IMPLEMENTASI PENDIDIKAN NILAI DALAM PEDAGOGIK
DAN PENYUSUNAN UNSUR-UNSURNYA
Oleh: Dr. H. Sofyan Sauri, M.Pd
DAN PENYUSUNAN UNSUR-UNSURNYA
Oleh: Dr. H. Sofyan Sauri, M.Pd
A. Pendahuluan
Ketentuan umum Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS point 2 menyebutkan bahwa pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UUD Republik Indonesia tahun 1945 yang berrakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Selain itu, dalam Bab II Pasal 3 disebutkan pula bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Adanya kata-kata beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab dalam tujuan pendidikan nasional di atas, menandakan bahwa yang menjadi bahan dalam praktek pendidikan hendaknya berbasis kepada seperangkat nilai sebagai paduan antara ranah kognitif, afektif dan psikomotor. Bahkan, tujuan pendidikan nasional yang utama menekankan pada aspek keimanan dan ketakwaan. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa core value pembangunan karakter moral bangsa bersumber dari keyakinan beragama. Artinya, semua proses pendidikan harus bermuara pada penguatan nilai-nilai ketuhanan sesuai dengan keyakinan agama yang diyakininya.
Praktek pendidikan pada jalur formal dewasa ini justru cenderung kurang memperhatikan esensi dari tujuan pendidikan nasional di atas, hal ini terbukti dengan kurang memadukannya nilai-nilai esensial dalam proses pembelajaran yang dilaksanakannya, ironisnya justru lebih banyak berorientasi kepada pengembangan struktur kognitif semata. Fenomena tersebut tentunya sangat bertentangan dan membuat jarak antara tujuan dan hasil pendidikan nasional semakin jauh.
Semakin menggelindingnya proses dekadensi moral dikalangan generasi bangsa dewasa ini, menunjukan bahwa praktek pendidikan tidak bersandar kepada amanah undang-undang yang mengisyaratkan pendidikan yang berbasis kepada seperangkat nilai (baca: pendidikan nilai) dan disisi lain semakin meyakinkan tentang penting dan mendesaknya pendidikan nilai.
Disisi lain, perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi (IPTEK) abad ke-21 yang ditandai semakin pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK), telah menggiring kepada pergeseran nilai-nilai, baik nilai budaya, adat istiadat, maupun nilai agama. TIK telah menghilangkan batas ruang dan waktu sehingga dunia seakan menyatu dalam suatu kampung global (global village). Pertukaran informasi termasuk nilai antarbangsa berlangsung secara cepat dan penuh dinamika, sehingga mendorong terjadinya proses perpaduan nilai, kekaburan nilai, bahkan terkikisnya nilai-nilai asli yang sebelumnya sakral dan menjadi identitas.
Pada saat nilai-nilai advantage dari globalisasi digembor-gemborkan oleh para pencetus dan pendukungnya, saat itu pula terjadi proses penggiringan nilai-nilai budaya masyarakat yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya split dan kegamangan nilai. Kegamangan nilai yang dialami masyarakat sekarang merupakan akibat manusia lebih mengutamakan kemampuan akal dan memarginalkan peranan agama dan nilai-nilai esensia, Kemampuan otak dan rasionalitas telah mencapai titik puncak, tetapi tidak dibarengi dengan kekuatan ruhaniah, akibatnya hidup menjadi kehilangan makna.
Mengingat tantangan yang dihadapinya semakin nyata dan kompleks, maka proses pembinaan nilai dewasa ini menjadi sangat penting. Tantangan terhadap pembinaan moral datang dari berbagai arah, terutama yang datang sebagai efek dari arus informasi global. Susanto (1998:27) menyebutkan dalam era globalisasi yang terbuka ini, terpaan informasi sangat memungkinkan seseorang mengadopsi nilai-nilai, pengetahuan, dan kebiasaan luar lingkungan sosialnya dan jauh dari jangkauannya secara fisik.
Ketertarikan masyarakat pendidikan terhadap perlunya pembinaan nilai mulai tampak setelah terjadi berbagai masalah demoralisasi di masyarakat. Sebagian mereka mulai mempertautkan kembali pendidikan dengan nilai, padahal pendidikan pada hakikatnya tidak pernah lepas dari nilai. Gaffar (2004:8) menyebutkan bahwa pendidikan bukan hanya sekedar menumbuhkan dan mengembangkan keseluruhan aspek kemanusiaan tanpa diikat oleh nilai, tetapi nilai itu merupakan pengikat dan pengarah proses pertumbuhan dan perkembangan tersebut.
B. Pedagogik dan Pendidikan Nilai.
Pedagogik atau ilmu mendidik merupakan konsepsi penting dalam pendidikan. Secara yuridis, makna pendidikan itu sendiri sebagaimana tersurat dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa "Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Pada rumusan tersebut, minimal terdapat empat hal yang patut mendapat telaah seksama dalam mencermati makna pendidikan, yaitu: "usaha sadar", bagaimana" menyiapkannya, "melalui apa dan bagaimana", serta bagaimana mengetahui hasilnya terutama dalam "peranannya di masa mendatang".
Pertama, pendidikan sebagai usaha sadar. Hal tersebut memiliki makna bahwa pendidikan diselenggarakan dengan rencana yang matang, mantap, sistematik, menyeluruh, berjenjang berdasarkan pemikiran yang rasional obyektif disertai dengan kaidah untuk kepentingan masyarakat dalam arti seluas-luasnya. Kedua, fungsi pendidikan adalah menyiapkan peserta didik. Maksudnya pendidikan lebih merupakan suatu proses berkesinambungan dalam upaya menyiapkan peserta didik menuju kesiapan dan kematangan pribadi yang menyangkut tiga aspek yaitu pengetahuan (kognitif), sikap atau perilaku (afektif) dan keterampilan (psikomotorik). Ketiga, Strategi pelaksanaan pendidikan dilakukan melalui berbagai bentuk kegiatan antara lain kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau pelatihan. Secara sederhana bimbingan (guidance) dimaknakan sebagai pemberian bantuan, arahan, nasihat, penyuluhan agar peserta didik dapat mengatasi dan memecahkan masalah yang dialaminya. Sedangkan pengajaran (teaching) adalah bentuk interaksi antara tenaga kependidikan dengan peserta didik dalam suatu kegiatan belajar-mengajar untuk mengembangkan perilaku sesuai dengan tujuan pengajaran. Keempat, garapan pendidikan seyogyanya berpijak ke masa kini dan beroreintasi ke masa depan. Hasilnya yang ingin dicapai oleh proses pendidikan adalah terbinanya sumber daya manusia dengan tuntutan pembangunan, yaitu sosok manusia Indonesia seutuhnya yang bisa memecahkan persoalan hari ini dan masa mendatang.
Pendidikan juga dapat dipandang sebagai sebuah sistem yang dapat dikaji dari dua sudut pandang, yaitu (1) sistem pendidikan secara mikro; (2) sistem pendidikan secara makro. Pendidikan secara mikro lebih menekankan pada unsur pendidik dan peserta didik. Polanya lebih merupakan upaya mencerdaskan peserta didik melalui proses interaksi dan komunikasi, yaitu ada pesan (message) yang akan disampaikan dalam bentuk bahan belajar. Kemudian fungsi pendidik lebih merupakan sebagai pengirim pesan (senders) melalui kegiatan pembelajaran di kelas ataupun di luar kelas.
Dalam kajian makro, sistem pendidikan menyangkut berbagai hal atau komponen yang lebih luas lagi, yaitu terdiri atas, 1) Input (masukan) berupa sistem nilai dan pengetahuan, sumber daya manusia, masukan instrumental berupa kurikulum, silabus dan sebagainya, masukan sarana termasuk di dalamnya fasilitas dan sarana pendidikan yang harus disiapkan; 2) Proses yaitu segala sesuatu yang berkaitan dengan proses belajar mengajar atau proses pembelajaran di sekolah maupun di luar sekolah. Dalam komponen proses ini termsuk di dalamnya telaah kegiatan belajar dengan segala dinamika dan unsur yang mempengaruhinya, serta telaah kegiatan pembelajaran yang dilakukan pendidik dalam rangka memberikan kemudahan kepada peserta didik untuk terjadinya proses pembelajaran, 3) Keluaran (output) yaitu hasil yang diperoleh pendidikan bukan hanya terbentuknya pribadi lulusan/peserta didik yang memiliki pengetahuan, sikap, dan keterampilan sesuai dengan yang diharapkan dalam tujuan yang ingin dicapai. Namun juga keluaran penddikan mencakup segala hal yang dihasilkan oleh garapan pendidikan berupa kemampuan peserta didik (human behavior), produk jasa (services) dalam pendidikan seperti hasil penelitian, produk barang berupa karya iintelektual ataupun karya yang sifatnya fisik material.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan berasal dari kata dasar didik (mendidik), yang bermakna memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Pendidikan mempunyai pengertian proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses perbuatan, cara mendidik. Adapun Djahiri (1980:3) mengungkapkan bahwa pendidikan merupakan upaya yang terorganisir, berencana dan berlangsung kontinu (terus menerus sepanjang hayat) ke arah membina manusia/anak didik menjadi insan paripurna, dewasa dan berbudaya (civilized).
Pendidikan merupakan upaya yang terorganisir memiliki makna bahwa pendidikan tersebut dilakukan oleh usaha sadar manusia dengan dasar dan tujuan yang jelas, ada tahapannya dan ada komitmen bersama dalam proses pendidikan itu. Berencana mengandung arti bahwa pendidikan itu direncanakan sebelumnya, dengan suatu proses perhitungan yang matang dan berbagai sistem pendukung yang disiapkan. Adapun berlangsung kontinu artinya pendidikan itu terus menerus sepanjang hayat, yaitu selama manusia hidup proses pendidikan itu akan tetap dibutuhkan, kecuali apabila manusia sudah mati.
Salah satu komponen terpenting dalam pendidikan adalah tujuan pendidikan, tujuan pendidikan dapat diartikan sebagai hasil-hasil yang dicita-citakan dari tindakan pendidikan. Tujuan pendidikan harus diarahkan kepada pengembangan tiga dimensi yang dimiliki oleh manusia yaitu dimensi fisikal, mental dan spiritual. Dimensi fisikal lebih ditandai dengan ketercapaian kemampuan dan sikap yang menjadikan manusia sehat dan kuat. Sedangkan mental berhubungan dengan pengembangan intelegensi atau kecerdasan intelektual. Sementara dimensi spiritual yaitu mengarah kepada perwujudan kualitas kepribadian yang bersifat ruhaniah dalam bentuk tingkah laku, akhlak, dan moralitas yang mencerminkan kualitas kepribadian. Ketiga dimensi tersebut harus dicapai secara terintegrasi dan merupakan satu kesatuan yang akan membentuk kepribadian untuk mencapai manusia yang unggul (Human Excellence).
Namun, pada kenyataannya harus diakui bahwa pendidikan yang berlangsung saat ini belum dapat mewujudkan ketiga dimensi di atas dengan seimbang dan proporsional. Salah satu penyebabnya adalah penyelengaraan pendidikan lebih menitikberatkan pada aspek intelektual dan kurang menyentuh aspek spritual. Karena itu output pendidikan sebagian besar hanya menampilkan performance intelektual, sementara tampilan sikap dan perilaku terpujinya sangat mengkhawatirkan. Oleh karena itu, dalam rangka membentuk keseimbangan ketiga aspek tersebut pada anak didik, pendidikan mesti melakukan transfer of knowledge sekaligus transformation and internalization of value.
Dalam kaitannya dengan upaya mewujudkan tujuan pendidikan yang terfokus pada aspek mental dan spritual, pendidikan nilai merupakan upaya terpenting dan memiliki nilai startegis. Melalui pembelajaran di lembaga-lembaga formal ataupun informal pendidikan nilai dipandang sangat perlu dan penting untuk diterapkan, mengingat semakin maraknya perilaku-perilaku buruk di kalangan remaja maupun anak-anak sekarang yang membuat tanggung jawab sebagai orang tua maupun pendidik semakin berat. Bukan hanya kesabaran dan keikhlasan yang harus lebih ditunjukkan oleh para guru maupun pun orang tua, tetapi pendidikan agama dan penerapan budi pekerti luhur serta keteladanan orang tua menampilkan akhlaq yang mulia harus lebih prioritaskan, baik di lingkungan keluarga maupun di lingkungan sekolah sebagai lembaga pendidikan formal.
Penerapan konsep-konsep pendidikan nilai pernah diterapkan pada sebuah lembaga pendidikan di Thailand, yaitu di sekolah dan Institute of Sathya Sai Education yang didirikan oleh Dr.Art-Ong Jumsai Na-Ayudha, B.A.,M.A.,D.I.C. Bahkan beliau pernah datang ke Indonesia untuk mengisi sebuah seminar internasional yang bertema "Membangun Bangsa melalui Pendidikan Hati" yang diselenggarakan atas kerjasama Prodi Pendidikan Umum/Nilai dengan Yayasan Pendidikan Sthya Sai Indonesia. Dalam makalahnya yang berjudul "Human Values Integrated Instructional Model" (Model Pembelajaran Nilai-nilai Kemanusian Terpadu), beliau menuliskan sebuah konsep tentang tujuan model pembelajaran yang menerapkan konsep pendidikan nilai dengan menggunakan suku kata dalam kata EDUCATION yang bermakna sebagai berikut:
E--- singkatan untuk Enlightenment (pencerahan). Ini adalah proses pencapaian pemahaman dari dalam diri atau bathin melalui peningkatan kesadaran menuju pikiran super sadar yang akan memunculkan intuisi, kebijaksanaan, dan pemahaman.
D--- singkatan untuk Duty and Devotion (tugas dan pengabdian). Pendidikan harus membuat siswa menyadari tugasnya dalam hidup. Selain memiliki tugas atau kewajiban yang terhadap orang tua dan keluarga, siswa juga memiliki kewajiban yang berlandaskan cinta kasih dan belas kasih untuk melayani dan menolong semua orang di masyarakat dan di dunia.
U--- singkatan untuk Understanding (pemahaman). Ini bukan hanya mengenai pemahaman terhadap mata pelajaran yang diberikan dalam kurikulum nasional tetapi juga penting untuk memahami diri sendiri.
C--- singkatan untuk Character (karakter). Guru mesti membentuk karekter yang baik pada diri siswa. Seorang yang berkarakter adalah seorang yang memiliki kekuatan moral dan lima nilai kemanusiaan yaitu Kebenaran, Kebajikan, Kedamaian, Kasih sayang dan tanpa Kekerasan. Nilai-nilai kemanusiaan tersebut harus terpadu dalam pembelajatran di kelas.
A--- singkatan untuk Action (tindakan). Para siswa kini belajar dengan giat dan menuangkan pengetahuan yang dipelajarinya dalam ruang ujian dan keluar dengan kepala kosong. Pengetahuan yang mereka peroleh tidak diterapkan dalam tindakan. Pendidikan seperti itu tak berguna. Apapun yang dipelajari siswa mesti diterapkan dalam praktek. Model pembelajaran yang baik mesti membuat hubungan anatara yang dipelajari dan situasi nyata dalam hidup. Hal ini akan memungkinkan siswa mengaplikasikan pengetahuan ke dalam hidup mereka sendiri.
T--- singkatan untuk Thanking (berterima kasih). Siswa mesti belajar berterima kasih kepada orang-orang yang telah membantu mereka. Di atas segalanya adalah orang tua yang telah melahirkan dan mengasuh mereka. Siswaharus mengasihi dan menghormati orang tua mereka. Selanjutnya siswa harus berterima kasih kepada guru-guru, karena siswa memperoleh pengetahuan dan kebijaksanaan melalui guru-guru. Maka siswa mesti mengasihi dan menghormati guru. Demikian pula, siswa telah mendapatkan banyak hal dari masyarakat, dari bangsa, dari dunia, dan alam. Siswa mesti selalu berterima kasih kepada semua hal.
I--- singkatan untuk Integrity (Integritas).. Integritas adalah sifat jujur dan karakter menjunjung kejujuran (hornby 1968). Siswa mesti tumbuh menjadi sesorang yang memiliki integritas, yang bisa dipercaya unutk menjadi pemimpin di bidangnya masing-masing.
O--- singkatan untuk Oneness (kesatuan). Pendidikan mesti membantu siswa melihat kesatuan dalam kemajemukan. Apakah kita memiliki agama atau kepercayaan yang berbeda, warna kulit dan ras yang berbeda. Kita mesti belajar hidup damai dan harmonis dengan alam.
