Kamis, 21 Mei 2009

STRATEGI PEMBELAJARAN PU

STRATEGI PEMBELAJARAN

PENDIDIKAN UMUM/NILAI DIPERSEKOLAHAN

Oleh: Prof. DR. H. Sofyan Sauri, M.Pd.

(Ketua Prodi Pendidikan Umum, Sekolah Pascasarjana UPI Bandung)

A. PENDIDIKAN DAN PERSOALANNYA

Berbicara manusia, sesungguhnya berbicara tentang pendidikan, karena dimana ada manusia, disitulah ada pendidikan. Secara etimologi pendidikan berasal dari kata “didik” yang berarti ”pemeliharaan” atau ”latihan”. Dalam Bahasa Inggris, education (pendidikan) berasal dari kata educate (mendidik), artinya memberi peningkatan (to elicit, to give rise to) dan mengembangkan (to evolve, to develop). Dalam pengertian yang sempit, education atau pendidikan berarti perbuatan atau proses perbuatan untuk memperoleh pengetahuan (MC Loeod, dalam Syah, 2004:10).

Pendidikan pada dasarnya sebagai usaha untuk mempertahankan eksistensi kemanusiaannya (memanusiakan manusia). Secara terminologi, pendidikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991:232) ialah proses perubahan sikap dan tata-laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Definisi tersebut merupakan definisi pendidikan dalam arti sempit, sebab hanya dibatasi pada pengajaran dan pelatihan. Artinya, proses pendidikan terjadi dari orang dewasa terhadap orang muda yang belum dewasa.

Adapun pendidikan dalam arti luas tidak hanya mencakup antara hubungan pendidik (guru) dan peserta didik (murid), tetapi mencakup dalam wilayah yang luas, seperti peserta didik dengan dirinya sendiri, lingkungan, kebudayaan dan seluruh komponen yang ikut membelajarkan dirinya. Secara konstitusional, dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa:

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UUSPN No. 20 Tahun 2003).

Berdasarkan Undang-undang tersebut, tersirat bahwa setiap manusia memiliki potensi yang mengandung nilai-nilai kebaikan, dan pendidikan merupakan upaya untuk megaktifakn potensi-potensi tersebut. Dengan demikian, pendidikan merupakan alat untuk melestarikan/memelihara dan mengembangkan nilai-nilai dasar kemanusiaan. Allah SWT melalui firmannya mengingatkan:

”Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik, dan Allah menjadikan Zakaria pemeliharanya (Ali Imran:37).

Pendidikan dalam kontek pembelajaran persekolahan secara kualitatif ditentukan oleh kekuatan visi-misi institusi pendidikan. Sekurang-kurangnya visi pendidikan mencakup kriteria sebagai berikut:

(1) Masa depan yang dinginkan (sekolah, atau masyarakat secara umum).

(2) Masa depan terbaik yang hendak dicapai.

(3) Merefleksikan asumsi-asumsi, nilai-nilai, keyakinan, tujuan pendidikan,

Peran pemerintah dan masayarakat terhadap sekolah, metode

pembelajaran, dan manjemen perubahan.

(4) Bersifat kompetitif dan komparatif.

Sedangkan misi pendidikan setidaknya memiliki kriteria berikut:

  1. Mengeksprasikan tujuan lembaga pendidikan, mudah diingat, dan menjadi pedoman bagi masyarakat.
  2. Disamping itu misi pendidikan harus memperhatikan:

a. Ciri lembaga pendidikan sesuai komunitasnya.

b. Sebagai arahan dan tujuan yang hendak dicapai.

c. Memiliki standar pengambilan kebijakan.

d. Menyusun dan mengarahkan kultur sekolah.

e. Menghasilkan konsistensi aksi.

f. Mengidentifikasi klien.

g. Memotivasi dan menantang (West-Burham, 1992).

B. PARADIGMA PENDIDIKAN

Dewasa ini, salah satu yang mengakibatkan kemunduran pendidikan Indonesia, dikarenakan tidak berpijak pada landasan filosofis atau paradigma yang jelas tentang pendidikan. Bahkan hegmoni paradigma pendidikan bebas nilai (value free education) semakin merajalela, dan berhasil mengkaburkan serta mengkelabui eksistensi kemanusiaan. Sebagai langkah antisipasi, kami tawarkan beberapa alternatif tentang paradigma pendidikan untuk menata pendidikan masa depan yang lebih baik, di antaranya:

a. Paradigma pendidikan pembangunan

Paradigma ini mencakup pada dua paradigma. Pertama paradigma fungsional; pradigma yang muncul akibat dari masyarakat yang tidak memiliki ilmu, tidak memiliki kemampuan dalam merespon modernisasi, sehingga muncul human investment. Kedua, paradigma sosialis; yaitu paradigma yang memiliki peranan dalam pendidikan untuk: (1) Mengembangkan kompetensi (2) meningkatkan produktivitas, (3) meningkatkan kemampuan dalam menempuh kehidupan secara utuh. Hal tersebut dibuktikan dengan lahirnya tesis education for all (Zamroni:2000).

b. Paradigma pendidikan holistik integralistik

Paradigma ini mencoba mengembangkan bahwa:

1. Pendidikan sebagai sarana pengembangan potensi manusia secara utuh.

2. Proses pendidikan dengan paradigma holistik integralistik mencoba mengembangkan: (a) Tujuan pendidikan yang holistik integralistik; (b) materi pendidikan mengandung kesatuan jasmani rohani, guna mengasah kecerdasan intelektual-spiritual, yang diaplikasikan melalui kesatuan materi teoretis-praktis, (c) mengutamakan kepentingan politik anak didik- masyarakat; (d) sistem penilaian (evaluation system) diorientasikan pada: Penguasaan ilmu (kognitif), sikap/rsepon (afektif), dan tingkah laku/ keterampilan (psikomotor).

c. Paradigma humanistik

Paradigma pendidikan humanistik mengakui bahwa:

1. Manusia sebagai cipataan Tuhan dengan berbagai macam fitrahnya.

2. Pada tataran praksisnya, pendidikan memiliki perhatian besar pada:

a. Tujuan pendidikan yang diorientasikan untuk memanusiakan manusia.

b. Materi pendidikan menitik-beratkan pada; filsafat tentang manusia, ilmu agama, ilmu etika, dan estetika.

c. Metode yang digunakan lebih menghargai manusia sesuai yang dengan fitrahnya.

d. Proses pendidikan berusaha mewujudkan suasana yang manusiawi.

e. Penilaian pada peserta didik dimaklumi sebagai mausia yang sedang berkembang, dan kriteria penilaiannya menaruh perhatian besar pada kriteria kemanusiaan.

d. Paradigma idealistik transformatif

Paradigma idealistik transformatif ini memiliki pandangan sebagai berikut:

  1. Memandang manusia sebagai mahluk yang paling mulia, secara vertikal sebagai hamba, dan secara horizontal sebagai wakil tuhan di dunia (khalifah fil ard).
  2. Dalam tataran praksis pendidikan, paradigma idealistik transformatif memiliki misi sebagai berikut:

a. Bahwa tujuan pendidikan yakni membentuk manusia yang memiliki daya guna, menunaikan misi suci, menuju pada kesempurnaan;

b. kurikulumnya mencoba mengembangkan asfek fikir, dzikir, dan ketarmpilan (skill).

c. Metode yang digunakan berusaha mengembangkan ranah kognitif, afektif, dan psikomotor.

d. Standar penilaian mencakup berbagai asfek.

e. Paradigma Mutlikulturalisme

Paradigma ini memperjuangkan dan melestarikan pada:

  1. Kemajemukan horizontal dan vertikal
  2. Pendidikan diorientasikan mencetak anak didik yang toleran dan inklusif, dalam menghadapi pluralisme budaya.
  3. Komponen pendidikan multikulturalisme diorientasikan untuk;

a. Tujuan pendidikan diperuntukkan membentuk manusia atau masyarakat yang berbudaya.

b. Materi yang dikembangkan yaitu mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusiaan, bangsa, dan kelompok etnis.

c. Metode yang digunakan bersifat demokratis, menghargai keragaman dan perbedaan.

d. Penilaian diarahkan pada tingkah laku dalam mempersepsi, mengapresiasi terutama terhadap budaya lain.

C. GLOBALISASI DAN PENDIDIKAN

Hegemoni peradaban Barat yang didominasi oleh pandangan hidup saintifik (scientific world view) selain mengakibatkan dampak positif (dibidang sain dan teknologi), juga mengakibatkan dampak negatif terhadap manusia. Dampak negatif tersebut menjalar juga terhadap bidang ilmiah dengan hebat, khususnya dalam bidang epistemologi. Hal itu berawal dari para pemikir raksasa yang mencoba mengubah peradaban manusia. Salah satunya, Rene Descartes (1650 M) sebagai icon Barat, yang menyandang gelar “bapak filsafat modern” dengan prinsip “Aku berfikir, maka Aku ada” (cogito ergo sum), berhasil menggiring peradaban manusia sebagai ‘pemuja’ rasio.

Pendidikan era modern yang lebih menitik-beratkan pada pendidikan bebas nilai (value free) telah memporakporandakan nilai-nilai luhur kemanusiaan. Perubahan masyarakat akibat perkembangan IPTEK membawa dampak yang besar pada budaya, nilai dan agama (Susanto, 1998:109). Derasnya gelombang globalisasi mengakibatkan terjadinya pergeseran nilai dan terjadinya degradasi moral pada peserta didik. Keluarga dan sekolah akhir-akhir ini kebanyakan tidak dapat berperan sepenuhnya dalam pembinaan moral, sehingga pembinaan moral saat ini (di lembaga formal non-formal, dan in-formal) merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Pada tataran praksisnya, pembinaan moral peserta didik harus memiliki rujukan yang jelas, teruji, dan bisa dipertanggung jawabkan. Rujuakan moral tersebut tidak cukup berdasarkan pada nilai-nilai moral kemasyarakatan (nilai-nilai insaniyah), tetapi harus memperhatikan pula nilai-nilai dunia metafisika, atau nilai-nilai transendetal, yang dalam istilah Imanuel Kant dikenal dengan istilah “ilusi transenden” (a transcendental illution). Nilai-nilai transendental tersebut dalam konteks agama kita, yakni sumber ajaran Islam berupa nilai-nilai ilahiyah.

Strategi pembinaan moral bagi para pendidik (guru) di persekolahan dapat dilakukan dengan langkah-langkah berikut:

1. Penataan fisik sekolah dan kelas yang kondusif untuk keberlangsungan belajar-mengajar.

2. Adanya pembinaan keagamaan bagi guru/pendidik yang terpola dan terprogram, ada pelatihan bagi guru tentang metoda memasukan nilai melalui bidang studi.

3. Penataan dan peningkatan kualitas kegiatan ekstra kurikuler keagamaan di sekolah

4. Meningkatkan rasa tanggungjawab, disiplin, kebersamaan, persatuan dan kerjasama dalam menjalankan aktivitas persekolahan, serta menjalin hubungan harmonis dengan sekolah atau lembaga lain.

5. Guru tampil sebagai sosok yang cerdas secara Intelektual (IQ), Emosional (EQ) dan Spriritual (SQ)

6. Di antara guru lahirnya kebiasaan untuk berdiskusi, peningkatan wawasan (insight), informasi tentang ilmu umum dan agama di lingkungan tempat guru bekerja

7. Istiqomah untuk beramal saleh, dan memberikan keteladanan kepada para siswa.

8. Mebudayakan ucapan salam di lingkungan sekolah, dan lantunan ayat-ayat Al-Quran melalui radio atau pengeras suara sebelum pelajaran dimuali.

9. Adanya program BP/BK yang berbasis nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan.

Perpaduan dua rujukan moral antara nilai-nilai insaniyah (berwujud ilmu) dengan nilai-nilai ilahiyah (berwujud agama), akan menghasilkan kekuatan besar (high explosive) dalam membangun kualitas pembinaan moral manusia. Kedua rujukan tersebut memiliki perbandingan sebagai berikut:

Fungsi dan peran agama (perbandingan dengan ilmu)

ILMU

AGAMA

1. Mempercepat anda sampai ke tujuan

2. Menyesuaikan manusia dengan lingkungannya

3. Hiasan lahir

4. Memberikan kekuatan dan menerangi jalan

5. Menjawab pertanyaan yang dimulai dengan bagaimana

6. Tidak jarang mengeruhkan pikiran pemiliknya

1. Menentukan arah yang dituju

2. Menyesuaikan dengan jati dirinya

3. Hiasan batin

4. Memberi harapan dan dorongan bagi Jiwa

5. Menjawab pertanyaan yang dimulai dengan mengapa

6. Selalu menenangkan jiwa pemiliknya yang tulus.

D. PENDIDIKAN NILAI

Dalam Encyclopedia Britannica dikatakan bahwa: value is determination or quality of an object which involves any sort or appreciation or interest. Artinya: “Nilai adalah suatu penetapan, atau suatu kualitas objek yang menyangkut segala jenis apresiasi atau minat” (Muhaimin, 1993:190). Mulyana (2004:11) mendefinisikan nilai adalah keyakinan dalam menentukan pilihan.

Nilai paling dasariyah adalah nilai yang membuat kita hidup, dan itu disebut nilai kehidupan (living values). Nilai ini terdapat pada setiap mahluk hidup. Dalam filsafat aksiologi, nilai memiliki dua aliran utama; pertama objektivisme, kedua subjektivisme. Aliran objektivisme memandang bahwa nilai ada dengan sendirinya, tanpa manusia menilainya sekalipun. Niali ada dan melekat pada benda, atau materi. Sedangkan aliran subjektivisme memandang bahwa nilai ada karena manusia menilainya.

Phenix (1964:45) memandang bahwa pendidikan nilai adalah suatu program pendidikan yang diselenggarakan secara sistematis dan programatis untuk membina makna-makna esensial pada diri manusia. Sehingga, manusia (anak didik) dapat menghayati esensi dari suatu materi yang diterimanya, bukan hanya sebatas menangkap informasi.

Definisi di atas memiliki kesamaan dengan konsep pendidikan umum. Alberty and Alberty (1965:205) memahami bahwa pendidikan umum lebih menekankan kepada persoalan nilai, sikap, pemahaman, dan keterampilan yang perlu dimiliki oleh setiap warga negara yang menjunjung demokrasi.

E. STRATEGI TRANSFORMASI NILAI DALAM PEMBELAJARAN

Strategi secara etimologi berasal dari ‘strategic’ berarti strategis, rencana dan ‘strategy’ berarti ilmu siasat, siasat akal (Echol & Shadily, 1990:560). Pembelajaran pada dasarnya adalah proses rangkaian pembinaan dari orang dewasa terhadap orang yang belum dewasa untuk memperoleh perubahan secara simultan terhadap manusia. Pembelajaran menuntut adanya perubahan yang mencakup asfek kognitif (berupa pemikiran, persepsi), afektif (sikap dan respon) dan psikomotor (tindakan dan keterampilan).

Strategi pendidikan nilai lebih menitik-beratkan pada cara pengembangan dunia afektif, atau mengaktifkan sifat-sifat luhur kemanusiaan pada setiap jiwa, tanpa mengesampingkan ranah kognitif. Sifat-sifat luhur tersebut di antaranya; pengorbanan, cinta, kasih-sayang, persatuan, kerjasama, kesetiaan, dan sebagainya. Dunia afektif tidak akan berhasil tertanam pada siswa jika hanya sebatas diajarkan dalam kontek transfer of knowledge, tanpa adanya penghayatan, perenungan (quite) serta yang lebih penting melakoninya. Hal tersebut dilakukan untuk menyingkap sifat-sifat Tuhan yang tertanam pada manusia. Pepatah mengatakan; take time to qiute, it is opportunity to seek God (ambilah waktu untuk merenung, karena hal itu kesempatan untuk melihat Tuhan); artinya kesempatan untuk mengenal sifat-sifat Tuhan yang ada pada manusia..

Terpuruknya pendidikan Indonesia, salahsatunya dikarenakan pendidikan Indonesia kering akan pendidikan sarat nilai (value laden). Pengaruh filsafat positivisme yang berujung pada “pemujaan rasio” memberikan efek samping (side effect) negatif terhadap out put pendidikan tanah air. Kondisi tersebut melahirkan anak didik yang cerdas secara intelektual, tetapi buta secara emosional dan spiritual. Saat ini semaraknya perilaku-perilaku a-moral dan tidak manusiawi melengkapi dan menjadi bukti rentetan kegagalan pendidikan Indonesia. Hal itu terlihat dari beberapa fenomena di antaranya; anak membunuh orang tuanya, orang tua membunuh anaknya, terjadinya bunuh diri, kejahatan seksual, perampokan, korupsi, kerusakan lingkungan, dan sebagainya. Sebagai contoh, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Childre’s Defense Fund terhadap remaja Amerika (Lawrance E. Saphiro: 1997) bahwa setiap harinya:

Ø Tiga remaja dibawah 25 tahun meninggal akibat HIV, dan 25 remaja mulai terinveksi.

Ø Enam anak melakukan bunuh diri.

Ø 342 anak dibawah umur 18 tahun ditangkap karena tindak kekerasan.

Ø 1.407 bayi dilahirkan oleh ibu berusia belasan tahun.

Ø 2.833 anak putus sekolah.

Ø 6.042 anak ditahan.

Ø 135.000 anak ketahuan membawa senjata api.

Strategi pengalihan nilai (transfer of values) dari pendidik kepada peserta didik bisa melalui beberapa cara, antara lain:

  1. Pendidik berusaha mengaktifkan ranah afektif peserta didik, karena setiap anak yang lahir kedunia membawa sifat-sifat positif (Tuhan). Setelah ranah afektif peserta didik aktif, pendidik baru menyampaikan ajaran-ajaran moral, dalam konidisi ini peserta didik siap mencerna materi dan akan berbekas pada jiwanya.
  2. Membina perlilaku positif siswa yang dilakukan secara berulang-ulang. Perilaku yang diualang-ulang (repetition), makin lama makin tertanam secara dalam, menjadi kebiasaan, menjadi sifat/karakter dan akhirnya menjadi bagian dari kepribadian. Agustian (Pikiran rakyat, 17/4/2008) mengatakan sesuatu yang terus-menrus diulang-ulang akan menghasilkan perubahan karakter yang luar biasa. Hal ini seperti yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan di Jepang, dengan budaya Taisho dan membacakan nilai-nilai perusahaan setiap apel pagi. Metode seperti ini juga diterapkan di lingkungan TNI lewat Sumpah Prajurit atau Sapta Marga.
  3. Transformasi dan penanaman nilai disampaikan kepada peserta didik secara pasti, kontinyu, pelan-pelan, sedikit demi sedikit, dalam nuansa kebersamaan dan kekeluargaan. Daisaku Ikeda (Prsedien Ikeda Jepang) pernah bertutur ”mulailah dari sesuatu yang sederhana, mudah dipahamami, dan membumi”; ”Event just a little, because everything determinant by that”. Transformasi nilai tersebut akan membentuk sifat, kebiasaan dan kepribadian.

F. Strategi Praktis Membangun Budaya Sekolah Berbasis Nilai

Ada tiga langkah strategis untuk mewujudkan budaya sekolah berbasis nilai, antara lain;

a. Adanya kesadaran bersama akan pentingnya nilai (kesadarn bersama itu mencakup semua pihak; kepala sekolah, guru, karyawan, peserta didik, orang tua, dan masyarakat sekitar).

b. Adanya komitmen, penghayatan, dan aktualisasi nilai yang dilakukan secara bersama-sama di lingkungan sekolah.

c. Memiliki sistem evaluasi yang dapat diandalkan (bisa berupa mingguan, bulanan, dan tahunan) untuk meningkatkan kualitas budaya sekolah berbasis nilai. Di samping itu, evaluasi juga sebagai sarana untuk melahirkan ide-ide inovatif dengan menggali teknik baru yang sesuai dengan situasi dan kondisi sekolah.

Adapun langkah-langkah membangun sekolah yang kondusif sebagai berikut;

  1. Memahami kondisi permasalahan masyarakat, mengetahui penyebabnya, dan menciptakan solusi untuk membangun budaya sekolah.
  2. Untuk membangun sekolah diperlukan: (1)Adanya pembekalan untuk meningkatkan kualitas guru, adanya kesamaan visi misi dalam merealisasikan pendidikan. (2) Pada tataran praksisnya, harus ada komitmen bersama yang terumuskan secara jelas, sederhana dan operasional. Di samping itu bentuk komitmen juga bisa dievaluasi untuk melahirkan komitmen baru yang lebih sesuai dengan lingkungan sekolah.
  3. Memiliki orientasi khusus, yakni: Terbentuknya budaya sekolah berbasis nilai, setiap orang yang ada dilingkungan sekolah mampu meresapi dan menghayati nilai-nilai kehidupan, terciptanya pola kehidupan di lingkungan sekolah yang berkualitas.
  4. Adanya tindak lanjut sebagai langkah untuk: (1) Menciptakan pembaharuan dan peneguhan, (2) menjaring keterlibatan orang tua dan masyarakat, agar orang yang berada diluar sekolah sekalipun ada rasa memiliki (sense of belonging), (3) terbentuknya bimbingan yang berkelanjutan, (4) terjalin kominukasi yang positif, (5) terbentuknya up date soft skill dan keterampilan hidup.

Tidak ada komentar: