. Megatrend Asia: Delapan Megatrend Asia yang Mengubah Dunia, (Alih bahasa oleh Danan Triyatmoko dan Wandi S. Brata): Jakarta: Gramdeia.
Nasanius, Y. 1998. Kemerosotan Pendidikan Kita: Guru dan Siswa Yang Berperan Besar, Bukan Kurikulum. Suara Pembaharuan. (Online) (http://www.suara pembaharuan.com/News/1998/08/230898, diakses 7 Juni 2001). Hlm. 1-2.
NRC. 1996. Standar for Professional Development for Teacher Sains. Hlm. 59-70
Pantiwati, Y. 2001. Upaya Peningkatan Profesionalisme Guru Melalui Program Sertifikasi Guru Bidang Studi (untuk Guru MI dan MTs). Makalah Dipresentasikan. Malang: PSSJ PPS Universitas Malang. Hlm.1-12.
Journal PAT. 2001. Teacher in England and Wales. Professionalisme in Practice: the PAT Journal. April/Mei 2001. (Online) (http://members. aol.com/PTRFWEB/journal1040.html, diakses 7 Juni 2001)
Semiawan, C.R. 1991. Mencari Strategi Pengembangan Pendidikan Nasional Menjelang Abad XXI. Jakarta: Grasindo.
Stiles, K.E. dan Loucks-Horsley, S. 1998. Professional Development Strategies: Proffessional Learning Experiences Help Teachers Meet the Standards. The Science Teacher. September 1998. hlm. 46-49).
Sumargi. 1996. Profesi Guru Antara Harapan dan Kenyataan. Suara Guru No. 3-4/1996. Hlm. 9-11.
Supriadi, D. 1998. Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Jakarta: Depdikbud.
Surya, H.M. 1998. Peningkatan Profesionalisme Guru Menghadapi Pendidikan Abad ke-21n (I); Organisasi & Profesi. Suara Guru No. 7/1998. Hlm. 15-17.
Tilaar, H.A.R. 1999. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21. Magelang: Indonesia Tera.
Trilling, B. dan Hood, P. 1999. Learning, Technology, and Education Reform in the Knowledge Age or "We're Wired, Webbed, and Windowed, Now What"? Educational Technology may-June 1999. Hlm. 5-18.
Mulyasa, 2005. Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Ronnie M. Dani, 2005. Seni Mengajar dengan Hati. Jakarta: Alex Media Komputindo.
R. Tantiningsih, 2005. Guru Cengkiling dan Amoral. Koran Harian Sore Wawasan. 14 Mei 2005.
Undang-Undang nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Jakarta: BP. Media Pustaka Mandiri.
Walgito, Bimo 1990. Psikologi Sosial Suatu Pengantar. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM.
NILAI BAHASA AL QURAN
NILAI-NILAI MORAL ALQURAN
Nilai-nilai moral masyarakat di mana kita tinggal sudah menyesatkan. Prinsip-prinsip moral ini yang merupakan hasil dari hasrat mementing-kan diri sendiri serta keserakahan masyarakat, kemudian berubah menjadi keegoisan, kesom-bongan, kesinisan, kekerasan, dan kebrutalan dalam masyarakat. Masyarakat percaya bahwa untuk meningkatkan standar hidup, mereka harus mencurangi dan mengalahkan yang lainnya.
Hal ini bukanlah nilai-nilai moral yang Allah tetapkan bagi kehidupan manusia bersama dengan apa yang telah Dia ciptakan. Al-Qur'an menyuruh manusia menjadi bermartabat, rendah hati, dapat dipercaya, baik budi, beriman, dewasa, dan mau mendengarkan. Al-Qur'an bahkan menggambar-kan jalan yang seharusnya kita tempuh, "Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya, Allah tidak me-nyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri." (Luqman :18)
Karenanya, tugas bagi orang yang beriman adalah menjalankan prinsip-prinsip mulia ini yang Allah telah tetapkan.
Akan tetapi, sekarang ini, orang-orang ber-iman tinggal bersama dalam masyarakat yang penuh dengan kekejian, di mana etika-etika moral dalam Al-Qur'an telah ditinggalkan. Untuk alasan itu, kita harus lebih berhati-hati melawan pe-ngaruh buruk budaya yang menyesatkan ini. Me-reka harus terus-menerus mengawasi diri mereka sendiri bersama masyarakat ini agar tidak terpengaruh oleh budaya merusak dan mereka dapat mengamalkan nilai-nilai moral Al-Qur'an.
Hasil karya ini disiapkan untuk membantu orang-orang beriman agar tidak melupakan ajaran dasar Al-Qur'an yang seharusnya selalu kita jalankan.
Pada bahasan-bahasan berikutnya, nilai-nilai moral dan ibadah-ibadah yang tampaknya terlupakan oleh orang-orang beriman akan dibahas dalam penjabaran yang berhubungan dengan ayat-ayat Al-Qur'an.
Apa manfaat ketaatan pada nilai-nilai moral Al Quran bagi keluarga?
Nilai-nilai moral dalam Al Quran menekankan adanya penghargaan pada ibu dan ayah. Allah berfirman dalam Al Quran: “Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (QS. Luqman: 14).
Dalam sebuah rumah yang didalamnya nilai-nilai moral Al Quran dilaksanakan, tidak terdapat pertengkaran, perselisihan ataupun konflik. Sikap saling menghargai yang tinggi akan muncul di antara ibu, ayah dan anggota keluarga yang lainnya. Setiap orang hidup dalam suasana yang menyenangkan dan membahagiakan.
Apa manfaat ketaatan pada nilai-nilai moral Al-Quran bagi sistem negara?
Allah berfirman dalam Al-Quran bahwa ketaatan adalah suatu sifat yang positif. Seseorang yang memiliki nilai-nilai moral Al-Quran akan menghargai dan patuh pada negaranya. Dalam masyarakat Islam, semua bergiat untuk kesejahteraan negara dan bangsa. Tidak pernah ada pemberontakkan terhadap negara. Sebaliknya, yang ada dukungan secara materi dan spiritual.
Dalam suatu masyarakat yang dibentuk oleh ketaatan pada Allah, kasus pelanggaran hukum hampir tidak pernah sampai ke pengadilan. Juga tidak terjadi ribuan pelanggaran hukum yang biasanya muncul dalam masyarakat.
Pengaturan negara menjadi lebih mudah. Ketika negara tidak perlu berurusan dengan kasus anarki, terorisme, kekacauan dan pembunuhan, seluruh kekuatannya akan dipusatkan pada pembangunan dan kesadaran akan potensi tanah air, meliputi urusan di dalam negeri maupun yang berhubungan dengan dunia luar. Ini akan menghasilkan negara yang sangat kuat.
Apa manfaat ketaatan pada nilai-nilai moral Al-Quran bagi seni?
Orang yang dilingkupi nilai-nilai moral Al-Quran akan menghargai satu sama lain, dan berusaha membuka peluang bagi setiap orang untuk hidup dalam lingkungan yang menyenangkan dan indah. Karena merasa jauh dari surga, maka segala kemampuan dikerahkan untuk menciptakan suasana paling menyenangkan dan segar, yang membawa mata, telinga, serta segala rasa pada nuansa yang paling indah. Itulah sebabnya seni dan estetika ditumbuhkan dalam berbagai aspek.
Lebih-lebih lagi, seorang yang relijius memiliki hati nurani yang bersih. Sekaligus tidak ada tekanan dalam pikirannya dan ia dapat menghasilkan karya seni yang indah, unik dan original. Dan, mereka yang bekerja dengan dorongan untuk menyenangkan serta menghasilkan berbagai hal yang indah bagi masyarakat religius lainnya, kan bertindak sungguh-sungguh dan penuh semangat.
Apa manfaat ketaatan pada nilai-nilai moral Al-Quran bagi sistem di sekolah?
Yang paling awal dari semuanya, menghidupkan nilai-nilai moral Al Qur’an akan memunculkan kedewasaan dan kebijaksanaan bagi anak-anak dan para pemuda. Ketidaksensitifan dan ketidakpedulian yang biasa dimiliki tidak muncul dalam diri anak muda yang diisi oleh nilai Al Qur’an. Mereka menjadi generasi yang bersifat baik, taat, berwawasan luas, berani berkorban dan produktif. Kedinamisan, kegembiraan dan sifat agresif mereka ditujukan untuk menghasilkan hal-hal yang baik. Mereka juga menerapkan kesungguh-sungguhan dan kekuatan intelektual. Dalam lingkungan demikian, murid-murid sangat menghargai pendidikan mereka tidak hanya agar lulus ujian atau terhindar dari hukuman, tapi agar turut menyumbangkan potensinya untuk negara dan bangsa.
Peristiwa yang menyebabkan perlunya tindakan disipliner di sekolah tak akan ada. Terbentuk lingkungan pendidikan yang sangat damai, mendukung dan produktif. Kerjasama yang dibangun antara para guru dan murid-murid didasari pada kepatuhan, rasa hormat dan toleransi. Dan, siswa menjadi sangat hormat serta patuh pada negara dan polisi. Para siswa menunjukkan kesadaran untuk tidak memberi “tempat” pada hal-hal yang tidak ada manfaatnya.
Apa manfaat ketaatan pada nilai-nilai moral Al-Quran bagi lingkungan kerja?
Dalam suatu masyarakat yang orang-orangnya hidup berdasarkan nilai moral Al-Quran, akan ada rasa saling percaya, kerjasama dan keadilan dalam lingkungan kerja. Para majikan peduli pada kesehatan karyawannya dan memberikan lingkungan kerja yang sangat memenuhi standar kesehatan. Mereka membangun tempat kerja yang bernuansa estetis dan menarik yang menenangkan pikiran, hingga para pekerja dengan sendirinya akan bekerja di tempat itu dalam waktu lama.
Mereka juga membayar para pekerja tepat sesuai yang layak didapatkan. Mereka tidak akan membiarkan satu pekerja pun teraniaya. Mereka akan selalu mencari tahu kondisi keluarga para pekerja. Mereka akan bertindak hati-hati dan menjamin keselamatan para pekerjanya. Sebuah situasi di mana yang kuat menekan yang lemah tidak akan muncul. Juga perilaku tak bermoral seperti pergunjingan, kecenderungan untuk mencegah orang lain sukses tak akan ada.
Hubungan antara majikan dan pekerja akan terwujud tidak hanya berdasarkan pada kepentingan pribadi dan kepura-puraan, tapi berdasarkan kerjasama dan kepercayaan. Pekerja akan peduli pada kepentingan perusahaannya. Dia tidak akan berlaku boros, dan berpikir, “Toh sang majikan yang akan membayarnya.” Dia akan selalu memberikan kemampuannya yang terbaik, dan tidak akan berkhianat karena dirinya memiliki moral yang baik.
Al-Qur'an menginformasikan kepada kita tentang kebenaran sifat-sifat Allah,
"Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang hidup kekal lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur, Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Mahatinggi lagi Mahabesar." (al-Baqarah: 255)
"Allahlah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu." (ath-Thalaaq: 12)
Akan tetapi, banyak orang yang tidak menerima keberadaan Allah swt. seperti yang telah dijelaskan dalam ayat-ayat tersebut. Mereka tidak memahami kekuasaan dan kebesaran-Nya yang abadi. Mereka memercayai kebohongan bahwa merekalah yang mengatur diri mereka sendiri dan berpikir bahwa Allah berada di suatu tempat yang jauh di alam semesta dan jarang mencampuri "perkara keduniaan". Pemahaman terbatas orang-orang ini disebutkan dalam Al-Qur'an, "Mereka tidak mengenal Allah dengan sebenar-benarnya. Sesungguhnya, Allah benar-benar Mahakuat lagi Mahakuasa." (al-Hajj: 74)
Memahami kekuasaan Allah swt. dengan baik merupakan ikatan awal dalam rantai keimanan. Sesungguhnya, seorang mukmin akan meninggalkan pandangan masyarakat yang menyimpang tentang kekuasaan Allah swt. dan menolak keyakinan sesat dengan mengatakan, "Dan bahwasanya Orang yang kurang akal dari kami dahulu selalu mengatakan (perkataan) yang melampaui batas terhadap Allah." (al-Jin: 4)
Kaum muslimin memercayai Allah swt. sesuai dengan penjelasan Al-Qur'an. Mereka melihat tanda-tanda keberadaan Allah pada dunia nyata dan alam gaib, kemudian mulai memercayai keagungan seni dan kekuasaan Allah.
Akan tetapi, jika umat berpaling dari Allah serta gagal bertafakur kepada Allah dan ciptaan-Nya, mereka akan mudah terpengaruh oleh keyakinan-keyakinan yang menyesatkan pada saat ditimpa kesusahan. Allah menyebutnya sebagai bahaya yang potensial, dalam surah Ali Imran: 154, mengenai umat yang menyerah dalam berperang, "... sedang segolongan lagi telah dicemaskan oleh diri mereka sendiri; mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliah...."
Seorang muslim seharusnya tidak melakukan kesalahan seperti itu. Karena itu, dia harus membebaskan hatinya dari segala sesuatu yang dapat memunculkan sangkaan jahiliah dan menerima keimanan yang nyata dengan segenap jiwa sebagaimana penjelasan dalam Al-Qur'a
Taqwa kepada Allah Sesuai Kesanggupan
Bertaqwa kepada Allah adalah awal dari segalanya. Semakin tebal ketaqwaan seseorang kepada Allah, semakin tinggi kemampuannya merasakan kehadiran Allah. Al-Qur'an memberikan contoh beberapa rasul yang dapat kita bandingkan dengan diri kita sehingga paham bahwa kita dapat meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah swt..
Allah swt. menginginkan manusia agar bertaqwa dengan sebenar-benarnya. Berbagai cara untuk menunjukkan penghormatan kepada Yang Mahakuasa dapat dilakukan, sebagai contoh: berjalan di jalan Allah, melakukan perbuatan baik, mengikuti contoh-contoh yang diberikan para rasul, menaati serta memperhatikan ajaran-ajaran Allah, dan sebagainya.
"Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah; dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung." (at-Taghaabun: 16)
"Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benarnya taqwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam." (Ali Imran: 102)
Takdir
Tidak ada satu pun di alam ini yang terjadi secara kebetulan, sebagaimana tertuang dalam Al-Qur'an, "... Allah mengatur urusan (makhluk-Nya)...." (ar-Ra'd: 2) Dalam ayat lain dikatakan, "... dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula)...." (al-An'aam: 59) Dialah Allah Yang menciptakan dan mengatur semua peristiwa, bagaimana mereka berawal dan berakhir. Dia pulalah yang menentukan setiap gerakan bintang-bintang di jagat raya, kondisi setiap yang hidup di bumi, cara hidup seseorang, apa yang akan dikatakannya, apa yang akan dihadapinya, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur'an,
Nilai-nilai moral masyarakat di mana kita tinggal sudah menyesatkan. Prinsip-prinsip moral ini yang merupakan hasil dari hasrat mementing-kan diri sendiri serta keserakahan masyarakat, kemudian berubah menjadi keegoisan, kesom-bongan, kesinisan, kekerasan, dan kebrutalan dalam masyarakat. Masyarakat percaya bahwa untuk meningkatkan standar hidup, mereka harus mencurangi dan mengalahkan yang lainnya.
Hal ini bukanlah nilai-nilai moral yang Allah tetapkan bagi kehidupan manusia bersama dengan apa yang telah Dia ciptakan. Al-Qur'an menyuruh manusia menjadi bermartabat, rendah hati, dapat dipercaya, baik budi, beriman, dewasa, dan mau mendengarkan. Al-Qur'an bahkan menggambar-kan jalan yang seharusnya kita tempuh, "Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya, Allah tidak me-nyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri." (Luqman :18)
Karenanya, tugas bagi orang yang beriman adalah menjalankan prinsip-prinsip mulia ini yang Allah telah tetapkan.
Akan tetapi, sekarang ini, orang-orang ber-iman tinggal bersama dalam masyarakat yang penuh dengan kekejian, di mana etika-etika moral dalam Al-Qur'an telah ditinggalkan. Untuk alasan itu, kita harus lebih berhati-hati melawan pe-ngaruh buruk budaya yang menyesatkan ini. Me-reka harus terus-menerus mengawasi diri mereka sendiri bersama masyarakat ini agar tidak terpengaruh oleh budaya merusak dan mereka dapat mengamalkan nilai-nilai moral Al-Qur'an.
Hasil karya ini disiapkan untuk membantu orang-orang beriman agar tidak melupakan ajaran dasar Al-Qur'an yang seharusnya selalu kita jalankan.
Pada bahasan-bahasan berikutnya, nilai-nilai moral dan ibadah-ibadah yang tampaknya terlupakan oleh orang-orang beriman akan dibahas dalam penjabaran yang berhubungan dengan ayat-ayat Al-Qur'an.
Apa manfaat ketaatan pada nilai-nilai moral Al Quran bagi keluarga?
Nilai-nilai moral dalam Al Quran menekankan adanya penghargaan pada ibu dan ayah. Allah berfirman dalam Al Quran: “Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (QS. Luqman: 14).
Dalam sebuah rumah yang didalamnya nilai-nilai moral Al Quran dilaksanakan, tidak terdapat pertengkaran, perselisihan ataupun konflik. Sikap saling menghargai yang tinggi akan muncul di antara ibu, ayah dan anggota keluarga yang lainnya. Setiap orang hidup dalam suasana yang menyenangkan dan membahagiakan.
Apa manfaat ketaatan pada nilai-nilai moral Al-Quran bagi sistem negara?
Allah berfirman dalam Al-Quran bahwa ketaatan adalah suatu sifat yang positif. Seseorang yang memiliki nilai-nilai moral Al-Quran akan menghargai dan patuh pada negaranya. Dalam masyarakat Islam, semua bergiat untuk kesejahteraan negara dan bangsa. Tidak pernah ada pemberontakkan terhadap negara. Sebaliknya, yang ada dukungan secara materi dan spiritual.
Dalam suatu masyarakat yang dibentuk oleh ketaatan pada Allah, kasus pelanggaran hukum hampir tidak pernah sampai ke pengadilan. Juga tidak terjadi ribuan pelanggaran hukum yang biasanya muncul dalam masyarakat.
Pengaturan negara menjadi lebih mudah. Ketika negara tidak perlu berurusan dengan kasus anarki, terorisme, kekacauan dan pembunuhan, seluruh kekuatannya akan dipusatkan pada pembangunan dan kesadaran akan potensi tanah air, meliputi urusan di dalam negeri maupun yang berhubungan dengan dunia luar. Ini akan menghasilkan negara yang sangat kuat.
Apa manfaat ketaatan pada nilai-nilai moral Al-Quran bagi seni?
Orang yang dilingkupi nilai-nilai moral Al-Quran akan menghargai satu sama lain, dan berusaha membuka peluang bagi setiap orang untuk hidup dalam lingkungan yang menyenangkan dan indah. Karena merasa jauh dari surga, maka segala kemampuan dikerahkan untuk menciptakan suasana paling menyenangkan dan segar, yang membawa mata, telinga, serta segala rasa pada nuansa yang paling indah. Itulah sebabnya seni dan estetika ditumbuhkan dalam berbagai aspek.
Lebih-lebih lagi, seorang yang relijius memiliki hati nurani yang bersih. Sekaligus tidak ada tekanan dalam pikirannya dan ia dapat menghasilkan karya seni yang indah, unik dan original. Dan, mereka yang bekerja dengan dorongan untuk menyenangkan serta menghasilkan berbagai hal yang indah bagi masyarakat religius lainnya, kan bertindak sungguh-sungguh dan penuh semangat.
Apa manfaat ketaatan pada nilai-nilai moral Al-Quran bagi sistem di sekolah?
Yang paling awal dari semuanya, menghidupkan nilai-nilai moral Al Qur’an akan memunculkan kedewasaan dan kebijaksanaan bagi anak-anak dan para pemuda. Ketidaksensitifan dan ketidakpedulian yang biasa dimiliki tidak muncul dalam diri anak muda yang diisi oleh nilai Al Qur’an. Mereka menjadi generasi yang bersifat baik, taat, berwawasan luas, berani berkorban dan produktif. Kedinamisan, kegembiraan dan sifat agresif mereka ditujukan untuk menghasilkan hal-hal yang baik. Mereka juga menerapkan kesungguh-sungguhan dan kekuatan intelektual. Dalam lingkungan demikian, murid-murid sangat menghargai pendidikan mereka tidak hanya agar lulus ujian atau terhindar dari hukuman, tapi agar turut menyumbangkan potensinya untuk negara dan bangsa.
Peristiwa yang menyebabkan perlunya tindakan disipliner di sekolah tak akan ada. Terbentuk lingkungan pendidikan yang sangat damai, mendukung dan produktif. Kerjasama yang dibangun antara para guru dan murid-murid didasari pada kepatuhan, rasa hormat dan toleransi. Dan, siswa menjadi sangat hormat serta patuh pada negara dan polisi. Para siswa menunjukkan kesadaran untuk tidak memberi “tempat” pada hal-hal yang tidak ada manfaatnya.
Apa manfaat ketaatan pada nilai-nilai moral Al-Quran bagi lingkungan kerja?
Dalam suatu masyarakat yang orang-orangnya hidup berdasarkan nilai moral Al-Quran, akan ada rasa saling percaya, kerjasama dan keadilan dalam lingkungan kerja. Para majikan peduli pada kesehatan karyawannya dan memberikan lingkungan kerja yang sangat memenuhi standar kesehatan. Mereka membangun tempat kerja yang bernuansa estetis dan menarik yang menenangkan pikiran, hingga para pekerja dengan sendirinya akan bekerja di tempat itu dalam waktu lama.
Mereka juga membayar para pekerja tepat sesuai yang layak didapatkan. Mereka tidak akan membiarkan satu pekerja pun teraniaya. Mereka akan selalu mencari tahu kondisi keluarga para pekerja. Mereka akan bertindak hati-hati dan menjamin keselamatan para pekerjanya. Sebuah situasi di mana yang kuat menekan yang lemah tidak akan muncul. Juga perilaku tak bermoral seperti pergunjingan, kecenderungan untuk mencegah orang lain sukses tak akan ada.
Hubungan antara majikan dan pekerja akan terwujud tidak hanya berdasarkan pada kepentingan pribadi dan kepura-puraan, tapi berdasarkan kerjasama dan kepercayaan. Pekerja akan peduli pada kepentingan perusahaannya. Dia tidak akan berlaku boros, dan berpikir, “Toh sang majikan yang akan membayarnya.” Dia akan selalu memberikan kemampuannya yang terbaik, dan tidak akan berkhianat karena dirinya memiliki moral yang baik.
Al-Qur'an menginformasikan kepada kita tentang kebenaran sifat-sifat Allah,
"Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang hidup kekal lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur, Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Mahatinggi lagi Mahabesar." (al-Baqarah: 255)
"Allahlah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu." (ath-Thalaaq: 12)
Akan tetapi, banyak orang yang tidak menerima keberadaan Allah swt. seperti yang telah dijelaskan dalam ayat-ayat tersebut. Mereka tidak memahami kekuasaan dan kebesaran-Nya yang abadi. Mereka memercayai kebohongan bahwa merekalah yang mengatur diri mereka sendiri dan berpikir bahwa Allah berada di suatu tempat yang jauh di alam semesta dan jarang mencampuri "perkara keduniaan". Pemahaman terbatas orang-orang ini disebutkan dalam Al-Qur'an, "Mereka tidak mengenal Allah dengan sebenar-benarnya. Sesungguhnya, Allah benar-benar Mahakuat lagi Mahakuasa." (al-Hajj: 74)
Memahami kekuasaan Allah swt. dengan baik merupakan ikatan awal dalam rantai keimanan. Sesungguhnya, seorang mukmin akan meninggalkan pandangan masyarakat yang menyimpang tentang kekuasaan Allah swt. dan menolak keyakinan sesat dengan mengatakan, "Dan bahwasanya Orang yang kurang akal dari kami dahulu selalu mengatakan (perkataan) yang melampaui batas terhadap Allah." (al-Jin: 4)
Kaum muslimin memercayai Allah swt. sesuai dengan penjelasan Al-Qur'an. Mereka melihat tanda-tanda keberadaan Allah pada dunia nyata dan alam gaib, kemudian mulai memercayai keagungan seni dan kekuasaan Allah.
Akan tetapi, jika umat berpaling dari Allah serta gagal bertafakur kepada Allah dan ciptaan-Nya, mereka akan mudah terpengaruh oleh keyakinan-keyakinan yang menyesatkan pada saat ditimpa kesusahan. Allah menyebutnya sebagai bahaya yang potensial, dalam surah Ali Imran: 154, mengenai umat yang menyerah dalam berperang, "... sedang segolongan lagi telah dicemaskan oleh diri mereka sendiri; mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliah...."
Seorang muslim seharusnya tidak melakukan kesalahan seperti itu. Karena itu, dia harus membebaskan hatinya dari segala sesuatu yang dapat memunculkan sangkaan jahiliah dan menerima keimanan yang nyata dengan segenap jiwa sebagaimana penjelasan dalam Al-Qur'a
Taqwa kepada Allah Sesuai Kesanggupan
Bertaqwa kepada Allah adalah awal dari segalanya. Semakin tebal ketaqwaan seseorang kepada Allah, semakin tinggi kemampuannya merasakan kehadiran Allah. Al-Qur'an memberikan contoh beberapa rasul yang dapat kita bandingkan dengan diri kita sehingga paham bahwa kita dapat meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah swt..
Allah swt. menginginkan manusia agar bertaqwa dengan sebenar-benarnya. Berbagai cara untuk menunjukkan penghormatan kepada Yang Mahakuasa dapat dilakukan, sebagai contoh: berjalan di jalan Allah, melakukan perbuatan baik, mengikuti contoh-contoh yang diberikan para rasul, menaati serta memperhatikan ajaran-ajaran Allah, dan sebagainya.
"Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah; dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung." (at-Taghaabun: 16)
"Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benarnya taqwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam." (Ali Imran: 102)
Takdir
Tidak ada satu pun di alam ini yang terjadi secara kebetulan, sebagaimana tertuang dalam Al-Qur'an, "... Allah mengatur urusan (makhluk-Nya)...." (ar-Ra'd: 2) Dalam ayat lain dikatakan, "... dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula)...." (al-An'aam: 59) Dialah Allah Yang menciptakan dan mengatur semua peristiwa, bagaimana mereka berawal dan berakhir. Dia pulalah yang menentukan setiap gerakan bintang-bintang di jagat raya, kondisi setiap yang hidup di bumi, cara hidup seseorang, apa yang akan dikatakannya, apa yang akan dihadapinya, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur'an,
MODEL IMPLEMENTASI PENDIDIKAN NILAI BERBASIS PORTOFOLIO
IMPLEMENTASI PENDIDIKAN NILAI
DALAM PEMBELAJARAN DAN PENILAIAN BERBASIS PORTOFOLIO
Oleh: Dr. H. Sofyan Sauri, M.Pd
A. Pendahuluan
Igor Panarin seorang ilmuwan Rusia mengungkapkan bahwa tahun 2010 Amerika akan mengalami kejatuhan, salah satu penyebabnya karena moral warga Amerika sudah jatuh (Pikiran Rakyat, 5 Maret 2009). Demikian halnya dengan di Indonesia, banyaknya fenomena-fenomena asusila dan amoral dewasa ini menunjukkan masyarakat sudah mengalami pergeseran nilai, disisi lain hal tersebut menunjukkan bahwa praktek pendidikan tidak bersandar kepada amanah undang-undang yang mengisyaratkan pendidikan berbasis kepada seperangkat nilai.
UU No 20 tahun 2003 bab II pasal 3 menyebutkan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Adanya kata-kata beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab dalam tujuan pendidikan nasional di atas, menandakan bahwa yang menjadi bahan dalam praktek pendidikan hendaknya berbasis kepada seperangkat nilai sebagai paduan antara ranah kognitif, afektif dan psikomotor. Bahkan, tujuan pendidikan nasional yang utama menekankan pada aspek keimanan dan ketakwaan. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa core value pembangunan karakter moral bangsa bersumber dari keyakinan beragama. Artinya, semua proses pendidikan harus bermuara pada penguatan nilai-nilai ketuhanan sesuai dengan keyakinan agama yang diyakininya.
Praktek pendidikan pada jalur formal dewasa ini justru cenderung kurang memperhatikan esensi dari tujuan pendidikan nasional di atas, hal ini terbukti dengan kurang memadukannya nilai-nilai esensial dalam proses pembelajaran yang dilaksanakannya, ironisnya justru lebih banyak berorientasi kepada pengembangan struktur kognitif semata. Fenomena tersebut tentunya sangat bertentangan dan membuat jarak antara tujuan dan hasil pendidikan nasional semakin jauh.
Ketertarikan masyarakat pendidikan terhadap perlunya pembinaan nilai mulai tampak setelah terjadi berbagai masalah demoralisasi di masyarakat. Sebagian mereka mulai mempertautkan kembali pendidikan dengan nilai, padahal pendidikan pada hakikatnya tidak pernah lepas dari nilai. Gaffar (2004:8) menyebutkan bahwa pendidikan bukan hanya sekedar menumbuhkan dan mengembangkan keseluruhan aspek kemanusiaan tanpa diikat oleh nilai, tetapi nilai itu merupakan pengikat dan pengarah proses pertumbuhan dan perkembangan tersebut.
B. Hakikat Pendidikan Nilai dan Pendekatan-Pendekatannya
Pendidikan nilai merupakan proses penanaman dan pengembangan nilai-nilai pada diri seseorang. Dalam pengertian yang hampir sama, Mardiatmadja dalam Mulyana (2004:119) mendefinisikan pendidikan nilai sebagai bantuan terhadap peserta didik agar menyadari dan mengalami nilai-nilai serta menempatkannya secara integral dalam keseluruhan hidupnya. Adapun Hakam (2000:05) mengungkapkan bahwa pendidikan nilai adalah pendidikan yang mempertimbangkan objek dari sudut moral dan sudut pandang non moral, meliputi estetika, yakni menilai objek dari sudut pandang keindahan dan selera pribadi, dan etika yaitu menilai benar atau salahnya dalam hubungan antarpribadi. Pendidikan nilai dapat dimaknai juga sebagai proses bimbingan melalui suritauladan pendidik yang berorientasi pada penanaman nilai-nilai kehidupan yang di dalamnya mencakup nilai agama, budaya, etika, dan estetika menuju pembentukan pribadi peserta didik yang memiliki kecerdasan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian yang utuh, berakhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, dan negara.
Sementara Winecoff (1988:1-3) mengungkapkan bahwa:
Values education-pertains to questions of both moral and nonmoral judgement toward object; includes both aesthetics (ascribing value 10 objects of beauty and personal taste) and ethics (ascribing avlues ofrighl and wrong in the interpersonal realm).
Arti dari value education atau pendidikan nilai di atas adalah pendidikan yang mempertimbangkan objek dari sudut moral dan sudut nonmoral, yang meliputi estetika yaitu menilai objek dari sudut pandang keindahan dan selera pribadi dan etika yaitu menilai benar atau salahnya dalam hubungan antar pribadi.
Sasaran yang hendak dituju dalam pendidikan nilai adalah penanaman nilai-nilai luhur ke dalam diri peserta didik. Berbagai metoda pendidikan dan pengajaran yang digunakan dalam berbagai pendekatan lain dapat digunakan juga dalam proses pendidikan dan pengajaran pendidikan nilai. Hal tersebut penting untuk memberi variasi kepada proses pendidikan dan pengajarannya, sehingga lebih menarik dan tidak membosankan.
Minimal terdapat empat faktor yang mendukung pendidikan nilai dalam proses pembelajaran berdasarkan UU Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) Nomor 20 tahun 2003:
Pertama, UUSPN No. 20 Tahun 2003 yang bercirikan desentralistik menunjukkan bahwa pengembangan nilai-nilai kemanusiaan terutama yang dikembangkan melalui demokratisasi pendidikan menjadi hal utama. Desenteralisasi tidak hanya dimaknai sebagai pelimpahan wewenang pengelolaan pendidikan pada tingkat daerah atau sekolah, tetapi sebagai upaya pengembangan dan pemberdayaan nilai secara otonom bagi para pelaku pendidikan.
Kedua, tujuan pendidikan nasional yang utama menekankan pada aspek keimanan dan ketaqwaan. Ini mengisyaratkan bahwa core value pembangunan karakter moral bangsa bersumber dari keyakinan beragama. Artinya bahwa semua peroses pendidikan harus bermuara pada penguatan nilai-nilai ketuhanan sesuai dengan keyakinan agama yang diyakini.
Ketiga, disebutkannya kurikulum berbasis kompetensi (KBK) pada UUSPN No. 20 Tahun 2003 menandakan bahwa nilai-nilai kehidupan peserta didik perlu dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan belajar mereka. Kebutuhan dan kemampuan peserta didik hanya dapat dipenuhi kalau proses pembelajaran menjamin tumbuhnya perbedaan individu. Oleh karena itu, pendidikan dituntut mampu mengembangkan tindakan-tindakan edukatif yang deskriptif, kontekstual dan bermakna.
Keempat, perhatian UUSPN No. 20 Tahun 2003 terhadap usia dini (PAUD) memiliki misi nilai yang amat penting bagi perkembangan anak. Walaupun persepsi nilai dalam pemahaman anak belum sedalam pemahaman orang dewasa, namun benih-benih untuk mempersepsi dan mengapresiasi dapat ditumbuhkan pada usia dini. Usia dini adalah masa pertumbuhan nilai yang amat penting karena usia dini merupakan golden age. Di usia ini anak perlu dilatih untuk melibatkan pikiran, perasaan, dan tindakan seperti menyanyi, bermain, menulis, dan menggambar agar pada diri mereka tumbuh nilai-nilai kejujuran, keadilan, kasih sayang, toleransi, keindahan, dan tanggung jawab dalam pemahaman nilai menurut kemampuan mereka.
Penerapan konsep-konsep pendidikan nilai pernah diterapkan pada sebuah lembaga pendidikan di Thailand, yaitu di sekolah dan Institute of Sathya Sai Education yang didirikan oleh Dr.Art-Ong Jumsai Na-Ayudha, B.A.,M.A.,D.I.C. Bahkan beliau pernah datang ke Indonesia untuk mengisi sebuah seminar internasional yang bertema "Membangun Bangsa melalui Pendidikan Hati" yang diselenggarakan atas kerjasama Prodi Pendidikan Umum/Nilai dengan Yayasan Pendidikan Sthya Sai Indonesia. Dalam makalahnya yang berjudul "Human Values Integrated Instructional Model" (Model Pembelajaran Nilai-nilai Kemanusian Terpadu), Dr.Art-Ong menuliskan sebuah konsep tentang tujuan model pembelajaran yang menerapkan konsep pendidikan nilai dengan menggunakan suku kata dalam kata EDUCATION yang bermakna sebagai berikut:
E--- singkatan untuk Enlightenment (pencerahan). Ini adalah proses pencapaian pemahaman dari dalam diri atau bathin melalui peningkatan kesadaran menuju pikiran super sadar yang akan memunculkan intuisi, kebijaksanaan, dan pemahaman.
D--- singkatan untuk Duty and Devotion (tugas dan pengabdian). Pendidikan harus membuat siswa menyadari tugasnya dalam hidup. Selain memiliki tugas atau kewajiban yang terhadap orang tua dan keluarga, siswa juga memiliki kewajiban yang berlandaskan cinta kasih dan belas kasih untuk melayani dan menolong semua orang di masyarakat dan di dunia.
U--- singkatan untuk Understanding (pemahaman). Ini bukan hanya mengenai pemahaman terhadap mata pelajaran yang diberikan dalam kurikulum nasional tetapi juga penting untuk memahami diri sendiri.
C--- singkatan untuk Character (karakter). Guru mesti membentuk karekter yang baik pada diri siswa. Seorang yang berkarakter adalah seorang yang memiliki kekuatan moral dan lima nilai kemanusiaan yaitu Kebenaran, Kebajikan, Kedamaian, Kasih sayang dan tanpa Kekerasan. Nilai-nilai kemanusiaan tersebut harus terpadu dalam pembelajatran di kelas.
A--- singkatan untuk Action (tindakan). Para siswa kini belajar dengan giat dan menuangkan pengetahuan yang dipelajarinya dalam ruang ujian dan keluar dengan kepala kosong. Pengetahuan yang mereka peroleh tidak diterapkan dalam tindakan. Pendidikan seperti itu tak berguna. Apapun yang dipelajari siswa mesti diterapkan dalam praktek. Model pembelajaran yang baik mesti membuat hubungan anatara yang dipelajari dan situasi nyata dalam hidup. Hal ini akan memungkinkan siswa mengaplikasikan pengetahuan ke dalam hidup mereka sendiri.
T--- singkatan untuk Thanking (berterima kasih). Siswa mesti belajar berterima kasih kepada orang-orang yang telah membantu mereka. Di atas segalanya adalah orang tua yang telah melahirkan dan mengasuh mereka. Siswaharus mengasihi dan menghormati orang tua mereka. Selanjutnya siswa harus berterima kasih kepada guru-guru, karena siswa memperoleh pengetahuan dan kebijaksanaan melalui guru-guru. Maka siswa mesti mengasihi dan menghormati guru. Demikian pula, siswa telah mendapatkan banyak hal dari masyarakat, dari bangsa, dari dunia, dan alam. Siswa mesti selalu berterima kasih kepada semua hal.
I--- singkatan untuk Integrity (Integritas). Integritas adalah sifat jujur dan karakter menjunjung kejujuran (hornby 1968). Siswa mesti tumbuh menjadi sesorang yang memiliki integritas, yang bisa dipercaya unutk menjadi pemimpin di bidangnya masing-masing.
O--- singkatan untuk Oneness (kesatuan). Pendidikan mesti membantu siswa melihat kesatuan dalam kemajemukan. Apakah kita memiliki agama atau kepercayaan yang berbeda, warna kulit dan ras yang berbeda. Kita mesti belajar hidup damai dan harmonis dengan alam.
N--- singkatan untuk Nobility (kemuliaan). Kemuliaan adalah sifat yang muncul karena memiliki karakter yang tinggi atau mulia. Kemuliaan tidak timbul dari lahir tetapi muncul dari pendidikan. Jadi, kemuliaan terdiri dari semua nilai-nilai yang dijelaskan di atas.
Implikasi pendidikan nilai dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa pendekatan sebagai berikut:
1. Pendekatan Penanaman Nilai
Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach) adalah suatu pendekatan yang memberi penekanan pada penanaman nilai-nilai sosial dalam diri siswa. Tujuan pendidikan nilai menurut pendekatan ini adalah: Pertama, diterimanya nilai-nilai sosial tertentu oleh siswa; Kedua, berubahnya nilai-nilai siswa yang tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial yang diinginkan. Adapun metoda yang digunakan dalam proses pembelajaran menurut pendekatan ini antara lain: keteladanan, penguatan positif dan negatif, simulasi, permainan peranan, dan lain-lain.
Para penganut agama memiliki kecenderungan yang kuat untuk menggunakan pendekatan ini dalam pelaksanaan program-program pendidikan agama. Bagi penganut-penganutnya, agama merupakan ajaran yang memuat nilai-nilai ideal yang bersifat global dan kebenarannya bersifat mutlak. Nilai-nilai itu harus diterima dan dipercayai. Oleh karena itu, proses pendidikannya harus bertitik tolak dari ajaran atau nilai-nilai tersebut. Seperti dipahami bahwa dalam banyak hal batas-batas kebenaran dalam ajaran agama sudah jelas, pasti, dan harus diimani. Ajaran agama tentang berbagai aspek kehidupan harus diajarkan, diterima, dan diyakini kebenarannya oleh pemeluk-pemeluknya. Keimanan merupakan dasar penting dalam pendidikan agama.
2. Pendekatan perkembangan kognitif
Pendekatan ini dikatakan pendekatan perkembangan kognitif karena karakteristiknya memberikan penekanan pada aspek kognitif dan perkembangannya. Pendekatan ini mendorong siswa untuk berpikir aktif tentang masalah-masalah moral dan dalam membuat keputusan-keputusan moral. Perkembangan moral menurut pendekatan ini dilihat sebagai perkembangan tingkat berpikir dalam membuat pertimbangan moral, dari suatu tingkat yang lebih rendah menuju suatu tingkat yang lebih tinggi.
Tujuan yang ingin dicapai oleh pendekatan ini ada dua hal yang utama. Pertama, membantu siswa dalam membuat pertimbangan moral yang lebih kompleks berdasarkan kepada nilai yang lebih tinggi. Kedua, mendorong siswa untuk mendiskusikan alasan-alasannya ketika memilih nilai dan posisinya dalam suatu masalah moral. Proses pengajaran nilai menurut pendekatan ini didasarkan pada dilema moral, dengan menggunakan metoda diskusi kelompok. Diskusi itu dilaksanakan dengan memberi perhatian kepada tiga kondisi penting. Pertama, mendorong siswa menuju tingkat pertimbangan moral yang lebih tinggi. Kedua, adanya dilema, baik dilema hipotetikal maupun dilema faktual berhubungan dengan nilai dalam kehidupan keseharian. Ketiga, suasana yang dapat mendukung bagi berlangsungnya diskusi dengan baik. Proses diskusi dimulai dengan penyajian cerita yang mengandung dilema. Dalam diskusi tersebut, siswa didorong untuk menentukan posisi apa yang sepatutnya dilakukan oleh orang yang terlibat, apa alasan-alasannya. Siswa diminta mendiskusikan tentang alasan-alasan itu dengan teman-temannya.
3. Pendekatan analisis nilai
Pendekatan analisis nilai (values analysis approach) memberikan penekanan pada perkembangan kemampuan siswa untuk berpikir logis, dengan cara menganalisis masalah yang berhubungan dengan nilai-nilai sosial. Jika dibandingkan dengan pendekatan perkembangan kognitif, salah satu perbedaan penting antara keduanya bahwa pendekatan analisis nilai lebih menekankan pada pembahasan masalah-masalah yang memuat nilai-nilai sosial. Adapun pendekatan perkembangan kognitif memberi penekanan pada dilema moral yang bersifat perseorangan.
Terdapat dua tujuan utama pendidikan moral menurut pendekatan ini. Pertama, membantu siswa untuk menggunakan kemampuan berpikir logis dan penemuan ilmiah dalam menganalisis masalah-masalah sosial, yang berhubungan dengan nilai moral tertentu. Kedua, membantu siswa untuk menggunakan proses berpikir rasional dan analitik, dalam menghubung-hubungkan dan merumuskan konsep tentang nilai-nilai mereka. Selanjutnya, metoda-metoda pengajaran yang sering digunakan adalah: pembelajaran secara individu atau kolompok tentang masalah-masalah sosial yang memuat nilai moral, penyelidikan kepustakaan, penyelidikan lapangan, dan diskusi kelas berdasarkan kepada pemikiran rasional.
4. Pendekatan klarifikasi nilai
Pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach) memberi penekanan pada usaha membantu siswa dalam mengkaji perasaan dan perbuatannya sendiri, untuk meningkatkan kesadaran mereka tentang nilai-nilai mereka sendiri.
Tujuan pendidikan nilai menurut pendekatan ini ada tiga. Pertama, membantu siswa untuk menyadari dan mengidentifikasi nilai-nilai mereka sendiri serta nilai-nilai orang lain; Kedua, membantu siswa, supaya mereka mampu berkomunikasi secara terbuka dan jujur dengan orang lain, berhubungan dengan nilai-nilainya sendiri; Ketiga, membantu siswa, supaya mereka mampu menggunakan secara bersama-sama kemampuan berpikir rasional dan kesadaran emosional, untuk memahami perasaan, nilai-nilai, dan pola tingkah laku mereka sendiri. Dalam proses pengajarannya, pendekatan ini menggunakan metoda: dialog, menulis, diskusi dalam kelompok besar atau kecil, dan lain-lain
5. Pendekatan pembelajaran berbuat
Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach) memberi penekanan pada usaha memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan perbuatan-perbuatan moral, baik secara perseorangan maupun secara bersama-sama dalam suatu kelompok.
Terdapat dua tujuan utama pendidikan moral berdasarkan kepada pendekatan ini. Pertama, memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan perbuatan moral, baik secara perseorangan maupun secara bersama-sama, berdasarkan nilai-nilai mereka sendiri; Kedua, mendorong siswa untuk melihat diri mereka sebagai makhluk individu dan makhluk sosial dalam pergaulan dengan sesama, yang tidak memiliki kebebasan sepenuhnya, melainkan sebagai warga dari suatu masyarakat, yang harus mengambil bagian dalam suatu proses demokrasi.
Metoda-metoda pengajaran yang digunakan dalam pendekatan analisis nilai dan klarifikasi nilai digunakan juga dalam pendekatan ini. Metoda-metoda lain yang digunakan juga adalah projek-projek tertentu untuk dilakukan di sekolah atau dalam masyarakat, dan praktek keterampilan dalam berorganisasi atau berhubungan antara sesama.
C. Hakikat Pembelajaran dan Penilaian Berbasis Portofolio
1. Pembelajaran Berbasis Portofolio
Portofolio dapat dimaknai sebagai suatu wujud benda fisik, suatu proses sosial pedadogis, maupun sebagai adjective. Sebagai suatu wujud benda fisik itu adalah bundel, yakni kumpulan atau dokumentasi hasil pekerjaan peserta didik yang disimpan pada suatu bundel. Misalnya tugas-tugas, piagam penghargaan, keterangan melaksanakan tugas terstruktur, hasil tes, wawancara, dll. Sebagai suatu proses sosial pedadogis, portofolio adalah collection of learning experience yang terdapat di dalam pikiran peserta didik baik yang berujud pengetahuan (kognitif), keterampilan (skill), maupun nilai dan sikap (afektif). Adapun sebagai adjective, pada umumnya disandingkan dengan konsep pembelajaran yang dikenal dengan istilah pembelajaran berbasis portofolio (portfolio based learning) dan dapat disandingkan dengan konsep penilaian yang dikenal dengan istilah penilaian berbasis portofolio (portfolio based assessment).
Sebagai suatu inovasi, model pembelajaran berbasis portofolio dilandasi dengan landasan pemikiran sebagai berikut:
a. Empat pilar pendidikan
• Learning todo, peserta didik harus diberdayakan agar mau dan mampu berbuat untuk memperkaya pengalaman belajarnya dengan meningkatkan interaksi dengan lingkungan fisik,sosial maupun budaya.
• Learning to know, peserta didik harus mampu membangun pemahaman dan pengetahuannyaterhadap dunia sekitarnya.
• Learning to be, peserta didik harus mampu membangun pengetahuan dan kepercayaan dirinya.
• Learning to live together, kesempatan berinteraksi dengan kelompok yang bervariasi akan membentuk kepri diannya untuk memahami kemajemukkan dan melahirkan sikap-sikap positif dan toleran terhadap keanekaragaman dan perbedaan hidup.
b. Pandangan konstruktivisme
Pandangan ini sebagai filosofi pendidikan mutakhir menganggap semua peserta didik mulai dari usia taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi memiliki gagasan/pengetahuan tentang lingkungan dan peristiwa/gejalanya, gagasan ini sering kali naïf dan miskonsepsi tetapi gagasan ini dipertahankan karena sudah dibangun dalam wujud “schemata” (struktur kognitif).
Para ahli pendidikan berpendapat bahwa inti kegiatan pendidikan adalah memulai pelajaran dari “apa yang diketahui peserta didik” dan guru hanya berperan sebagai “fasilisator dan penyedia kondisi”.
c. Democratic teaching
Suatu bentuk upaya menjadikan sekolah sebagai pusat kehidupan demokrasi melalui proses pembelajaran yang dilandasi oleh nilai-nilai demokrasi yaitu penghargaan terhadap kemampuan, menjunjung keadilan, menerapkan persamaan kesempatan dan memperhatikan keragaman peserta didik.
Model Pembelajaran Berbasis Portofolio (MPBP) mengacu pada prinsip dasar pembelajaran, yaitu:
a. Prinsip belajar siswa aktif (student active learning)
Proses pembelajaran dengan menggunakan MPBP berpusat pada siswa dimana hampir seluruh aktivitas siswa dimulai dari fase perencanaan di kelas, kegiatan lapangan dan pelaporan.
b. Kelompok belajar kooperatif (cooperative learning)
Proses pembelajaran berbasis kerjasama antarsiswa dan antar komponen-komponen lain, seperti orang tua siswa dan lembaga terkait.
c. Pembelajaran partisipatorik
Prinsip ini termasuk salah satu dari MPBP, sebab melalui model ini siswa belajar melakoni (learning by doing). Salah satu bentuk pelakonan itu adalah siswa belajar hidup berdemokrasi.
d. Mengajar yang reaktif (reactive teaching)
MPBP ini mensyaratkan guru yang reaktif agar siswa mempunyai motivasi belajar yang tinggi. Ciri guru yang reaktif adalah sebagai berikut:
• Menjadikan siswa sebagai pusat kegiatan belajar.
• Pempelajaran dimulai dengan hal-hal yang sudah diketahui dan dipahami siswa.
• Selalu berupaya membangkitkan motivasi belajar siswa dengan membuat materi pelajaran sebagai suatu hal yang menarik dan berguna bagi kehidupan.
• Segera mengenali materi dan metode pembelajaran yang membuat siswa bosan. Bila hal ini ditemui harus segera ditanggulanginya.
Adapun praktek pembelajaran berbasis portofolio langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:
a. Mengidentifikasi masalah
Salah satu ciri warga negara yang baik adalah peka terhadap masalah-masalah yang terjadi dilingkungannya. Untuk meningkatkan kepekaan siswa terhadap masalah, maka para guru menjadikan masalah sebagai sumber belajar.
b. Kegiatan kelompok kecil
Perlu diperhatikan bahwa dalam kehidupan sehari-hari seringkali dihadapkan sejumlah masalah yang terjadi di masyarakat kita. Untuk mengidentifikasi masalah tersebut, seluruh siswa hendaknya membaca dan mendiskusikannya dengan membentuk kelompok-kelompok kecil, kemudian membuat pertanyaan-pertanyaan yang akan diidentifikasi dan dianalisis.
c. Pekerjaan rumah
Untuk menentukan masalah mana yang akan dikaji di kelas, memerlukan informasi yang cukup,terutama mengenai kelayakan masalah tersebut untuk dikaji dan ketersediaan sumber-sumber infomasi yang akan dijadikan rujukan untuk memecahkan masalah tersebut. Oleh karena itu, para siswa diberi pekerjaan rumah yang terdiri dari dua hal yaitu, Pertama, menemukan lebih banyak masalah yang ada di masyarakat. Kedua, menemukan kebijakan-kebijakan yang dirancang untuk memecahkan masalah tersebut. Tugas pekerjaan rumah yang harus dilakukan meliputi tiga tugas pokok, yaitu tugas wawancara, tugas mencari informasi dari sumber-sumber media massa cetak, dan tugas mencari informasi melalui media masa elektronik.
d. Memilih masalah untuk kajian kelas
Apabila telah memiliki cukup informasi, kemudian pilih masalah yang akan dikaji dan pastikan informasi berkenaan dengan masalah tersebut dapat dikumpulkan untuk membuat sebuah portofolio yang baik. Dalam hal pemilihan masalah, terdapat langkah-langkah yang dapat ditempuh sbb:
1. Membuat daftar masalah.
Misalnya satu kelas memiliki lima belas kelompok kecil yang kemudian masing-masing kelompok menetapkan satu masalah sehingga kelas memiliki lima belas masalah.
2. Melakukan pemungutan suara (voting), dilakukan dua tahap:
• Setiap siswa menentukan tiga pilihan secara terbuka
• Setiap siswa diharapkan hanya memilih salah satu dari ketiga masalah yang paling banyak terpilih dari lima belas masalah yang dimiliki.
e. Mengumpulkan informasi tentang masalah yang akan dikaji di kelas
Dalam konteks pendidikan nilai, pendekatan-pendekatan dalam pendidikan nilai dapat diintegrasikan ke dalam lima langkah pembelajaran berbasis portofolio di atas, seperti dalam tahap kegiatan kelompok kecil dan memilih masalah untuk di kaji di kelas, pendekatan perkembangan kognitif, pendekatan klarifikasi nilai dan pendekatan analisis nilai dapat menjadi pilihan. Sementara dalam tahapan pekerjaan rumah dan pengumpulan informasi tentang masalah yang akan di kaji di kelas, dapat digunakan pendekatan pembelajaran berbuat dan pendekatan penanaman nilai.
Pemetaan masalah-masalah yang akan dikaji di kelas serta yang akan dicari informasi pendukungnya di lapangan oleh siswa, dapat dikaitkan dengan masalah-masalah yang mengandung nilai-nilai esensial, sehingga melalui pengalaman belajarnya siswa dapat memilih nilai dan mengintegrasikannya ke dalam kepribadiannya. Hal tersebut relevan dengan apa yang diungkapkan oleh Mardiatmadja dalam Mulyana (2004:119) bahwa pendidikan nilai merupakan bantuan terhadap peserta didik agar menyadari dan mengalami nilai-nilai serta menempatkannya secara integral dalam keseluruhan hidupnya atau sebagimana diungkapkan oleh Mulyana (2004:119) yang mengartikan pendidikan nilai sebagai penanaman dan pengembangan nilai-nilai pada diri seseorang. Tujuannya agar seperangkat nilai yang ditanamkan tersebut terintegrasi kedalam pribadi peserta didik.
2. Penilaian Berbasis Portofolio
Penilaian atau assessment biasanya diberikan pada akhir suatu program pendidikan, pengajaran ataupun pelatihan. Tujuannya adalah untuk mengetahui apakah suatu program pendidikan tersebut telah dikuasai oleh pesertanya atau belum, dengan kata lain apakah sejumlah pengalaman belajar yang sebelumnya dirumuskan dalam tujuan pendidikan sudah tercapai atau belum.
Penilaian hendaknya dilakukan secara berkala dan berkesinambungan dengan memperhatikan segala aspek dari peserta didik. Misalnya dalam menentukan nilai rapor dilakukan penilaian dari rata-rata hasil ulangan harian, ulangan umum, tugas-tugas, catatan perilaku harian siswa (anecdotal record), dan laporan yang menunjang kegiatan belajar. Semua indikator proses dan hasil belajar siswa tersebut didokumentasikan dalam bundel (portofolio), sehingga sistem penilaian ini dikenal dengan nama model penilaian berbasis portofolio (Portofolio Based Assessment).
Model penilaian berbasis portofolio (Portofolio Based Assessment) adalah suatu usaha untuk memperoleh berbagai informasi secara berkala, berkesinambungan, dan menyeluruh, tentang proses dan hasil pertumbuhan dan perkembangan wawasan pengetahuan, sikap dan keterampilan peserta didik yang bersumber dari catatan dan dokumentasi pengalaman belajarnya.
Sebagai suatu inovasi, model penilaian berbasis portofolio dilandasi oleh beberapa landasan pemikiran sebagai berikut:
a. Membelajarkan kembali (Re-edukasi)
Menurut cara berpikir yang baru, menilai itu bukan memvonis siswa dengan harga mati, lulus atau gagal. Menilai adalah mencari informasi tentang pengalaman belajar peserta didik dan informasi tersebut digunakan sebagai balikan (feedback) untuk membelajarkan mereka kembali.
b. Merefleksi pengalaman belajar
Merupakan suatu gagasan yang baik apabila penilaian dijadikan media untuk merefleksi (bercermin) pada pengalaman yang telah siswa miliki dan kegiatan yang telah mereka selesaikan. Refleksi pengalaman belajar merupakan satu cara untuk belajar, menghindari kesalahan di masa yang akan datang dan untuk meningkatkan kinerja.
Adapun prinsip dasar dalam penilaian berbasis protofolio adalah sebagai berikut:
a. Prinsip penilaian proses dan hasil
Ada pernyataan bahwa “jika ingin berhasil dalam ujian belajarlah jauh-jauh hari jangan belajar hanya semalam”, pernyataan tersebut menunjukkan bahwa berhasil itu tergantung dari prosesnya. Jika prosesnya baik dan sempurna, maka kita dapat berharap akan menuai hasil yang baik pula. Dari pernyataan tersebutlah, model penilaian berbasis portofolio menerapkan prinsip penilaian proses dan hasil sekaligus.
Proses belajar yang dinilai adalah catatan perilaku harian mengenai sikapnya dalam belajar, antusias tidaknya dalam belajar, antusias tidaknya dalam mengikuti pelajaran, dan sebagainya.
b. Prinsip penilaian berkala dan sinambung
Penilaian secara berkala bertujuan untuk memudahkan mengorganisasikan hasil-hasilnya dan secara sinambung bertujuan untuk memantau pertumbuhan dan perkembangan pengalaman belajar peserta didik.
c. Prinsip penilaian yang adil
Penilaian yang baik hendaknya memperhatikan kondisi dan perbedaan-perbedaan individual tersebut dijadikan indikator dalam penilaian, baik dalam menilai hasil maupun proses yang diperhitungkan dan masing-masing diberi bobot. Sehingga hasil itu benar-benar menggambarkan prosesnya, sehingga penilaian yang adil dapat terwujud.
Ada dua cara memperbaiki proses belajar manakala ada indikasi yang kurang baik, yaitu pertama siswa sendiri yang meminta untuk memperbaiki kinerjanya (stelsel aktif) dan kedua guru yang memprakarsai dengan memanggil para siswa secara informal dengan mendiskusikan cara-cara mereka memperbaiki kinerjanya itu.
d. Prinsip penilaian implikasi sosial belajar
Belajar itu hendaknya melahirkan implikasi sosial, yakni pengaruh proses dan hasil belajar bagi kehidupan orang lain. Model penilaian berbasis portofolio tidak hanya menilai kemampuan kognitif saja, tetapi juga kemampuan yang lain, termasuk menilai implikasi sosial belajar. Pengalaman belajar secara fungsional diperlukan dalam kehidupan nyata (real life), sehingga diperlukan sejumlah perbekalan untuk dapat berkiprah dalam sistem kehidupan nyata (Real Life System/RLS).
RLS yang bergerak secara global menghadapkan individu, organisasi dan alam, bukan saja ke dalam suatu keteraturan dan kerja sama, tetapi juga dalam perlombaan, keunggulan, kompleksitas dan kesemrawutan sehingga dituntut untuk memilih second curvel. Itulah sebabnya, system penilaian multidimensi berbasis portofolio semakin penting keberadaannya.
Dalam proses penilaian, perlu ditetapkan seperangkat indikator penilaian. Indikator penilaian adalah unsur-unsur pokok yang dapat menjelaskan kemampuan peserta didik setelah menyelesaikan satu satuan pendidikan tertentu. Indikator penilaian terdiri atas:
• Tes formatif (ulangan harian) dan sumatif (ulangan umum)
• Tugas-tugas terstruktur
• Catatan perilaku harian
• Laporan aktivitas di luar sekolah
Setelah jelas indikator yang dijadikan acuan dalam proses penilaian, maka perlu dilakukan pengorganisasian dengan baik agar penilaian dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Pengorganisasian model penilaian berbasis portofolio adalah kegiatan mensiasati proses penilaian pembelajaran dengan perancangan terhadap unsur-unsur instrumental melalui upaya pengorganisasian penilain yang rasional, demokratis dan menyeluruh. Kronologis pengorganisasian penilaian pembelajaran itu mencakup empat tahap kegiatan, yaitu perencanaan, pelaksanaan, penyimpanan dan penggunaan.
Dalam konteks pendidikan nilai, model penilaian berbasis portofolio ini sangat relevan dan efektif. Karena evaluasi pendidikan nilai menitikberatkan kepada aspek keutuhan ranah yang menjadi sasaran penilaian. Dengan kata lain, pendidikan nilai menghendaki proses penilaian yang komprehenship, multidimensi, dan terintegrasi antara berbagai potensi peserta didik yang menjadi sasaran pendidikan.
Model penilaian berbasis portofolio tidak hanya menilai kemampuan kognitif saja, tetapi juga kemampuan yang lain, termasuk menilai implikasi sosial belajar. Itulah paradigma baru yang harus dibudayakan dan menjadi titik relevansi antara konsepsi pendidikan nilai dengan model penilaian berbasis portofolio. Fenomena dewasa ini justru indikator kognitif yang lebih menjadi parameter utama kelulusan peserta didik. Padahal proses pendewasaan peserta didik tidak hanya dapat dilakukan dengan pengembangan ranah kognitifnya saja, melainkan afektif dan psikomotor harus terintegrasi. Pendidikan bukan sekedar transformation of knowledge, melainkan transformation of value.
Tes formatif (ulangan harian) dan sumatif (ulangan umum), tugas-tugas terstruktur, catatan perilaku harian dan laporan aktivitas di luar sekolah yang biasa menjadi indikator penilaian berbasis portofolio dari segi perencanaan, pengorganisasian, isi (content) dari masing-masing indikator tersebut, serta parameter ketercapaian tujuan pembelajaran yang menjadi salah satu tujuan proses penilaian, tidak sekedar menyentuh potensi-potensi kognitif saja, melainkan ketrepaduan antara kognitif, afektif, dan psikomotor. Sehingga sosok insan paripurna, insan kamil, manusia utuh, manusia kaffah, atau warga Negara yang baik sebagai target akhir dari pendidikan nilai dapat terukur melalui proses penilaian berbasis portofolio.
Contoh
PORTOFOLIO
Mata Pelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia
SEMESTER I
Nama Siswa
Karlina Rizki Ayu Nuraeni
Kelas IA
SEKOLAH MENENGAH ATAS NEGERI MERDEKA 91
GARUT
2009
DAFTAR ISI
I. DOKUMENTASI PENILAIAN FORMATIF DAN SUMATIF (TF-S)
II. DOKUMENTASI PENILAIAN TUGAS TERSTRUKTUR (TT)
III. DOKUMENTASI PENILAIAN PERILAKU HARIAN (PH)
IV. DOKUMENTASI PENILAIAN LAPORAN AKTIVITAS DI LUAR SEKOLAH (ALS)
I. DOKUMENTASI PENILAIAN FORMATIF DAN SUMATIF (TF-S)
Jenis Tes No Tgl. Pokok Bahasan Nilai Paraf Guru Ket
Formatif (A) 1. Kalimat Sapaan
2. Bercerita pengalaman yang lucu
3. Menceritakan kembali novel dan Drama
4. Memberikan tanggapan berita di Surat kabar, majalah, radio, dan televise
5. Mendeskripsikan secara lisan keindahan alam atau suasana alam
6. Pembacaan puisi dan cerpen
7. Berekspresi melisankan hasil sastra
8. Membaca cepat
Jumlah
Rata-rata
Sumatif (B) Semester 1 Bahan Semester 1
Jumlah A dan B
Rata-rata A dan B
II. DOKUMENTASI PENILAIAN TUGAS TERSTRUKTUR (TT)
No. Jenis Tugas Aspek Penilaian Nilai Paraf guru Ket.
1. Mengerjakan LKS: Kalimat Sapaan Pemahaman
Seberapa baik tingkat pemahaman siswa terhadap soal-soal yang dikerjakan
Argumentasi:
Seberapa baik argumentasi yang diberikan siswa dalam menjawab persoalan-persoalan dalam Lembar Kerja Siswa tersebut
Kejelasan :
• Tersusun dengan baik
• Tertulis dengan baik
• Mudah difahami
Informasi:
• Akurat
• Memadai
• Penting
2. Memberikan tanggapan berita di Surat kabar, majalah, radio, atau televisi Pemahaman:
Argumentasi:
Kejelasan:
Informasi:
3. Menceritakan kembali novel atau drama yang dibaca Pemahaman:
Argumentasi:
Kejelasan:
Informasi:
4. Menuliskan hasil bacaan sastra Pemahaman:
Argumentasi:
Kejelasan:
Informasi:
5. Menulis
Intisari
Bacaan Pemahaman:
Seberapa baik tingkat pemahaman siswa terhadap bacaan
Argumentasi:
Seberapa baik argumentasi yang diberikan siswa dalam menjawab persoalan-persoalan dalam masyarakat yang tertuang dalam bacaan
Kejelasan :
• Tersusun dengan baik
• Tertulis dengan baik
• Mudah difahami
Informasi:
• Akurat
• Memadai
• Penting
III. DOKUMENTASI PENILAIAN PERILAKU HARIAN (PH)
No. Perilaku yang Muncul Penilaian Paraf Guru Ket.
Positif Negatif
1. Antusias dalam menerima pelajaran
2. Aktif bertanya dan menjawab pertanyaan guru
3. Gemar membaca di perpustakaan pada saat jam istirahat
4. Sedikit urakan dalam perilaku sehari-hari
5. Berbicara sopan santun
6. Agak sombong
7. Sikapnya agak nyentrik
8. Agak sulit diatur orang lain
9. Dll.
IV. DOKUMENTASI PENILAIAN LAPORAN AKTIVITAS DI LUAR SEKOLAH (ALS)
No. Jenis Aktifitas Aspek penilaian Nilai Paraf guru Ket.
1. Aktif menjadi anggota vocal group sekolah Signifikasi:
Seberapa besar tingkat kebermaknaan aktivitas tersebut bagi mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
Intensitas:
Seberapa intensif aktivitas tersebut dilakukan
Frekuensi:
Seberapa sering aktifitas tersebut dilakukan
2. Aktif menulis puisi pada harian yang terbit di daerahnya Signifikasi:
Intensitas:
Frekuensi:
3. Rajin menulis puisi dan cerpen atau sekedar catatan kecil yang dimuat di madding sekolah Signifikasi:
Intensitas:
Frekuensi:
4. Menjadi juara dalam lomba karya tulis ilmiah di daerahnya Signifikasi:
Intensitas:
Frekuensi:
5. Dll.
Catatan.
Bukti fisik kegiatan disimpan dalam map yang sama dan disusun berdasarkan urutan dokumentasi penilaian.
DALAM PEMBELAJARAN DAN PENILAIAN BERBASIS PORTOFOLIO
Oleh: Dr. H. Sofyan Sauri, M.Pd
A. Pendahuluan
Igor Panarin seorang ilmuwan Rusia mengungkapkan bahwa tahun 2010 Amerika akan mengalami kejatuhan, salah satu penyebabnya karena moral warga Amerika sudah jatuh (Pikiran Rakyat, 5 Maret 2009). Demikian halnya dengan di Indonesia, banyaknya fenomena-fenomena asusila dan amoral dewasa ini menunjukkan masyarakat sudah mengalami pergeseran nilai, disisi lain hal tersebut menunjukkan bahwa praktek pendidikan tidak bersandar kepada amanah undang-undang yang mengisyaratkan pendidikan berbasis kepada seperangkat nilai.
UU No 20 tahun 2003 bab II pasal 3 menyebutkan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Adanya kata-kata beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab dalam tujuan pendidikan nasional di atas, menandakan bahwa yang menjadi bahan dalam praktek pendidikan hendaknya berbasis kepada seperangkat nilai sebagai paduan antara ranah kognitif, afektif dan psikomotor. Bahkan, tujuan pendidikan nasional yang utama menekankan pada aspek keimanan dan ketakwaan. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa core value pembangunan karakter moral bangsa bersumber dari keyakinan beragama. Artinya, semua proses pendidikan harus bermuara pada penguatan nilai-nilai ketuhanan sesuai dengan keyakinan agama yang diyakininya.
Praktek pendidikan pada jalur formal dewasa ini justru cenderung kurang memperhatikan esensi dari tujuan pendidikan nasional di atas, hal ini terbukti dengan kurang memadukannya nilai-nilai esensial dalam proses pembelajaran yang dilaksanakannya, ironisnya justru lebih banyak berorientasi kepada pengembangan struktur kognitif semata. Fenomena tersebut tentunya sangat bertentangan dan membuat jarak antara tujuan dan hasil pendidikan nasional semakin jauh.
Ketertarikan masyarakat pendidikan terhadap perlunya pembinaan nilai mulai tampak setelah terjadi berbagai masalah demoralisasi di masyarakat. Sebagian mereka mulai mempertautkan kembali pendidikan dengan nilai, padahal pendidikan pada hakikatnya tidak pernah lepas dari nilai. Gaffar (2004:8) menyebutkan bahwa pendidikan bukan hanya sekedar menumbuhkan dan mengembangkan keseluruhan aspek kemanusiaan tanpa diikat oleh nilai, tetapi nilai itu merupakan pengikat dan pengarah proses pertumbuhan dan perkembangan tersebut.
B. Hakikat Pendidikan Nilai dan Pendekatan-Pendekatannya
Pendidikan nilai merupakan proses penanaman dan pengembangan nilai-nilai pada diri seseorang. Dalam pengertian yang hampir sama, Mardiatmadja dalam Mulyana (2004:119) mendefinisikan pendidikan nilai sebagai bantuan terhadap peserta didik agar menyadari dan mengalami nilai-nilai serta menempatkannya secara integral dalam keseluruhan hidupnya. Adapun Hakam (2000:05) mengungkapkan bahwa pendidikan nilai adalah pendidikan yang mempertimbangkan objek dari sudut moral dan sudut pandang non moral, meliputi estetika, yakni menilai objek dari sudut pandang keindahan dan selera pribadi, dan etika yaitu menilai benar atau salahnya dalam hubungan antarpribadi. Pendidikan nilai dapat dimaknai juga sebagai proses bimbingan melalui suritauladan pendidik yang berorientasi pada penanaman nilai-nilai kehidupan yang di dalamnya mencakup nilai agama, budaya, etika, dan estetika menuju pembentukan pribadi peserta didik yang memiliki kecerdasan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian yang utuh, berakhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, dan negara.
Sementara Winecoff (1988:1-3) mengungkapkan bahwa:
Values education-pertains to questions of both moral and nonmoral judgement toward object; includes both aesthetics (ascribing value 10 objects of beauty and personal taste) and ethics (ascribing avlues ofrighl and wrong in the interpersonal realm).
Arti dari value education atau pendidikan nilai di atas adalah pendidikan yang mempertimbangkan objek dari sudut moral dan sudut nonmoral, yang meliputi estetika yaitu menilai objek dari sudut pandang keindahan dan selera pribadi dan etika yaitu menilai benar atau salahnya dalam hubungan antar pribadi.
Sasaran yang hendak dituju dalam pendidikan nilai adalah penanaman nilai-nilai luhur ke dalam diri peserta didik. Berbagai metoda pendidikan dan pengajaran yang digunakan dalam berbagai pendekatan lain dapat digunakan juga dalam proses pendidikan dan pengajaran pendidikan nilai. Hal tersebut penting untuk memberi variasi kepada proses pendidikan dan pengajarannya, sehingga lebih menarik dan tidak membosankan.
Minimal terdapat empat faktor yang mendukung pendidikan nilai dalam proses pembelajaran berdasarkan UU Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) Nomor 20 tahun 2003:
Pertama, UUSPN No. 20 Tahun 2003 yang bercirikan desentralistik menunjukkan bahwa pengembangan nilai-nilai kemanusiaan terutama yang dikembangkan melalui demokratisasi pendidikan menjadi hal utama. Desenteralisasi tidak hanya dimaknai sebagai pelimpahan wewenang pengelolaan pendidikan pada tingkat daerah atau sekolah, tetapi sebagai upaya pengembangan dan pemberdayaan nilai secara otonom bagi para pelaku pendidikan.
Kedua, tujuan pendidikan nasional yang utama menekankan pada aspek keimanan dan ketaqwaan. Ini mengisyaratkan bahwa core value pembangunan karakter moral bangsa bersumber dari keyakinan beragama. Artinya bahwa semua peroses pendidikan harus bermuara pada penguatan nilai-nilai ketuhanan sesuai dengan keyakinan agama yang diyakini.
Ketiga, disebutkannya kurikulum berbasis kompetensi (KBK) pada UUSPN No. 20 Tahun 2003 menandakan bahwa nilai-nilai kehidupan peserta didik perlu dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan belajar mereka. Kebutuhan dan kemampuan peserta didik hanya dapat dipenuhi kalau proses pembelajaran menjamin tumbuhnya perbedaan individu. Oleh karena itu, pendidikan dituntut mampu mengembangkan tindakan-tindakan edukatif yang deskriptif, kontekstual dan bermakna.
Keempat, perhatian UUSPN No. 20 Tahun 2003 terhadap usia dini (PAUD) memiliki misi nilai yang amat penting bagi perkembangan anak. Walaupun persepsi nilai dalam pemahaman anak belum sedalam pemahaman orang dewasa, namun benih-benih untuk mempersepsi dan mengapresiasi dapat ditumbuhkan pada usia dini. Usia dini adalah masa pertumbuhan nilai yang amat penting karena usia dini merupakan golden age. Di usia ini anak perlu dilatih untuk melibatkan pikiran, perasaan, dan tindakan seperti menyanyi, bermain, menulis, dan menggambar agar pada diri mereka tumbuh nilai-nilai kejujuran, keadilan, kasih sayang, toleransi, keindahan, dan tanggung jawab dalam pemahaman nilai menurut kemampuan mereka.
Penerapan konsep-konsep pendidikan nilai pernah diterapkan pada sebuah lembaga pendidikan di Thailand, yaitu di sekolah dan Institute of Sathya Sai Education yang didirikan oleh Dr.Art-Ong Jumsai Na-Ayudha, B.A.,M.A.,D.I.C. Bahkan beliau pernah datang ke Indonesia untuk mengisi sebuah seminar internasional yang bertema "Membangun Bangsa melalui Pendidikan Hati" yang diselenggarakan atas kerjasama Prodi Pendidikan Umum/Nilai dengan Yayasan Pendidikan Sthya Sai Indonesia. Dalam makalahnya yang berjudul "Human Values Integrated Instructional Model" (Model Pembelajaran Nilai-nilai Kemanusian Terpadu), Dr.Art-Ong menuliskan sebuah konsep tentang tujuan model pembelajaran yang menerapkan konsep pendidikan nilai dengan menggunakan suku kata dalam kata EDUCATION yang bermakna sebagai berikut:
E--- singkatan untuk Enlightenment (pencerahan). Ini adalah proses pencapaian pemahaman dari dalam diri atau bathin melalui peningkatan kesadaran menuju pikiran super sadar yang akan memunculkan intuisi, kebijaksanaan, dan pemahaman.
D--- singkatan untuk Duty and Devotion (tugas dan pengabdian). Pendidikan harus membuat siswa menyadari tugasnya dalam hidup. Selain memiliki tugas atau kewajiban yang terhadap orang tua dan keluarga, siswa juga memiliki kewajiban yang berlandaskan cinta kasih dan belas kasih untuk melayani dan menolong semua orang di masyarakat dan di dunia.
U--- singkatan untuk Understanding (pemahaman). Ini bukan hanya mengenai pemahaman terhadap mata pelajaran yang diberikan dalam kurikulum nasional tetapi juga penting untuk memahami diri sendiri.
C--- singkatan untuk Character (karakter). Guru mesti membentuk karekter yang baik pada diri siswa. Seorang yang berkarakter adalah seorang yang memiliki kekuatan moral dan lima nilai kemanusiaan yaitu Kebenaran, Kebajikan, Kedamaian, Kasih sayang dan tanpa Kekerasan. Nilai-nilai kemanusiaan tersebut harus terpadu dalam pembelajatran di kelas.
A--- singkatan untuk Action (tindakan). Para siswa kini belajar dengan giat dan menuangkan pengetahuan yang dipelajarinya dalam ruang ujian dan keluar dengan kepala kosong. Pengetahuan yang mereka peroleh tidak diterapkan dalam tindakan. Pendidikan seperti itu tak berguna. Apapun yang dipelajari siswa mesti diterapkan dalam praktek. Model pembelajaran yang baik mesti membuat hubungan anatara yang dipelajari dan situasi nyata dalam hidup. Hal ini akan memungkinkan siswa mengaplikasikan pengetahuan ke dalam hidup mereka sendiri.
T--- singkatan untuk Thanking (berterima kasih). Siswa mesti belajar berterima kasih kepada orang-orang yang telah membantu mereka. Di atas segalanya adalah orang tua yang telah melahirkan dan mengasuh mereka. Siswaharus mengasihi dan menghormati orang tua mereka. Selanjutnya siswa harus berterima kasih kepada guru-guru, karena siswa memperoleh pengetahuan dan kebijaksanaan melalui guru-guru. Maka siswa mesti mengasihi dan menghormati guru. Demikian pula, siswa telah mendapatkan banyak hal dari masyarakat, dari bangsa, dari dunia, dan alam. Siswa mesti selalu berterima kasih kepada semua hal.
I--- singkatan untuk Integrity (Integritas). Integritas adalah sifat jujur dan karakter menjunjung kejujuran (hornby 1968). Siswa mesti tumbuh menjadi sesorang yang memiliki integritas, yang bisa dipercaya unutk menjadi pemimpin di bidangnya masing-masing.
O--- singkatan untuk Oneness (kesatuan). Pendidikan mesti membantu siswa melihat kesatuan dalam kemajemukan. Apakah kita memiliki agama atau kepercayaan yang berbeda, warna kulit dan ras yang berbeda. Kita mesti belajar hidup damai dan harmonis dengan alam.
N--- singkatan untuk Nobility (kemuliaan). Kemuliaan adalah sifat yang muncul karena memiliki karakter yang tinggi atau mulia. Kemuliaan tidak timbul dari lahir tetapi muncul dari pendidikan. Jadi, kemuliaan terdiri dari semua nilai-nilai yang dijelaskan di atas.
Implikasi pendidikan nilai dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa pendekatan sebagai berikut:
1. Pendekatan Penanaman Nilai
Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach) adalah suatu pendekatan yang memberi penekanan pada penanaman nilai-nilai sosial dalam diri siswa. Tujuan pendidikan nilai menurut pendekatan ini adalah: Pertama, diterimanya nilai-nilai sosial tertentu oleh siswa; Kedua, berubahnya nilai-nilai siswa yang tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial yang diinginkan. Adapun metoda yang digunakan dalam proses pembelajaran menurut pendekatan ini antara lain: keteladanan, penguatan positif dan negatif, simulasi, permainan peranan, dan lain-lain.
Para penganut agama memiliki kecenderungan yang kuat untuk menggunakan pendekatan ini dalam pelaksanaan program-program pendidikan agama. Bagi penganut-penganutnya, agama merupakan ajaran yang memuat nilai-nilai ideal yang bersifat global dan kebenarannya bersifat mutlak. Nilai-nilai itu harus diterima dan dipercayai. Oleh karena itu, proses pendidikannya harus bertitik tolak dari ajaran atau nilai-nilai tersebut. Seperti dipahami bahwa dalam banyak hal batas-batas kebenaran dalam ajaran agama sudah jelas, pasti, dan harus diimani. Ajaran agama tentang berbagai aspek kehidupan harus diajarkan, diterima, dan diyakini kebenarannya oleh pemeluk-pemeluknya. Keimanan merupakan dasar penting dalam pendidikan agama.
2. Pendekatan perkembangan kognitif
Pendekatan ini dikatakan pendekatan perkembangan kognitif karena karakteristiknya memberikan penekanan pada aspek kognitif dan perkembangannya. Pendekatan ini mendorong siswa untuk berpikir aktif tentang masalah-masalah moral dan dalam membuat keputusan-keputusan moral. Perkembangan moral menurut pendekatan ini dilihat sebagai perkembangan tingkat berpikir dalam membuat pertimbangan moral, dari suatu tingkat yang lebih rendah menuju suatu tingkat yang lebih tinggi.
Tujuan yang ingin dicapai oleh pendekatan ini ada dua hal yang utama. Pertama, membantu siswa dalam membuat pertimbangan moral yang lebih kompleks berdasarkan kepada nilai yang lebih tinggi. Kedua, mendorong siswa untuk mendiskusikan alasan-alasannya ketika memilih nilai dan posisinya dalam suatu masalah moral. Proses pengajaran nilai menurut pendekatan ini didasarkan pada dilema moral, dengan menggunakan metoda diskusi kelompok. Diskusi itu dilaksanakan dengan memberi perhatian kepada tiga kondisi penting. Pertama, mendorong siswa menuju tingkat pertimbangan moral yang lebih tinggi. Kedua, adanya dilema, baik dilema hipotetikal maupun dilema faktual berhubungan dengan nilai dalam kehidupan keseharian. Ketiga, suasana yang dapat mendukung bagi berlangsungnya diskusi dengan baik. Proses diskusi dimulai dengan penyajian cerita yang mengandung dilema. Dalam diskusi tersebut, siswa didorong untuk menentukan posisi apa yang sepatutnya dilakukan oleh orang yang terlibat, apa alasan-alasannya. Siswa diminta mendiskusikan tentang alasan-alasan itu dengan teman-temannya.
3. Pendekatan analisis nilai
Pendekatan analisis nilai (values analysis approach) memberikan penekanan pada perkembangan kemampuan siswa untuk berpikir logis, dengan cara menganalisis masalah yang berhubungan dengan nilai-nilai sosial. Jika dibandingkan dengan pendekatan perkembangan kognitif, salah satu perbedaan penting antara keduanya bahwa pendekatan analisis nilai lebih menekankan pada pembahasan masalah-masalah yang memuat nilai-nilai sosial. Adapun pendekatan perkembangan kognitif memberi penekanan pada dilema moral yang bersifat perseorangan.
Terdapat dua tujuan utama pendidikan moral menurut pendekatan ini. Pertama, membantu siswa untuk menggunakan kemampuan berpikir logis dan penemuan ilmiah dalam menganalisis masalah-masalah sosial, yang berhubungan dengan nilai moral tertentu. Kedua, membantu siswa untuk menggunakan proses berpikir rasional dan analitik, dalam menghubung-hubungkan dan merumuskan konsep tentang nilai-nilai mereka. Selanjutnya, metoda-metoda pengajaran yang sering digunakan adalah: pembelajaran secara individu atau kolompok tentang masalah-masalah sosial yang memuat nilai moral, penyelidikan kepustakaan, penyelidikan lapangan, dan diskusi kelas berdasarkan kepada pemikiran rasional.
4. Pendekatan klarifikasi nilai
Pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach) memberi penekanan pada usaha membantu siswa dalam mengkaji perasaan dan perbuatannya sendiri, untuk meningkatkan kesadaran mereka tentang nilai-nilai mereka sendiri.
Tujuan pendidikan nilai menurut pendekatan ini ada tiga. Pertama, membantu siswa untuk menyadari dan mengidentifikasi nilai-nilai mereka sendiri serta nilai-nilai orang lain; Kedua, membantu siswa, supaya mereka mampu berkomunikasi secara terbuka dan jujur dengan orang lain, berhubungan dengan nilai-nilainya sendiri; Ketiga, membantu siswa, supaya mereka mampu menggunakan secara bersama-sama kemampuan berpikir rasional dan kesadaran emosional, untuk memahami perasaan, nilai-nilai, dan pola tingkah laku mereka sendiri. Dalam proses pengajarannya, pendekatan ini menggunakan metoda: dialog, menulis, diskusi dalam kelompok besar atau kecil, dan lain-lain
5. Pendekatan pembelajaran berbuat
Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach) memberi penekanan pada usaha memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan perbuatan-perbuatan moral, baik secara perseorangan maupun secara bersama-sama dalam suatu kelompok.
Terdapat dua tujuan utama pendidikan moral berdasarkan kepada pendekatan ini. Pertama, memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan perbuatan moral, baik secara perseorangan maupun secara bersama-sama, berdasarkan nilai-nilai mereka sendiri; Kedua, mendorong siswa untuk melihat diri mereka sebagai makhluk individu dan makhluk sosial dalam pergaulan dengan sesama, yang tidak memiliki kebebasan sepenuhnya, melainkan sebagai warga dari suatu masyarakat, yang harus mengambil bagian dalam suatu proses demokrasi.
Metoda-metoda pengajaran yang digunakan dalam pendekatan analisis nilai dan klarifikasi nilai digunakan juga dalam pendekatan ini. Metoda-metoda lain yang digunakan juga adalah projek-projek tertentu untuk dilakukan di sekolah atau dalam masyarakat, dan praktek keterampilan dalam berorganisasi atau berhubungan antara sesama.
C. Hakikat Pembelajaran dan Penilaian Berbasis Portofolio
1. Pembelajaran Berbasis Portofolio
Portofolio dapat dimaknai sebagai suatu wujud benda fisik, suatu proses sosial pedadogis, maupun sebagai adjective. Sebagai suatu wujud benda fisik itu adalah bundel, yakni kumpulan atau dokumentasi hasil pekerjaan peserta didik yang disimpan pada suatu bundel. Misalnya tugas-tugas, piagam penghargaan, keterangan melaksanakan tugas terstruktur, hasil tes, wawancara, dll. Sebagai suatu proses sosial pedadogis, portofolio adalah collection of learning experience yang terdapat di dalam pikiran peserta didik baik yang berujud pengetahuan (kognitif), keterampilan (skill), maupun nilai dan sikap (afektif). Adapun sebagai adjective, pada umumnya disandingkan dengan konsep pembelajaran yang dikenal dengan istilah pembelajaran berbasis portofolio (portfolio based learning) dan dapat disandingkan dengan konsep penilaian yang dikenal dengan istilah penilaian berbasis portofolio (portfolio based assessment).
Sebagai suatu inovasi, model pembelajaran berbasis portofolio dilandasi dengan landasan pemikiran sebagai berikut:
a. Empat pilar pendidikan
• Learning todo, peserta didik harus diberdayakan agar mau dan mampu berbuat untuk memperkaya pengalaman belajarnya dengan meningkatkan interaksi dengan lingkungan fisik,sosial maupun budaya.
• Learning to know, peserta didik harus mampu membangun pemahaman dan pengetahuannyaterhadap dunia sekitarnya.
• Learning to be, peserta didik harus mampu membangun pengetahuan dan kepercayaan dirinya.
• Learning to live together, kesempatan berinteraksi dengan kelompok yang bervariasi akan membentuk kepri diannya untuk memahami kemajemukkan dan melahirkan sikap-sikap positif dan toleran terhadap keanekaragaman dan perbedaan hidup.
b. Pandangan konstruktivisme
Pandangan ini sebagai filosofi pendidikan mutakhir menganggap semua peserta didik mulai dari usia taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi memiliki gagasan/pengetahuan tentang lingkungan dan peristiwa/gejalanya, gagasan ini sering kali naïf dan miskonsepsi tetapi gagasan ini dipertahankan karena sudah dibangun dalam wujud “schemata” (struktur kognitif).
Para ahli pendidikan berpendapat bahwa inti kegiatan pendidikan adalah memulai pelajaran dari “apa yang diketahui peserta didik” dan guru hanya berperan sebagai “fasilisator dan penyedia kondisi”.
c. Democratic teaching
Suatu bentuk upaya menjadikan sekolah sebagai pusat kehidupan demokrasi melalui proses pembelajaran yang dilandasi oleh nilai-nilai demokrasi yaitu penghargaan terhadap kemampuan, menjunjung keadilan, menerapkan persamaan kesempatan dan memperhatikan keragaman peserta didik.
Model Pembelajaran Berbasis Portofolio (MPBP) mengacu pada prinsip dasar pembelajaran, yaitu:
a. Prinsip belajar siswa aktif (student active learning)
Proses pembelajaran dengan menggunakan MPBP berpusat pada siswa dimana hampir seluruh aktivitas siswa dimulai dari fase perencanaan di kelas, kegiatan lapangan dan pelaporan.
b. Kelompok belajar kooperatif (cooperative learning)
Proses pembelajaran berbasis kerjasama antarsiswa dan antar komponen-komponen lain, seperti orang tua siswa dan lembaga terkait.
c. Pembelajaran partisipatorik
Prinsip ini termasuk salah satu dari MPBP, sebab melalui model ini siswa belajar melakoni (learning by doing). Salah satu bentuk pelakonan itu adalah siswa belajar hidup berdemokrasi.
d. Mengajar yang reaktif (reactive teaching)
MPBP ini mensyaratkan guru yang reaktif agar siswa mempunyai motivasi belajar yang tinggi. Ciri guru yang reaktif adalah sebagai berikut:
• Menjadikan siswa sebagai pusat kegiatan belajar.
• Pempelajaran dimulai dengan hal-hal yang sudah diketahui dan dipahami siswa.
• Selalu berupaya membangkitkan motivasi belajar siswa dengan membuat materi pelajaran sebagai suatu hal yang menarik dan berguna bagi kehidupan.
• Segera mengenali materi dan metode pembelajaran yang membuat siswa bosan. Bila hal ini ditemui harus segera ditanggulanginya.
Adapun praktek pembelajaran berbasis portofolio langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:
a. Mengidentifikasi masalah
Salah satu ciri warga negara yang baik adalah peka terhadap masalah-masalah yang terjadi dilingkungannya. Untuk meningkatkan kepekaan siswa terhadap masalah, maka para guru menjadikan masalah sebagai sumber belajar.
b. Kegiatan kelompok kecil
Perlu diperhatikan bahwa dalam kehidupan sehari-hari seringkali dihadapkan sejumlah masalah yang terjadi di masyarakat kita. Untuk mengidentifikasi masalah tersebut, seluruh siswa hendaknya membaca dan mendiskusikannya dengan membentuk kelompok-kelompok kecil, kemudian membuat pertanyaan-pertanyaan yang akan diidentifikasi dan dianalisis.
c. Pekerjaan rumah
Untuk menentukan masalah mana yang akan dikaji di kelas, memerlukan informasi yang cukup,terutama mengenai kelayakan masalah tersebut untuk dikaji dan ketersediaan sumber-sumber infomasi yang akan dijadikan rujukan untuk memecahkan masalah tersebut. Oleh karena itu, para siswa diberi pekerjaan rumah yang terdiri dari dua hal yaitu, Pertama, menemukan lebih banyak masalah yang ada di masyarakat. Kedua, menemukan kebijakan-kebijakan yang dirancang untuk memecahkan masalah tersebut. Tugas pekerjaan rumah yang harus dilakukan meliputi tiga tugas pokok, yaitu tugas wawancara, tugas mencari informasi dari sumber-sumber media massa cetak, dan tugas mencari informasi melalui media masa elektronik.
d. Memilih masalah untuk kajian kelas
Apabila telah memiliki cukup informasi, kemudian pilih masalah yang akan dikaji dan pastikan informasi berkenaan dengan masalah tersebut dapat dikumpulkan untuk membuat sebuah portofolio yang baik. Dalam hal pemilihan masalah, terdapat langkah-langkah yang dapat ditempuh sbb:
1. Membuat daftar masalah.
Misalnya satu kelas memiliki lima belas kelompok kecil yang kemudian masing-masing kelompok menetapkan satu masalah sehingga kelas memiliki lima belas masalah.
2. Melakukan pemungutan suara (voting), dilakukan dua tahap:
• Setiap siswa menentukan tiga pilihan secara terbuka
• Setiap siswa diharapkan hanya memilih salah satu dari ketiga masalah yang paling banyak terpilih dari lima belas masalah yang dimiliki.
e. Mengumpulkan informasi tentang masalah yang akan dikaji di kelas
Dalam konteks pendidikan nilai, pendekatan-pendekatan dalam pendidikan nilai dapat diintegrasikan ke dalam lima langkah pembelajaran berbasis portofolio di atas, seperti dalam tahap kegiatan kelompok kecil dan memilih masalah untuk di kaji di kelas, pendekatan perkembangan kognitif, pendekatan klarifikasi nilai dan pendekatan analisis nilai dapat menjadi pilihan. Sementara dalam tahapan pekerjaan rumah dan pengumpulan informasi tentang masalah yang akan di kaji di kelas, dapat digunakan pendekatan pembelajaran berbuat dan pendekatan penanaman nilai.
Pemetaan masalah-masalah yang akan dikaji di kelas serta yang akan dicari informasi pendukungnya di lapangan oleh siswa, dapat dikaitkan dengan masalah-masalah yang mengandung nilai-nilai esensial, sehingga melalui pengalaman belajarnya siswa dapat memilih nilai dan mengintegrasikannya ke dalam kepribadiannya. Hal tersebut relevan dengan apa yang diungkapkan oleh Mardiatmadja dalam Mulyana (2004:119) bahwa pendidikan nilai merupakan bantuan terhadap peserta didik agar menyadari dan mengalami nilai-nilai serta menempatkannya secara integral dalam keseluruhan hidupnya atau sebagimana diungkapkan oleh Mulyana (2004:119) yang mengartikan pendidikan nilai sebagai penanaman dan pengembangan nilai-nilai pada diri seseorang. Tujuannya agar seperangkat nilai yang ditanamkan tersebut terintegrasi kedalam pribadi peserta didik.
2. Penilaian Berbasis Portofolio
Penilaian atau assessment biasanya diberikan pada akhir suatu program pendidikan, pengajaran ataupun pelatihan. Tujuannya adalah untuk mengetahui apakah suatu program pendidikan tersebut telah dikuasai oleh pesertanya atau belum, dengan kata lain apakah sejumlah pengalaman belajar yang sebelumnya dirumuskan dalam tujuan pendidikan sudah tercapai atau belum.
Penilaian hendaknya dilakukan secara berkala dan berkesinambungan dengan memperhatikan segala aspek dari peserta didik. Misalnya dalam menentukan nilai rapor dilakukan penilaian dari rata-rata hasil ulangan harian, ulangan umum, tugas-tugas, catatan perilaku harian siswa (anecdotal record), dan laporan yang menunjang kegiatan belajar. Semua indikator proses dan hasil belajar siswa tersebut didokumentasikan dalam bundel (portofolio), sehingga sistem penilaian ini dikenal dengan nama model penilaian berbasis portofolio (Portofolio Based Assessment).
Model penilaian berbasis portofolio (Portofolio Based Assessment) adalah suatu usaha untuk memperoleh berbagai informasi secara berkala, berkesinambungan, dan menyeluruh, tentang proses dan hasil pertumbuhan dan perkembangan wawasan pengetahuan, sikap dan keterampilan peserta didik yang bersumber dari catatan dan dokumentasi pengalaman belajarnya.
Sebagai suatu inovasi, model penilaian berbasis portofolio dilandasi oleh beberapa landasan pemikiran sebagai berikut:
a. Membelajarkan kembali (Re-edukasi)
Menurut cara berpikir yang baru, menilai itu bukan memvonis siswa dengan harga mati, lulus atau gagal. Menilai adalah mencari informasi tentang pengalaman belajar peserta didik dan informasi tersebut digunakan sebagai balikan (feedback) untuk membelajarkan mereka kembali.
b. Merefleksi pengalaman belajar
Merupakan suatu gagasan yang baik apabila penilaian dijadikan media untuk merefleksi (bercermin) pada pengalaman yang telah siswa miliki dan kegiatan yang telah mereka selesaikan. Refleksi pengalaman belajar merupakan satu cara untuk belajar, menghindari kesalahan di masa yang akan datang dan untuk meningkatkan kinerja.
Adapun prinsip dasar dalam penilaian berbasis protofolio adalah sebagai berikut:
a. Prinsip penilaian proses dan hasil
Ada pernyataan bahwa “jika ingin berhasil dalam ujian belajarlah jauh-jauh hari jangan belajar hanya semalam”, pernyataan tersebut menunjukkan bahwa berhasil itu tergantung dari prosesnya. Jika prosesnya baik dan sempurna, maka kita dapat berharap akan menuai hasil yang baik pula. Dari pernyataan tersebutlah, model penilaian berbasis portofolio menerapkan prinsip penilaian proses dan hasil sekaligus.
Proses belajar yang dinilai adalah catatan perilaku harian mengenai sikapnya dalam belajar, antusias tidaknya dalam belajar, antusias tidaknya dalam mengikuti pelajaran, dan sebagainya.
b. Prinsip penilaian berkala dan sinambung
Penilaian secara berkala bertujuan untuk memudahkan mengorganisasikan hasil-hasilnya dan secara sinambung bertujuan untuk memantau pertumbuhan dan perkembangan pengalaman belajar peserta didik.
c. Prinsip penilaian yang adil
Penilaian yang baik hendaknya memperhatikan kondisi dan perbedaan-perbedaan individual tersebut dijadikan indikator dalam penilaian, baik dalam menilai hasil maupun proses yang diperhitungkan dan masing-masing diberi bobot. Sehingga hasil itu benar-benar menggambarkan prosesnya, sehingga penilaian yang adil dapat terwujud.
Ada dua cara memperbaiki proses belajar manakala ada indikasi yang kurang baik, yaitu pertama siswa sendiri yang meminta untuk memperbaiki kinerjanya (stelsel aktif) dan kedua guru yang memprakarsai dengan memanggil para siswa secara informal dengan mendiskusikan cara-cara mereka memperbaiki kinerjanya itu.
d. Prinsip penilaian implikasi sosial belajar
Belajar itu hendaknya melahirkan implikasi sosial, yakni pengaruh proses dan hasil belajar bagi kehidupan orang lain. Model penilaian berbasis portofolio tidak hanya menilai kemampuan kognitif saja, tetapi juga kemampuan yang lain, termasuk menilai implikasi sosial belajar. Pengalaman belajar secara fungsional diperlukan dalam kehidupan nyata (real life), sehingga diperlukan sejumlah perbekalan untuk dapat berkiprah dalam sistem kehidupan nyata (Real Life System/RLS).
RLS yang bergerak secara global menghadapkan individu, organisasi dan alam, bukan saja ke dalam suatu keteraturan dan kerja sama, tetapi juga dalam perlombaan, keunggulan, kompleksitas dan kesemrawutan sehingga dituntut untuk memilih second curvel. Itulah sebabnya, system penilaian multidimensi berbasis portofolio semakin penting keberadaannya.
Dalam proses penilaian, perlu ditetapkan seperangkat indikator penilaian. Indikator penilaian adalah unsur-unsur pokok yang dapat menjelaskan kemampuan peserta didik setelah menyelesaikan satu satuan pendidikan tertentu. Indikator penilaian terdiri atas:
• Tes formatif (ulangan harian) dan sumatif (ulangan umum)
• Tugas-tugas terstruktur
• Catatan perilaku harian
• Laporan aktivitas di luar sekolah
Setelah jelas indikator yang dijadikan acuan dalam proses penilaian, maka perlu dilakukan pengorganisasian dengan baik agar penilaian dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Pengorganisasian model penilaian berbasis portofolio adalah kegiatan mensiasati proses penilaian pembelajaran dengan perancangan terhadap unsur-unsur instrumental melalui upaya pengorganisasian penilain yang rasional, demokratis dan menyeluruh. Kronologis pengorganisasian penilaian pembelajaran itu mencakup empat tahap kegiatan, yaitu perencanaan, pelaksanaan, penyimpanan dan penggunaan.
Dalam konteks pendidikan nilai, model penilaian berbasis portofolio ini sangat relevan dan efektif. Karena evaluasi pendidikan nilai menitikberatkan kepada aspek keutuhan ranah yang menjadi sasaran penilaian. Dengan kata lain, pendidikan nilai menghendaki proses penilaian yang komprehenship, multidimensi, dan terintegrasi antara berbagai potensi peserta didik yang menjadi sasaran pendidikan.
Model penilaian berbasis portofolio tidak hanya menilai kemampuan kognitif saja, tetapi juga kemampuan yang lain, termasuk menilai implikasi sosial belajar. Itulah paradigma baru yang harus dibudayakan dan menjadi titik relevansi antara konsepsi pendidikan nilai dengan model penilaian berbasis portofolio. Fenomena dewasa ini justru indikator kognitif yang lebih menjadi parameter utama kelulusan peserta didik. Padahal proses pendewasaan peserta didik tidak hanya dapat dilakukan dengan pengembangan ranah kognitifnya saja, melainkan afektif dan psikomotor harus terintegrasi. Pendidikan bukan sekedar transformation of knowledge, melainkan transformation of value.
Tes formatif (ulangan harian) dan sumatif (ulangan umum), tugas-tugas terstruktur, catatan perilaku harian dan laporan aktivitas di luar sekolah yang biasa menjadi indikator penilaian berbasis portofolio dari segi perencanaan, pengorganisasian, isi (content) dari masing-masing indikator tersebut, serta parameter ketercapaian tujuan pembelajaran yang menjadi salah satu tujuan proses penilaian, tidak sekedar menyentuh potensi-potensi kognitif saja, melainkan ketrepaduan antara kognitif, afektif, dan psikomotor. Sehingga sosok insan paripurna, insan kamil, manusia utuh, manusia kaffah, atau warga Negara yang baik sebagai target akhir dari pendidikan nilai dapat terukur melalui proses penilaian berbasis portofolio.
Contoh
PORTOFOLIO
Mata Pelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia
SEMESTER I
Nama Siswa
Karlina Rizki Ayu Nuraeni
Kelas IA
SEKOLAH MENENGAH ATAS NEGERI MERDEKA 91
GARUT
2009
DAFTAR ISI
I. DOKUMENTASI PENILAIAN FORMATIF DAN SUMATIF (TF-S)
II. DOKUMENTASI PENILAIAN TUGAS TERSTRUKTUR (TT)
III. DOKUMENTASI PENILAIAN PERILAKU HARIAN (PH)
IV. DOKUMENTASI PENILAIAN LAPORAN AKTIVITAS DI LUAR SEKOLAH (ALS)
I. DOKUMENTASI PENILAIAN FORMATIF DAN SUMATIF (TF-S)
Jenis Tes No Tgl. Pokok Bahasan Nilai Paraf Guru Ket
Formatif (A) 1. Kalimat Sapaan
2. Bercerita pengalaman yang lucu
3. Menceritakan kembali novel dan Drama
4. Memberikan tanggapan berita di Surat kabar, majalah, radio, dan televise
5. Mendeskripsikan secara lisan keindahan alam atau suasana alam
6. Pembacaan puisi dan cerpen
7. Berekspresi melisankan hasil sastra
8. Membaca cepat
Jumlah
Rata-rata
Sumatif (B) Semester 1 Bahan Semester 1
Jumlah A dan B
Rata-rata A dan B
II. DOKUMENTASI PENILAIAN TUGAS TERSTRUKTUR (TT)
No. Jenis Tugas Aspek Penilaian Nilai Paraf guru Ket.
1. Mengerjakan LKS: Kalimat Sapaan Pemahaman
Seberapa baik tingkat pemahaman siswa terhadap soal-soal yang dikerjakan
Argumentasi:
Seberapa baik argumentasi yang diberikan siswa dalam menjawab persoalan-persoalan dalam Lembar Kerja Siswa tersebut
Kejelasan :
• Tersusun dengan baik
• Tertulis dengan baik
• Mudah difahami
Informasi:
• Akurat
• Memadai
• Penting
2. Memberikan tanggapan berita di Surat kabar, majalah, radio, atau televisi Pemahaman:
Argumentasi:
Kejelasan:
Informasi:
3. Menceritakan kembali novel atau drama yang dibaca Pemahaman:
Argumentasi:
Kejelasan:
Informasi:
4. Menuliskan hasil bacaan sastra Pemahaman:
Argumentasi:
Kejelasan:
Informasi:
5. Menulis
Intisari
Bacaan Pemahaman:
Seberapa baik tingkat pemahaman siswa terhadap bacaan
Argumentasi:
Seberapa baik argumentasi yang diberikan siswa dalam menjawab persoalan-persoalan dalam masyarakat yang tertuang dalam bacaan
Kejelasan :
• Tersusun dengan baik
• Tertulis dengan baik
• Mudah difahami
Informasi:
• Akurat
• Memadai
• Penting
III. DOKUMENTASI PENILAIAN PERILAKU HARIAN (PH)
No. Perilaku yang Muncul Penilaian Paraf Guru Ket.
Positif Negatif
1. Antusias dalam menerima pelajaran
2. Aktif bertanya dan menjawab pertanyaan guru
3. Gemar membaca di perpustakaan pada saat jam istirahat
4. Sedikit urakan dalam perilaku sehari-hari
5. Berbicara sopan santun
6. Agak sombong
7. Sikapnya agak nyentrik
8. Agak sulit diatur orang lain
9. Dll.
IV. DOKUMENTASI PENILAIAN LAPORAN AKTIVITAS DI LUAR SEKOLAH (ALS)
No. Jenis Aktifitas Aspek penilaian Nilai Paraf guru Ket.
1. Aktif menjadi anggota vocal group sekolah Signifikasi:
Seberapa besar tingkat kebermaknaan aktivitas tersebut bagi mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
Intensitas:
Seberapa intensif aktivitas tersebut dilakukan
Frekuensi:
Seberapa sering aktifitas tersebut dilakukan
2. Aktif menulis puisi pada harian yang terbit di daerahnya Signifikasi:
Intensitas:
Frekuensi:
3. Rajin menulis puisi dan cerpen atau sekedar catatan kecil yang dimuat di madding sekolah Signifikasi:
Intensitas:
Frekuensi:
4. Menjadi juara dalam lomba karya tulis ilmiah di daerahnya Signifikasi:
Intensitas:
Frekuensi:
5. Dll.
Catatan.
Bukti fisik kegiatan disimpan dalam map yang sama dan disusun berdasarkan urutan dokumentasi penilaian.
Langganan:
Postingan (Atom)