N--- singkatan untuk Nobility (kemuliaan). Kemuliaan adalah sifat yang muncul karena memiliki karakter yang tinggi atau mulia. Kemuliaan tidak timbul dari lahir tetapi muncul dari pendidikan. Jadi, kemuliaan terdiri dari semua nilai-nilai yang dijelaskan di atas.
Pada kesempatan mengisi seminar di UPI Bandung tahun 2008, Dr. Art-Ong Jumsai mengemukakan Model pembelajaran nilai-nilai kemanusiaan yang ia terapkan di lembaganya terbukti dapat membentuk dan mengembangkan tujuan pendidikan yang bukan hanya aspek kecerdasan intelektual, tetapi juga kecerdasan emosional dan spiritual. Bahkan dalam implikasinya, model pembelajaran nilai-nilai yang diterapkan menyebabkan proses transformasi bagi guru-guru dan anak-anak didiknya yang menjadikannya motivasi dan inspirasi untuk mempertahankan nilai-nilai dari pengaruh negatif di masyarakat.
Pendidikan nilai merupakan proses penanaman dan pengembangan nilai-nilai pada diri seseorang. Dalam pengertian yang hampir sama, Mardiatmadja dalam Mulyana (2004:119) mendefinisikan pendidikan nilai sebagai bantuan terhadap peserta didik agar menyadari dan mengalami nilai-nilai serta menempatkannya secara integral dalam keseluruhan hidupnya. Pendidikan nilai tidak hanya merupakan program khusus yang diajarkan melalui sejumlah mata pelajaran, akan tetapi mencakup keseluruhan program pendidikan.
Sasaran yang hendak dituju dalam pendidikan nilai adalah penanaman nilai-nilai luhur ke dalam diri peserta didik. Berbagai metoda pendidikan dan pengajaran yang digunakan dalam berbagai pendekatan lain dapat digunakan juga dalam proses pendidikan dan pengajaran pendidikan nilai. Hal tersebut penting untuk memberi variasi kepada proses pendidikan dan pengajarannya, sehingga lebih menarik dan tidak membosankan.
Minimal terdapat empat faktor yang mendukung pendidikan nilai dalam proses pembelajaran berdasarkan UU Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) Nomor 20 tahun 2003:
Pertama, UUSPN No. 20 Tahun 2003 yang bercirikan desentralistik menunjukkan bahwa pengembangan nilai-nilai kemanusiaan terutama yang dikembangkan melalui demokratisasi pendidikan menjadi hal utama. Desenteralisasi tidak hanya dimaknai sebagai pelimpahan wewenang pengelolaan pendidikan pada tingkat daerah atau sekolah, tetapi sebagai upaya pengembangan dan pemberdayaan nilai secara otonom bagi para pelaku pendidikan.
Kedua, tujuan pendidikan nasional yang utama menekankan pada aspek keimanan dan ketaqwaan. Ini mengisyaratkan bahwa core value pembangunan karakter moral bangsa bersumber dari keyakinan beragama. Artinya bahwa semua peroses pendidikan harus bermuara pada penguatan nilai-nilai ketuhanan sesuai dengan keyakinan agama yang diyakini.
Ketiga, disebutkannya kurikulum berbasis kompetensi (KBK) pada UUSPN No. 20 Tahun 2003 menandakan bahwa nilai-nilai kehidupan peserta didik perlu dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan belajar mereka. Kebutuhan dan kemampuan peserta didik hanya dapat dipenuhi kalau proses pembelajaran menjamin tumbuhnya perbedaan individu. Oleh karena itu, pendidikan dituntut mampu mengembangkan tindakan-tindakan edukatif yang deskriptif, kontekstual dan bermakna.
Keempat, perhatian UUSPN No. 20 Tahun 2003 terhadap usia dini (PAUD) memiliki misi nilai yang amat penting bagi perkembangan anak. Walaupun persepsi nilai dalam pemahaman anak belum sedalam pemahaman orang dewasa, namun benih-benih untuk mempersepsi dan mengapresiasi dapat ditumbuhkan pada usia dini. Usia dini adalah masa pertumbuhan nilai yang amat penting karena usia dini merupakan golden age. Di usia ini anak perlu dilatih untuk melibatkan pikiran, perasaan, dan tindakan seperti menyanyi, bermain, menulis, dan menggambar agar pada diri mereka tumbuh nilai-nilai kejujuran, keadilan, kasih sayang, toleransi, keindahan, dan tanggung jawab dalam pemahaman nilai menurut kemampuan mereka.
C. Pendekatan-Pendekatan Pendidikan Nilai di Lingkungan Pendidikan
Ki Hajar Dewantara dalam Mulyana (2004:141) membagi lingkungan pendidikan menjadi tiga yang disebutnya sebagai Tri Pusat Pendidikan, yaitu sekolah, keluarga dan masyarakat. Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU SPN) No 20 Tahun 2003 menyebut hal tersebut sebagai jalur pendidikan.
Sekolah merupakan lembaga pendidikan yang dikelola secara terstruktur dengan melibatkan komponen-komponen pendidikan seperti manajemen, biaya, sarana dan prasarana, kruikulum, peserta didik, dan pendidik. Sekolah dibangun sebagai wahana pendidikan formal dalam rangka meningkatkan pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai peserta didik. Sebagai sistem sosial, sekolah dapat dipandang sebagai organisasi yang interaktif dan dinamis, sebab di dalamnya terdapat sejumlah orang yang memiliki kepentingan yang sama (kepentingan penyelenggaraan pendidikan), tetapi kemampuan setiap individu pada komunitas itu memiliki potensi dan latar belakang yang berbeda.
Implikasi pendidikan nilai di sekolah dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa pendekatan sebagai berikut:
1. Pendekatan Penanaman Nilai
Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach) adalah suatu pendekatan yang memberi penekanan pada penanaman nilai-nilai sosial dalam diri siswa. Tujuan pendidikan nilai menurut pendekatan ini adalah: Pertama, diterimanya nilai-nilai sosial tertentu oleh siswa; Kedua, berubahnya nilai-nilai siswa yang tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial yang diinginkan. Adapun metoda yang digunakan dalam proses pembelajaran menurut pendekatan ini antara lain: keteladanan, penguatan positif dan negatif, simulasi, permainan peranan, dan lain-lain.
Para penganut agama memiliki kecenderungan yang kuat untuk menggunakan pendekatan ini dalam pelaksanaan program-program pendidikan agama. Bagi penganut-penganutnya, agama merupakan ajaran yang memuat nilai-nilai ideal yang bersifat global dan kebenarannya bersifat mutlak. Nilai-nilai itu harus diterima dan dipercayai. Oleh karena itu, proses pendidikannya harus bertitik tolak dari ajaran atau nilai-nilai tersebut. Seperti dipahami bahwa dalam banyak hal batas-batas kebenaran dalam ajaran agama sudah jelas, pasti, dan harus diimani. Ajaran agama tentang berbagai aspek kehidupan harus diajarkan, diterima, dan diyakini kebenarannya oleh pemeluk-pemeluknya. Keimanan merupakan dasar penting dalam pendidikan agama.
2. Pendekatan perkembangan kognitif
Pendekatan ini dikatakan pendekatan perkembangan kognitif karena karakteristiknya memberikan penekanan pada aspek kognitif dan perkembangannya. Pendekatan ini mendorong siswa untuk berpikir aktif tentang masalah-masalah moral dan dalam membuat keputusan-keputusan moral. Perkembangan moral menurut pendekatan ini dilihat sebagai perkembangan tingkat berpikir dalam membuat pertimbangan moral, dari suatu tingkat yang lebih rendah menuju suatu tingkat yang lebih tinggi.
Tujuan yang ingin dicapai oleh pendekatan ini ada dua hal yang utama. Pertama, membantu siswa dalam membuat pertimbangan moral yang lebih kompleks berdasarkan kepada nilai yang lebih tinggi. Kedua, mendorong siswa untuk mendiskusikan alasan-alasannya ketika memilih nilai dan posisinya dalam suatu masalah moral. Proses pengajaran nilai menurut pendekatan ini didasarkan pada dilema moral, dengan menggunakan metoda diskusi kelompok. Diskusi itu dilaksanakan dengan memberi perhatian kepada tiga kondisi penting. Pertama, mendorong siswa menuju tingkat pertimbangan moral yang lebih tinggi. Kedua, adanya dilema, baik dilema hipotetikal maupun dilema faktual berhubungan dengan nilai dalam kehidupan keseharian. Ketiga, suasana yang dapat mendukung bagi berlangsungnya diskusi dengan baik. Proses diskusi dimulai dengan penyajian cerita yang mengandung dilema. Dalam diskusi tersebut, siswa didorong untuk menentukan posisi apa yang sepatutnya dilakukan oleh orang yang terlibat, apa alasan-alasannya. Siswa diminta mendiskusikan tentang alasan-alasan itu dengan teman-temannya.
3. Pendekatan analisis nilai
Pendekatan analisis nilai (values analysis approach) memberikan penekanan pada perkembangan kemampuan siswa untuk berpikir logis, dengan cara menganalisis masalah yang berhubungan dengan nilai-nilai sosial. Jika dibandingkan dengan pendekatan perkembangan kognitif, salah satu perbedaan penting antara keduanya bahwa pendekatan analisis nilai lebih menekankan pada pembahasan masalah-masalah yang memuat nilai-nilai sosial. Adapun pendekatan perkembangan kognitif memberi penekanan pada dilema moral yang bersifat perseorangan.
Terdapat dua tujuan utama pendidikan moral menurut pendekatan ini. Pertama, membantu siswa untuk menggunakan kemampuan berpikir logis dan penemuan ilmiah dalam menganalisis masalah-masalah sosial, yang berhubungan dengan nilai moral tertentu. Kedua, membantu siswa untuk menggunakan proses berpikir rasional dan analitik, dalam menghubung-hubungkan dan merumuskan konsep tentang nilai-nilai mereka. Selanjutnya, metoda-metoda pengajaran yang sering digunakan adalah: pembelajaran secara individu atau kolompok tentang masalah-masalah sosial yang memuat nilai moral, penyelidikan kepustakaan, penyelidikan lapangan, dan diskusi kelas berdasarkan kepada pemikiran rasional.
Terdapat enam langkah analisis nilai yang penting dan perlu diperhatikan dalam proses pendidikan nilai menurut pendekatan ini. Enam langkah tersebut menjadi dasar dan sejajar dengan enam tugas penyelesaian masalah berhubungan dengan nilai. Enam langkah dan tugas tersebut sebagai berikut:
Tabel 1
Langkah-Langkah Pendekatan Analisis Nilai
Langkah analisis nilai:
Tugas penyelesaian masalah:
1. Mengidentifikasi dan menjelaskan nilai yang terkait
1. Mengurangi perbedaan penafsiran tentang nilai yang terkait
2. Mengumpulkan fakta yang berhubungan.
2. Mengurangi perbedaan dalam fakta yang berhubungan
3.Menguji kebenaran fakta yang berkaitan.
3. Mengurangi perbedaan kebenaran tentang fakta yang berkaitan.
4. Menjelaskan kaitan antara fakta yang bersangkutan
4. Mengurangi perbedaan tentang kaitan antara fakta yang bersangkutan.
5. Merumuskan keputusan moral sementara.
5. Mengurangi perbedaan dalam rumusan keputusan sementara.
6. Menguji prinsip moral yang digunakan dalam pengambilan keputusan.
6. Mengurangi perbedaan dalam pengujian prinsip moral yang diterima..
4. Pendekatan klarifikasi nilai
Pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach) memberi penekanan pada usaha membantu siswa dalam mengkaji perasaan dan perbuatannya sendiri, untuk meningkatkan kesadaran mereka tentang nilai-nilai mereka sendiri.
Tujuan pendidikan nilai menurut pendekatan ini ada tiga. Pertama, membantu siswa untuk menyadari dan mengidentifikasi nilai-nilai mereka sendiri serta nilai-nilai orang lain; Kedua, membantu siswa, supaya mereka mampu berkomunikasi secara terbuka dan jujur dengan orang lain, berhubungan dengan nilai-nilainya sendiri; Ketiga, membantu siswa, supaya mereka mampu menggunakan secara bersama-sama kemampuan berpikir rasional dan kesadaran emosional, untuk memahami perasaan, nilai-nilai, dan pola tingkah laku mereka sendiri. Dalam proses pengajarannya, pendekatan ini menggunakan metoda: dialog, menulis, diskusi dalam kelompok besar atau kecil, dan lain-lain
Terdapat tiga proses klarifikasi nilai menurut pendekatan ini. Dalam tiga proses tersebut terdapat tujuh subproses sebagai berikut:
Tabel 2
Langkah-Langkah Pendekatan Klarifikasi Nilai
Pertama, memilih :
1). dengan bebas
2). dari berbagai alternatif
3). setelah mengadakan pertimbangan tentang berbagai akibatnya,
Kedua, menghargai:
4). merasa bahagia atau gembira dengan pilihannya,
5). mau mengakui pilihannya itu di depan umum,
Ketiga, bertindak:
6). berbuat sesuatu sesuai dengan pilihannya,
7). diulang-ulang sebagai suatu pola tingkah laku dalam hidup (Raths, et. al., 197)
5. Pendekatan pembelajaran berbuat
Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach) memberi penekanan pada usaha memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan perbuatan-perbuatan moral, baik secara perseorangan maupun secara bersama-sama dalam suatu kelompok.
Terdapat dua tujuan utama pendidikan moral berdasarkan kepada pendekatan ini. Pertama, memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan perbuatan moral, baik secara perseorangan maupun secara bersama-sama, berdasarkan nilai-nilai mereka sendiri; Kedua, mendorong siswa untuk melihat diri mereka sebagai makhluk individu dan makhluk sosial dalam pergaulan dengan sesama, yang tidak memiliki kebebasan sepenuhnya, melainkan sebagai warga dari suatu masyarakat, yang harus mengambil bagian dalam suatu proses demokrasi.
Metoda-metoda pengajaran yang digunakan dalam pendekatan analisis nilai dan klarifikasi nilai digunakan juga dalam pendekatan ini. Metoda-metoda lain yang digunakan juga adalah projek-projek tertentu untuk dilakukan di sekolah atau dalam masyarakat, dan praktek keterampilan dalam berorganisasi atau berhubungan antara sesama.
Diantara lima pendekatan di atas, pendekatan penanaman nilai (inculcation approach) merupakan pendekatan yang paling tepat digunakan dalam pelaksanaan pendidikan nilai di Indonesia. Walaupun pendekatan ini dikritik sebagai pendekatan indoktrinatif oleh penganut filsafat liberal, namun berdasarkan kepada nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia dan falsafah Pancasila, pendekatan ini dipandang paling sesuai. Alasan-alasan untuk mendukung pandangan ini antara lain sebagai berikut.
1) Tujuan pendidikan nilai adalah penanaman nilai-nilai tertentu dalam diri siswa. Pengajarannya bertitik tolak dari nilai-nilai sosial tertentu, yakni nilai-nilai Pancasila dan nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia lainnya, yang tumbuh dan berkembangan dalam masyarakat Indonesia.
2) Menurut nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia dan pandangan hidup Pancasila, manusia memiliki berbagai hak dan kewajiban dalam hidupnya. Setiap hak senantiasa disertai dengan kewajiban, misalnya: hak sebagai pembeli, disertai kewajiban sebagai pembeli terhadap penjual; hak sebagai anak, disertai dengan kewajiban sebagai anak terhadap orang tua; hak sebagai pegawai negeri, disertai kewajiban sebagai pegawai negeri terhadap masyarakat dan negara; dan sebagainya. Dalam rangka pendidikan nilai, siswa perlu diperkenalkan dengan hak dan kewajibannya, supaya menyadari dan dapat melaksanakan hak dan kewajiban tersebut dengan sebaik-baiknya.
3) Menurut konsep Pancasila, hakikat manusia adalah makhluk Tuhan Yang Maha Esa, makhluk sosial, dan makhluk individu. Sehubungan dengan hakikatnya itu, manusia memiliki hak dan kewajiban asasi, sebagai hak dan kewajiban dasar yang melekat eksistensi kemanusiaannya itu. Hak dan kewajiban asasi tersebut juga dihargai secara berimbang.. Dalam rangka pendidikan nilai, siswa juga perlu diperkenalkan dengan hak dan kewajiban asasinya sebagai manusia.
4) Dalam pengajaran nilai di Indonesia, faktor isi atau nilai merupakan hal yang amat penting. Dalam hal ini berbeda dengan pendidikan moral dalam masyarakat liberal, yang hanya mementingkan proses atau keterampilan dalam membuat pertimbangan moral. Pengajaran nilai menurut pandangan tersebut adalah suatu indoktrinasi yang harus dijauhi. Anak harus diberikan kebebasan untuk memilih dan menentukan nilainya sendiri. Pandangan ini berbeda dengan falsafah Pancasila dan budaya luhur bangsa Indonesia, yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Misalnya, berzina, berjudi, adalah perbuatan tercela yang harus dihindari; orang tua harus dihormati, dan sebagainya. Nilai-nilai ini harus diajarkan kepada anak, sebagai pedoman tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, dalam pengajaran nilai faktor isi nilai dan proses, keduanya sama-sama penting.
D. Pembelajaran sebagai Paradigma Pendidikan dan Unsur-Unsurnya
Menurut Djahiri (2007:1), dalam pembaharuan paradigma pendidikan, kata pembelajaran lebih banyak digunakan karena di dalamnya mengandung pengertian belajar secara utuh, baik secara programatik maupun prosedural serta hasil perolehannya. Pembelajaran itu sendiri menurut Hamalik (1995:57) adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi mencapai tujuan pembelajaran. Manusia yang terlibat dalam sistem pembelajaran adalah siswa, guru, dan tenaga lainnya. Material meliputi buku-buku, papan tulis, kapur, fotografi, slide dan film, audio, serta video tape. Fasilitas dan perlengkapan terdiri atas ruangan kelas, perlengkapan audio visual, dan komputer. Sementara prosedur terdiri atas jadwal dan metode penyampaian informasi, praktik, belajar, ujian dan sebagainya.
Sementara Djahiri (2007:1) mengartikan pembelajaran secara programatik dan prosedural. Secara programatik pembelajaran dimaknai seperangkat komponen rancangan pelajaran yang memuat hasil pilihan dan ramuan profesional perancang/guru untuk dibelajarkan kepada peserta didiknya. Rancangan ini meliputi 5 komponen (M3SE) yakni; (1) Materi atau bahan pelajaran, (2) Metode atau kegiatan belajar-mengajar, (3) Media pelajaran atau alat bantu, (4) Sumber sub 1-2-3, (5) Pola Evaluasi atau penilaian perolehan belajar. Secara prosedural, pembelajaran adalah proses interaksi/interadiasi antara kegiatan belajar siswa (KBS) dengan kegiatan mengajar guru (KMG) serta dengan lingkungan belajarnya (learning environment).
Unsur-unsur minimal yang harus ada dalam sistem pembelajaran adalah tujuan, materi, metode, media, sumber dan evaluasi yang akan penulis uraikan sebagai berikut:
a. Tujuan Pendidikan dan Pembelajaran
Tujuan pendidikan menurut Hamalik (1995:3) adalah seperangkat hasil pendidikan yang tercapai oleh peserta didik setelah diselenggarakannya kegiatan pendidikan. Seluruh kegiatan pendidikan, yaitu bimbingan, pengajaran dan atau latihan diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan. Dalam konteks ini, tujuan pendidikan merupakan suatu komponen sistem pendidikan yang menempati kedudukan dan fungsi sentral.
Tujuan pendidikan disusun secara bertingkat, mulai dari tujuan pendidikan yang sangat luas dan umum sampai ke tujuan pendidikan yang spesifik dan operasional. Tingkat-tingkat tujuan pendidikan itu meliputi:
1. Tujuan Pendidikan Nasional
Tujuan pendidikan nasional adalah tujuan yang hendak dicapai dalam sistem pendidikan nasional. Tujuan pendidikan nasional tertuang dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) No 20 tahun 2003 sebagai berikut:
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermanfaat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab”
2. Tujuan Institusional
Tujuan institusional adalah tujuan yang hendak dicapai oleh suatu lembaga pendidikan atau satuan pendidikan tertentu. Tiap lembaga pendidikan memiliki tujuan masing-masing yang berbeda satu dengan yang lainnya sesuai dengan karakteristik lembaga tersebut. Tujuan institusional terdiri atas tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum merujuk pada pengembangan warga negara yang baik sedangkan tujuan khusus meliputi pengembangan aspek-aspek pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai.
3. Tujuan Kurikulum
Tujuan kurikulum adalah tujuan yang hendak dicapai oleh suatu program studi dan bidang studi suatu mata pelajaran yang disusun berdasarkan tujuan institusional. Perumusan tujuan kurikulum berpedoman pada kategorisasi tujuan pendidikan/taksonomi tujuan yang dikaitkan dengan bidang studi yang bersangkutan. Tujuan kurikulum tiap satuan pendidikan harus mengacu ke arah pencapaian tujuan pendidikan nasional.
4. Tujuan Pembelajaran (Instruksional)
Tujuan pembelajaran adalah tujuan yang hendak dicapai setelah selesai diselenggarakannya suatu proses pembelajaran. Misalnya satu pertemuan yang bertitik tolak pada perubahan tingkah laku siswa. Tujuan ini disusun berdasarkan tujuan kurikulum.
Menurut Hamalik (1995:76) tujuan (goals) adalah rumusan rumusan yang luas mengenai hasil-hasil pendidikan yang diinginkan. Di dalamnya terkandung tujuan yang menjadi target pembelajaran dan menyediakan pilar untuk menyediakan pengalaman-pengalaman belajar. Suatu tujuan pembelajaran seyogianya memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Tujuan itu menyediakan situasi atau kondisi untuk belajar;
2. Tujuan mendefinisikan tingkah laku siswa dalam bentuk dapat diukur dan diamati;
3. Tujuan menyatakan tingkat minimal perilaku yang dikehendaki.
Dalam konsep tujuan pendidikan, dikenal pula taksonomi tujuan pendidikan yakni suatu kategorisasi tujuan pendidikan yang umumnya digunakan sebagai dasar untuk merumuskan tujuan kurikulum dan tujuan pembelajaran. Taksonomi tujuan terdiri atas domain-domain berikut ini.
1. Matra Kognitif
Matra kognitif menitikberatkan pada proses intelektual. Bloom dalam Hamalik (1995:80) mengemukakan jenjang-jenjang tujuan kognitif, yaitu sebagai berikut:
1) Pengetahuan;Pengetahuan merupakan pengingatan bahan-bahan yang telah dipelajari, mulai dari fakta sampai ke teori yang menyangkut informasi yang bermanfaat.
2) Pemahaman;Pemahaman adalah abilitet untuk menguasai pengertian. Pemahaman tampak pada alih bahan dari satu bentuk ke bentuk lainnya, penafsiran, dan memperkirakan.
3) Penerapan (aplikasi); Penerapan adalah abilitet untuk menggunakan bahan yang telah dipelajari ke dalam situasi baru yang nyata, meliputi aturan, metode, konsep, prinsip, hukum, dan teori.
4) Analisis (pengkajian); Analisis adalah abilitet untuk merinci bahan menjadi bagian-bagian supaya struktur organisasinya mudah dipahami yang meliputi identifikasi bagian-bagian, mengkaji hubungan antara bagian-bagian, dan mengenali prinsip-prinsip organisasi.
5) Sintesis; Sintesis adalah abilitet mengkombinasikan bagian-bagian menjadi suatu keseluruhan yang baru, yang menitikberatkan pada tingkah laku kreatif dengan cara memformulasikan pola dan struktur baru.
6) Evaluasi;Evaluasi adalah abilitet untuk mempertimbangkan nilai bahan untuk maksud tertentu berdasarkan kriteria internal dan kriteria eksternal.
2. Matra Afektif
Matra afektif adalah sikap, perasaan, emosi, dan karakteristik moral yang merupakan aspek aspek penting perkembangan siswa. Krathwohl, Bloom, dan Masia dalam Hamalik (1995:81) mengembangkan hirarki matra afektif yang terdiri atas:
1) Penerimaan (receiving), yaitu suatu keadaan sadar, kemauan untuk menerima, dan perhatian terpilih.
2) Sambutan (responding), yaitu suatu sikap terbuka ke arah sambutan, kemauan merespon, dan kepuasan yang timbul karena sambutan.
3) Menilai (valuing), yaitu penerimaan nilai-nilai, preferensi terhadap suatu nilai, dan membuat kesepakatan dan komitmen sehubungan dengan nilai.
4) Organisasi (organization), yaitu suatu konseptualisasi tentang suatu nilai dan suatu organisasi dari suatu sistem nilai.
5) Karakterisasi dengan suatu kompleks nilai, yaitu suatu formasi mengenai perangkat umum, suatu manifestasi dari kompleks nilai.
3. Matra Psikomotor
Matra psikomotorik adalah kategori ketiga tujuan pendidikan yang menunjuk pada gerakan-gerakan jasmaniah dan kontrol jasmaniah. Kecakapan-kecakapan fisik dapat berupa pola-pola gerakan atau keterampilan fisik yang khusus atau urutan keterampilan. Jenis tingkah laku utama dalam matra psikomotorik.
b. Materi Pembelajaran
Materi pembelajaran pada hakikatnya adalah isi kurikulum. Dalam Undang-Undang Pendidikan tentang Sistem Pendidikan Nasional telah ditetapkan bahwa ”Isi kurikulum merupakan bahan kajian dan pelajaran untuk mencapai tujuan penyelenggaraan satuan pendidikan yang bersangkutan dalam rangka upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional”. Sesuai dengan rumusan tersebut, isi kurikulum dikembangkan dan disusun berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Materi kurikulum berupa bahan pembelajaran yang terdiri atas bahan kajian atau topik-topik pelajaran yang dapat dikaji oleh siswa dalam proses belajar dan pembelajaran.
2. Materi kurikulum mengacu pada pencapaian tujuan masing-masing satuan pendidikan. Perbedaan dalam ruang lingkup dan urutan bahan pelajaran disebabkan oleh perbedaan tujuan satuan pendidikan tersebut.
3. Materi kurikulum diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Dalam hal ini, tujuan pendidikan nasional merupakan target tertinggi yang hendak dicapai melalui penyampaian materi kurikulum.
Selain itu, materi kurikulum juga mengandung aspek-aspek tertentu yang sesuai dengan tujuan kurikulum. Aspek-aspek tersebut menurut Hamalik (1995:25-26) meliputi:
1. Teori, yaitu seperangkat konstruk atau konsep, definisi dan preposisi yang saling berhubungan, menyajikan pendapat sistematik tentang gejala dengan menspesifikasi hubungan-hubungan antara variabel-variabel dengan maksud menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut.
2. Konsep, yaitu suatu abstraksi yang dibentuk oleh generalisasi dari kekhususan-kekhususan. Konsep adalah definisi singkat dari sekelompok fakta atau gejala.
3. Generalisasi, yaitu kesimpulan umum berdasarkan hal-hal yang khusus, bersumber dari analisis, pendapat, atau pembuktian dalam penelitian.
4. Prinsip, yaitu ide utama, pola skema yang ada dalam materi yang mengembangkan hubungan antara beberapa konsep.
5. Prosedur, yaitu suatu seri langkah-langkah yang berurutan dalam materi pelajaran yang harus dilakukan oleh siswa.
6. Fakta, yaitu sejumlah informasi khusus dalam materi yang dianggap penting, terdiri atas terminologi, orang dan tempat, serta kejadian.
7. Istilah, yaitu kata-kata perbendaharaan yang baru dan khusus yang diperkenalkan dalam materi.
8. Contoh atau ilustrasi, yaitu suatu hal atau tindakan atau proses yang bertujuan untuk memperjelas suatu uraian atau pendapat.
9. Definisi, yaitu penjelasan tentang makna atau pengertian tentang suatu hal atau suatu kata dalam garis besarnya.
10. Preposisi, yaitu suatu pernyataan atau theorm, atau pendapat yang tidak perlu diberi argumentasi. Preposisi hampir sama dengan paradigma.
c. Metode Pembelajaran
Metode merupakan cara yang digunakan untuk menyampaikan materi pelajaran dalam upaya mencapai tujuan kurikulum. Metode dilaksanakan melalui prosedur tertentu. Dewasa ini, keaktifan siswa belajar mendapat tekanan utama dibandingkan dengan keaktifan guru yang bertindak sebagai fasilitator dan pembimbing bagi siswa. Karena itu, istilah metode yang digunakan lebih menekankan pada kegiatan guru diganti dengan istilah strategi pembelajaran yang menekankan pada kegiatan siswa.
Al-Ghazali dalam Arief (2002:44) mengemukakan beberapa metode alternatif yang digunakan dalam mendidik, yaitu sebagai berikut.
1) Mujahadah dan Riyadlah Nafsiyah (kekuatan dan latihan jiwa), yaitu mendidik anak dengan cara mengulang pengalaman. Hal ini meninggalkan kesan yang baik dalam jiwa anak didik dan benar-benar akan menekuninya sehingga terbentuk akhlak dan watak dalam dirinya.
2) Mendidik anak hendaknya menggunakan beberapa metode. Penggunaan metode yang bervariasi akan membangkitkan motivasi belajar dan menghilangkan kebosanan..
3) Pendidik hendaknya memberikan dorongan dan hukuman.
Ibnu Khaldun dalam Arief (2002:45) berpendapat bahwa metode pendidikan yang dapat menjadi alternatif sebagai berikut.
1) Metode ilmiah yang modern, yaitu menumbuhkan kemampuan memahami ilmu dengan kelancaran berbicara dalam berdiskusi untuk menghindari verbalisme dalam pelajaran.
2) Metode gradasi (pentahapan) dan pengulangan. Pengetahuan bersifat global bertahap dan terperinci agar anak memahami permasalahan dan menerima penjelasan sesuai dengan tingkat berfikirnya.
3) Menggunakan media (alat peraga) untuk membantu siswa dalam memahami materi pelajaran.
4) Melakukan karyawisata agar siswa mendapatkan pengalaman belajar secara langsung.
5) Menghindari sistem pengajaran materi dalam bentuk ikhtisar (ringkasan).
6) Memberikan sanksi yang proporsional untuk menumbuhkan motivasi (semangat) belajar siswa.
Prinsip-prinsip pelaksanaan metodologi pendidikan menurut Al-Saibany dalam Arief (2002:93), yaitu sebagai berikut;
1. Mengetahui motivasi, minat, dan kebutuhan anak didiknya.
2. Mengetahui pendidikan.
3. Mengetahui tahap kematangan, perkembangan, serta perubahan anak didik.
4. Mengetahui perbedaan-perbedaan individu di dalam anak didik.
5. Memperhatikan kepahaman dan mengetahui hubungan-hubungan, integrasi pengalaman dan kelanjutannya, keaslian, pembaharuan, dan kebebasan berfikir.
6. Menjadikan proses pendidikan sebagai pengalaman yang menggembirakan bagi anak didik.
7. Menegakkan ”uswah hasanah.”
d. Media Pembelajaran
Media menurut Djamarah dan Zain (2002:137) adalah alat bantu apa saja yang dapat dijadikan sebagai penyalur pesan guna mencapai tujuan pengajaran. Adapun Hamalik (1995:69) berpendapat bahwa pengadaan media pembelajaran dilakukan oleh guru, siswa sendiri, dan bantuan orangtua. Prosedur yang dapat ditempuhnya, yaitu sebagai berikut:
1. Memilih dan menggunakan alat bantuan yang tersedia di sekolah sesuai dengan rencana pembelajaran.
2. Siswa memilih dan membuat sendiri alat bantuan yang diperlukannya berdasarkan petunjuk dan bantuan guru.
3. Membeli di pasaran bebas seandainya alat-alat yang diperlukan itu ada di pasaran dan cocok untuk kegiatan belajar yang akan dilakukan
Seiring dengan semakin berkembangnya dunia pendidikan, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bentuk media yang dapat dimanfaatkan sangat beragam Djamarah dan Zain (2002:140-142) berpendapat bahwa sangat banyak macam-macam media dan dapat dikategorisasikan menjadi sebagai berikut:
1. Dilihat dari jenisnya, media dibagi menjadi sebagai berikut:
a) Media Auditif, yaitu media yang hanya mengandalkan kemampuan suara saja, seperti radio cassette recorder dan piringan hitam. Media ini tidak cocok untuk orang tuli atau mempunyai kelainan dalam pendengaran.
b) Media Visual, yaitu media yang hanya mengandalkan indra penglihatan. Media visual ini ada yang menampilkan gambar diam seperti film strip (film rangkai), slides (film bingkai) foto, gambar atau lukisan, dan cetakan. Ada pula media visual yang menampilkan gambar atau simbol yang bergerk seperti film kartun.
c) Media Audiovisual, yaitu media yang mempunyai unsur suara dan unsur gambar. Jenis media ini mempunyai kemampuan yang lebih baik karena meliputi kedua jenis media yang pertama dan kedua. Media ini dibagi lagi kedalam:
1) Audiovisual diam, yaitu media yang menampilkan suara dan gambar diam seperti film bingkai suara (sound slides), film rangkai suara, dan cetak suara.
2) Audiovisual gerak, yaitu media yang menampilkan unsur suara dan gambar yang bergerak seperti film suara dan video-cassette..
3) Audiovisual murni yaitu baik unsur suara maupun unsur gambar berasal dari suatu sumber seperti film gambar video-cassette.
4) Audiovisual tidak murni yaitu yang unsur suara dan unsur gambarnya berasal dari sumber yang berbeda, misalnya film bingkai suara yang unsur gambarnya bersumber dari slides proyektor dan unsur suaranya bersumber dari tape recorder
2. Dilihat dari daya liputnya, media dibagi menjadi sebagai berikut:
a) Media dengan daya liput luas dan serentak. Penggunaan media ini tidak terbatas oleh tempat dan ruang serta dapat menjangkau jumlah anak didik yang banyak dalam waktu yang sama. Contoh radio dan televisi
b) Media dengan daya liput yang terbatas oleh runag dan waktu. Media ini penggunaannya membutuhkan ruang dan tempat yang khusus seperti film, sound slides, film rangkai yang harus menggunakan tempat yang tertutup dan gelap.
c) Media untuk pengajaran individual. Media ini penggunaannya hanya untuk seorang diri. Media yang termasuk kategori ini adalah modul berprogram dan pengajaran melalui komputer.
3. Dilihat dari bahan pembuatannya, media dibagi menjadi sebagai berikut:
a) Media sederhana. Media ini bahan dasarnya mudah diperoleh, harganya murah, cara pembuatannya mudah, dan penggunaannya tidak sulit.
a. Media kompleks. Media ini adalah media yang bahan dan alat pembuatannya sulit diperoleh, mahal harganya, sulit membuatnya, dan penggunaanya memerlukan keterampilan yang memadai.
Guru profesional akan mampu memilih media yang tepat dalam setiap proses pembelajaran yang dilakukannya. Sudjana dalam Djamarah dan Zain (2002: 144-145) memberikan rambu-rambu berupa prinsip-prinsip penggunaan media agar lebih berdaya guna dalam mendukung proses pembelajaran yang lebih efektif, adapun prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut:
1. Menentukan jenis media dengan tepat, artinya sebaiknya guru memulainya dengan terlebih dahulu menentukan media manakah yang sesuai dengan tujuan dan bahan pelajaran yang akan diajarkan .
2. Memantapkan atau memperhitungkan subjek dengan tepat, artinya perlu diperhitungkan apakah penggunaan media itu sesuai dengan tingkat kematangan/kemampuan anak didik.
3. Menyajikan media dengan tepat, artinya teknik dan metode penggunaan media dalam pengajaran haruslah sesuai dengan tujuan, bahan, metode, waktu, dan sarana yang ada.
4. Menempatkan atau memperlihatkan media pada waktu, tempat dan situasi yang tepat, artinya kapan dan dalam situasi mana media digunakan.Tentu tidak setiap saat atau selama proses belajar mengajar terus-menerus memperlihatkan atau menjelaskan sesuatu dengan media pengajaran.
e. Sumber Pembelajaran
Menurut Hamalik (1995:68) sumber-sumber yang dapat digunakan sebagai bahan belajar terdapat pada hal-hal berikut ini.
1. Buku pelajaran yang sengaja disiapkan dan berkenaan dengan mata ajaran tertentu.
2. Pribadi guru sendiri pada dasarnya merupakan sumber tidak tertulis dan sangat kaya serta luas, yang perlu dimanfaatkan secara maksimal.
3. Sumber masyarakat juga merupakan sumber yang paling kaya bagi bahan ajar siswa. Hal-hal yang tidak tertulis dalam buku dan belum terkuasai oleh guru, ternyata ada dalam masyarakat, yaitu berupa objek, kejadian, dan peninggalan sejarah.
Udin Saripudin dalam Djamarah dan Zain (2002:139) mengelompokkan sumber-sumber belajar menjadi tiga kategori yaitu manusia, alam lingkungan dan media pendidikan, karena itu sumber belajar adalah segala sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai tempat dimana bahan pengajaran terdapat atau untuk belajar seseorang.
f. Evaluasi Pembelajaran
Evaluasi terdiri atas evaluasi pembelajaran dan evaluasi hasil belajar. Evaluasi hasil belajar menurut Hamalik (1995:159) adalah keseluruhan kegiatan pengukuran (pengumpulan data dan informasi), pengolahan, penafsiran, dan pertimbangan untuk membuat keputusan tentang tingkat hasil belajar yang dicapai oleh siswa setelah melakukan kegiatan belajar dalam upaya mencapai pembelajaran yang telah ditetapkan. Adapun evaluasi pembelajaran menurut Hamalik (1995: 171) adalah evaluasi terhadap proses belajar mengajar. Secara sistematik, evaluasi pembelajaran diarahkan pada komponen sistem pembelajaran yang meliputi komponen input, yaitu perilaku awal (entry behavior) siswa, komponen input instrumental, yaitu kemampuan profesional guru/tenaga kependidikan, komponen kurikulun (program studi, metode, dan media), komponen administratif (alat, waktu, dan dana); komponen proses, yaitu prosedur pelaksanaan pembelajaran; dan komponen output, yaitu hasil pembelajaran yang menandai ketercapaian tujuan pembelajaran.
Sasaran evaluasi pembelajaran adalah untuk menjawab pertanyaan tentang apa yang dinilai dalam sistem pembelajaran. Terdapat empat hal pokok yang dijadikan sebagai sasaran evaluasi pembelajaran, yaitu sebagai berikut.
1. Evaluasi tujuan pembelajaran.
Menurut Hamalik (1995:173) evaluasi terhadap tujuan pembelajaran bertitik tolak dari tiga pertanyaan yang dapat dianggap sebagai kriteria evaluasi tujuan, yaitu sebagai berikut:
1) Apakah tujuan pembelajaran menggambarkan perilaku yang diharapkan tercapai oleh siswa setelah mengalami proses pembelajaran? Perilaku yang dimaksud adalah perilaku yang dapat tampak, dapat diamati, dan dapat diukur maupun perilaku yang tidak tampak.
2) Apakah tujuan pembelajaran menggambarkan kondisi tertentu dimana siswa diharapkan mempertunjukkan kemampuannya setelah mengalami proses pembelajaran?
3) Apakah dalam rumusan tujuan pembelajaran menggambarkan batas minimal (paling rendah) perilaku yang dapat diterima?
2. Evaluasi unsur dinamis pembelajaran
Unsur-unsur pembelajaran pada hakikatnya merupakan unsur penunjang dalam proses pembelajaran. Evaluasi unsur dinamis pembelajaran meliputi:
1) Evaluasi terhadap motivasi belajar siswa dengan tujuan untuk mengetahui apakah dorongan belajar siswa memadai dan apakah upaya yang dilakukan guru untuk menggerakkan motivasi belajar itu sudah sesuai dengan prinsip-prinsip yang disarankan;
2) Evaluasi terhadap bahan pelajaran, bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai ruang lingkup, urutan, kedalaman, dan kesesuaian bahan pelajaran;
3) Evaluasi terhadap alat bantu belajar, bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang tingkat ketepatan, kesesuaian, kedayagunaan, dan keampuhan alat bantu yang digunakan dalam proses pembelajaran;
4) Evaluasi terhadap suasana belajar, bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang keadaan dan dukungan suasana belajar (khususnya lingkungan kelas) terhadap proses pembelajaran;
5) Evaluasi terhadap keadaan subjek didik, bertujuan untuk mengetahui keadaan diri subjek peserta didik yang berperan dalam peoses pembelajaran;
3. Evaluasi pelaksanaan pembelajaran
Aspek-aspek yang perlu dinilai terdiri atas:
1) Tahap permulaan pembelajaran yang meliputi aspek metode yang digunakan (ketepatan dan sistematika), penyampaian materi pelajaran, kegiatan siswa, kegiatan guru, dan penggunaan unsur penunjang.
2) Tahap inti pembelajaran, meliputi metode yang digunakan (ketepatan dan sistematika), materi yang disajikan, kegiatan siswa, kegiatan guru, dan penggunaan unsur penunjang.
3) Tahap akhir pembelajaran, meliputi kesimpulan yang dibuat mengenai materi, kegiatan siswa, kegiatan guru, dan prosedur/teknik penilaian.
4) Tahap tindak lanjut, meliputi kegiatan siswa, kegiatan guru, dan produk yang dihasilkan.
4. Evaluasi kurikulum
Dalam hubungan ini, evaluasi berpijak pada pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
1) Berapa banyak dan berapa luas/kedalaman tingkat ketercapaian tujuan yang telah ditentukan dalam GBPP?
2) Sejauh mana ruang lingkup dan urutan pokok bahasan/sub-sub pokok/topik telah disampaikan dan diserap oleh siswa?
3) Bagaimana tingkat pelaksanaan/penggunaan strategi pembelajaran yang telah digariskan dalam GBPP?
4) Hingga mana ketercapaian hasil belajar siswa?
Sementara sasaran dari proses evaluasi hasil balajar meliputi hal-hal sebagai berikut:
1) Ranah Kognitif
Penilaian terhadap pengetahuan pada tingkat satuan pelajaran menuntut perumusan secara lebih khusus setiap aspek pengetahuan, yang dikatagorikan sebagai konsep, prosedur, fakta, dan prinsip. Menurut Hamalik (1995:162), untuk menilai pengetahuan dapat digunakan pengujian sebagai berikut:
a) Sasaran penilaian aspek pengenalan (recognition).
b) Sasaran penilaian aspek mengingat kembali (recal).
c) Sasaran penilaian aspek pemahaman (komprehension).
2) Ranah Afektif
Sasaran ranah afektif (sikap dan nilai) meliputi aspek-aspek sebagai berikut:
a) Aspek penerimaan, yaitu kesadaran peka terhadap gejala dan stimulus serta menerima atau menyelesaikan stimulus atau gejala tersebut.
b) Sambutan, yaitu aktif mengikuti dan melaksanakan sendiri suatu gejala di samping menyadari/menerimanya.
c) Aspek penilaian, yaitu perilaku yang konsisten, stabil, dan mengandung kesungguhan kata hati dan kontrol secara aktif terhadap perilakunya.
d) Aspek organisasi, yaitu perilaku menginternalisasi, mengorganisasi, dan memantapkan interaksi antara nilai-nilai dan menjadikannya sebagai suatu pendirian yang teguh.
e) Aspek karakteristik diri dengan suatu nilai atau kompleks nilai, yaitu menginternalisasi suatu nilai ke dalam sistem nilai dalam diri individu yang berperilaku konsisten dengan sistem nilai tersebut.
3) Ranah Keterampilan
Sasaran evaluasi keterampilan meliputi:
a) Aspek keterampilan kognitif. Evaluasi dilakukan dengan metode-metode objektif tertutup.
b) Aspek keterampilan psikomotorik dengan tes tindakan terdapat pelaksanaan tugas yang nyata atau yang disimulasikan, dan berdasarkan kriteria ketepatan, kecepatan, dan kualitas penerapan secara objektif.
c) Aspek keterampilan reaktif yang dilaksanakan secara langsung dengan pengamatan objektif terhadap tingkah laku pendekatan atau penghindaran; secara tidak langsung dengan kuesioner sikap.
d) Aspek keterampilan interaktif, secara langsung dengan menghitung frekuensi kebiasaan dan cara-cara baik yang dipertunjukkan pada kondisi tertentu.
Prosedur yang dapat ditempuh dalam melakukan evaluasi hasil belajar adalah sebagai berikut:
1) Persiapan
Pada tahap ini guru menyusun kisi-kisi (blue print). Blue print ini dianggap sebagai guide dalam pengembangan pola belajar lebih lanjut, melalui instrumen evaluasi yang direvisi terus sesuai dengan kebutuhan dalam proses belajar mengajar. Melalui cara ini, tes evaluasi dapat berfungsi sebagai bagian integral dalam sistem mengajar dan bersifat langsung. Bentuk item yang disusun dapat berupa pilihan berganda, essay, atau bentuk lainnya.
2) Penyusunan alat ukur
Pada tahap ini, guru menentukan jenis alat ukur yang akan digunakan berdasarkan tujuan dari pengukuran tersebut dan aspek/ranah apa yang hendak diukur. Alat evaluasinya dapat berupa penilaian dengan tes dan penilaian bukan dengan tes. Penilaian dengan tes terdapat tiga macam, yaitu a) educational test, untuk mengukur kemampuan siswa di sekolah atau prestasi belajar; b) mental test atau tes intelegensi seseorang; dan c) aptitude test untuk mengetahui bakat seseorang.
Tes lisan dan tertulis. Bentuk tes ini digunakan untuk mengukur ketercapaian tujuan-tujuan pembelajaran. Keuntungan penggunaan tes lisan (oral tes) menurut Hamalik (1995:166), yaitu sebagai berikut:
b) memberikan pengalaman kepada siswa untuk melakukan ekspresi secara lisan;
c) siswa mendapat manfaat tertentu dengan mendengarkan respon/jawaban dari siswa lainnya;
d) pertanyaan yang dijawab oleh siswa lebih banyak dan lebih luas dibandingkan dengan yang ditulis;
e) kesalahan yang dibuat siswa segera dapat diketahui dan diperbaiki pada saat itu juga;
f) tes tertulis banyak menggunakan penglihatan yang sewaktu membaca dan menulis sesuatu jawaban; dan
g) pengaruh faktor dari luar pada waktu ujian, misalnya sulit menyatakan pendapat secara lisan dapat dihindari.
Dalam konteks pembelajan di persekolahan, unsur-unsur pembelajaran tersebut di atas terumuskan dalam perangkat perencanaan pembelajaran yang terdiri atas Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Prosedur penyusunan kedua perangkat pembelajaran tersebut telah diberikan rambu-rambunya oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
Silabus adalah rencana pembelajaran pada suatu dan/atau kelompok mata pelajaran/tema tertentu yang mencakup standar kompetensi , kompetensi dasar, materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian, penilaian, alokasi waktu, dan sumber belajar. Pengembangan silabus dapat dilakukan oleh para guru secara mandiri atau berkelompok dalam sebuah sekolah/madrasah atau beberapa sekolah, kelompok Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) pada atau Pusat Kegiatan Guru (PKG), dan Dinas Pendikan.
1. Disusun secara mandiri oleh guru apabila guru yang bersangkutan mampu mengenali karakteristik peserta didik, kondisi sekolah/madrasah dan lingkungannya.
2. Apabila guru mata pelajaran karena sesuatu hal belum dapat melaksanakan pengembangan silabus secara mandiri, maka pihak sekolah/madrasah dapat mengusahakan untuk membentuk kelompok guru mata pelajaran untuk mengembangkan silabus yang akan digunakan oleh sekolah/madrasah tersebut.
3. Di SD/MI semua guru kelas, dari kelas I sampai dengan kelas VI, menyusun silabus secara bersama. Di SMP/MTs untuk mata pelajaran IPA dan IPS terpadu disusun secara bersama oleh guru yang terkait.
4. Sekolah/Madrasah yang belum mampu mengembangkan silabus secara mandiri, sebaiknya bergabung dengan sekolah-sekolah/madrasah-madrasah lain melalui forum MGMP/PKG untuk bersama-sama mengembangkan silabus yang akan digunakan oleh sekolah-sekolah/madrasah-madrasah dalam lingkup MGMP/PKG setempat.
5. Dinas Pendidikan/Departemen yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama setempat dapat memfasilitasi penyusunan silabus dengan membentuk sebuah tim yang terdiri dari para guru berpengalaman di bidangnya masing-masing.
Langkah-langkah penyusunan silabus yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Mengkaji Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar
2. Mengidentifikasi Materi Pokok/Pembelajaran
3. Mengembangkan Kegiatan Pembelajaran
4. Merumuskan Indikator Pencapaian Kompetensi
5. Penentuan Jenis Penilaian
6. Menentukan Alokasi Waktu
7. Menentukan Sumber Belajar
Adapun Rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) adalah rencana yang menggambarkan prosedur dan pengorganisasian pembelajaran untuk mencapai satu kompetensi dasar yang ditetapkan dalam Standar Isi dan dijabarkan dalam silabus. Lingkup Rencana Pembelajaran paling luas mencakup 1 (satu) kompetensi dasar yang terdiri atas 1 (satu) indikator atau beberapa indikator untuk 1 (satu) kali pertemuan atau lebih. Komponen RPP minimal terdiri atas Tujuan Pembelajaran, Materi Ajar, Metode pembelajaran, Sumber Belajar dan Penilaian Hasil Belajar .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar