Kamis, 21 Mei 2009

KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN BERBASIS NILAI

KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN BERBASIS NILAI:
MEMBANGUN KEMBALI KOMITMEN, KINERJA DAN PRODUKTIVITAS PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN

Oleh: Dr. H. Sofyan Sauri. M.Pd.

A. Pendahuluan
Persoalan utama yang dihadapi oleh dunia pendidikan sekarang ini adalah menurunnya moralitas peserta didik sebagai dampak langsung dari pergeseran nilai yang memudarkan budaya malu masyarakat. Pelanggaran moral di lingkungan remaja menjadi bagian dari berita sehari-hari, seperti perkelahian antar pelajar, minuman keras dan narkotika, hingga pergaulan bebas.
Keluarga yang seyogyanya menjadi persemaian yang subur bagi pembinaan moral anak tidak lagi dapat berperan sepenuhnya, akibat perubahan orientasi orang tua yang lebih mengarah kepada pemenuhan kebutuhan material sehingga mengabaikan komunikasi dalam keluarga. Karena itu, sekolah menjadi alternatif yang dapat menawarkan pembinaan moral yang diprogram secara sengaja dan sistematis. Pembinaan nilai moral dalam kondisi sekarang menjadi sangat penting peranannya, bahkan rujukan moral yang dikembangkan tidak cukup berdasarkan kepada nilai moral masyarakat, apalagi pada masyarakat yang sedang mencari bentuk seperti di Indonesia. Karena itu, pembinaan moral yang merujuk kepada nilai-nilai agama menjadi kebutuhan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Guru sebagai salah satu komponen penting dalam pembinaan nilai agama siswa.
Dalam UUSPN Bab I pasal 1 disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Dalam ayat berikutnya dijelaskan bahwa pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
Arahan pendidikan tersebut diwujudkan dalam tiga cakupan pendidikan, yaitu manajemen pendidikan, kurikulum, dan bimbingan dan konseling. Manajemen pendidikan berkenaan dengan pengelolaan sumber-sumber daya pendidikan. Kurikulum mencakup tujuan, materi, metode/pendekatan, dan evaluasi. Sedangkan bimbingan dan konseling meliputi bimbingan perkembangan pribadi, sosial, akademik dan karir.
Namun demikian berbagai tantangan bermunculan seiring dengan merebaknya penggunaan teknologi informasi. Sementara di satu sisi, lembaga-lembaga pendidikan mendidik para peserta didiknya dengan materi-materi penuh dengan nilai. Di sisi lain manakala mereka berada di rumah mereka dijejali dengan muatan-muatan yang berseberangan dengan nilai-nilai yang selama ini mereka pelajari. Tayangan TV selama 24 jam mengunjungi putra-putri kita dengan tayangan sadisme, hedonisme, irasional, klenik, gosip, serta adegan seksual yang vulgar. Para peserta didik tersebut menjadi bimbang karena apa yang mereka pelajari itu berlainan dengan apa yang mereka saksikan, sehingga perbedaan yang benar dan salah, baik dan buruk, batasannya menjadi kabur.
Salah satu problem yang dihadapi di persekolahan dewasa ini adalah adanya kecenderungan menurunnya moral pada sebagian besar siswa, Berbagai temuan dari hasil penelitian membuat kita merasa prihatin, seperti merebaknya budaya free sex di kalangan siswa, merokok, narkoba, dan perkelahian antar pelajar. Fenomena ini mendorong kita mempertanyakan pendidikan kita, khususnya pendidikan tidak sepenuhnya berbasis nilai. Bagaimana sebenarnya pelaksanaan pendidikan berbasis nilai di sekolah. Bagaimana kualitas guru serta sistem yang berlaku di sekolah tersebut.
Kondisi kurangnya nilai dan norma ini dinamakan anomie. Istilah anomie memiliki tiga pengertian, yaitu: 1) kurang memiliki maksud/tujuan, identitas atau nilai pada diri seseorang atau dalam masyarakat; 2) ketiadaan norma - kondisi masyarakat yang dicirikan dengan kehancuran norma yang menentukan perilaku orang dan menegaskan tatanan sosial; 3) kegelisahan keterasingan, dan ketidakpastian pribadi yang berasal dari kurangnya tujuan dan cita-cita. Anomie meninggalkan perasaan terisolasi, kecewa, dan terpecah-pecah dalam diri individu. Pada organisasi/masyarakat, anomie membuatnya tidak berfungsi, terpecah, dan kacau. Secara spesifik pada organisasi, anomie menyebabkan rendahnya daya juang karyawan/anggota organisasi, kurangnya loyalitas, dukungan anggota/karyawan yang tidak memadai, kurangnya keingingan/dorongan profesional, kepemimpinan yang lemah, pembagian kerja yang tidak bermakna, spesialisasi buruh, dan tidak ada rasa memiliki. Pada masyarakat secara lebih rinci, anomie menyebabkan peningkatan kejahatan dan pelecehan terhadap anak, ketergantungan obat yang menguat, pengkikisan/ perusakan sistem pendidikan, perpencaran nilai-nilai keluarga, bi-modalitas ekonomi, kurangnya pluralisme, kemunculan revolusi keberagaman, pengurangan kerahasiaan pribadi yang disebabkan oleh Informasi, peningkatan kuantitas menonton TV, kurangnya kualitas waktu untuk hubungan personal.
Untuk melawan anomie ini, kita memerlukan pimpinan-pimpinan yang mengadopsi norma-norma untuk mengaktifkan dan membawa sebuah pola pikir berbasis nilai. Norma-norma yang dimaksud mencakup: 1) pluralisasi tempat kerja; 2) fungsi pembelaan terhadap karyawan/anggota organisasi; 3) peran guru Sokratis (suka mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk menghasilkan pemahaman); 4) menjembatani orang untuk menuju suatu misi; 5) membangkitkan minat-minat profesional.

B. NILAI, NORMA DAN KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN
Kupperman (1983) menyatakan bahwa nilai adalah patokan normatif yang mempengaruhi manusia dalam menentukan pilihannya di antara cara-cara tindakan alternatif. Sementara Kuczmarski&Kuczmarski (1995) mengartikan nilai sebagai tujuan, keyakinan, cita-cita, dan maksud-maksud bersama dari kelompok. Dalam lingkup yang lebih luas nilai dapat merujuk pada sekumpulan kebaikan yang disepakati bersama. Nilai berasal dari empat faktor, yaitu: 1) pengalaman keluarga dan masa kanak-kanak; 2) peristiwa-peristiwa konflik yang menumbuhkan pencarian diri; 3) perubahan kehidupan utama dan pembelajaran eksperiental; dan 4) hubungan personal dengan para individu yang penting (significant others).
Agar sebuah kelompok memelihara seperangkat nilai, kelompok tersebut harus membangun norma-norma yang membentuk dan mempengaruhi perilaku, sikap, dan aktivitas para anggotanya. Sehingga jika individu, organisasi, atau masyarakat kurang memiliki landasan nilai dan norma dalam kehidupannya, maka individu, organisasi, atau pun masyarakat tidak memiliki landasan berpijak dalam melakukan segala aktivitasnya dan tidak ada hal yang membuat perilaku, sikap, dan aktivitasnya memiliki arahan yang jelas. Pada gilirannya akan timbul berbagai permasalahan yang menyulitkan individu, organisasi atau pun masyarakat itu sendiri. Dengan kata lain, norma muncul ketika kebaikan yang disepakati bersama menjadi aturan atau menjadi kaidah yang dipakai sebagai tolak ukur dalam menilai sesuatu.
Duignan dan kawan-kawan (22: 1987) memberikan definisi kepemimpinan pendidikan sebagai berikut :
“ pendidikan sebagai satu kemampuan dan proses mempengaruhi, membimbing, mengkoordinir, dan menggerakan orang-orang lain yang ada hubungan dengan pengembangan ilmu pendidikan dan pelaksanaan pendidikan dan pengajaran, agar supaya kegiatan-kegiatan yang dijalankan dapat lebih efisien dan efektif didalam pencapaian tujuan-tujuan pendidikan dan pengajaran.
Pada intinya definisi kepemimpinan pendidikan itu adalah kemampuan menggunakan sumber-sumber daya dalam melaksanakan kegiatan pendidikan menuju pencapaian tujuan-tujuan pendidikan.

C. LANDASAN KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN BERBASIS NILAI
Nilai tidak lahir dengan cepat, melainkan memerlukan waktu untuk mengidentifikasi dan menanamkan keyakinan-keyakinan. Lebih jauh lagi, nilai-nilai pribadi berubah sepanjang waktu. Nilai-nilai tersebut berkembang, berubah dan secara tetap beralih menuju sebuah kumpulan menjaga nilai-nilai yang telah mapan sebelumnya dan menambahkan nilai-nilai baru. Sebelum sebuah organisasi dapat berkembang dan mengartikulasikan norma dan nilai dari para anggota kelompoknya, individu-individu harus berpikir dan menghabiskan waktu yang cukup untuk menentukan nilai-nilai personal mereka.
Kita semua kebanyakan menghabiskan banyak waktu kita pada aktivitas-aktivitas yang merampok bukannya memperkaya kehidupan kita. Kita kurang memiliki waktu untuk penyegaran. Di luar peningkatan keseimbangan antara kerja dan bermain, kita perlu memiliki lebih banyak waktu untuk memfokuskan pada nilai, norma, dan pengembangan diri.
Berikut ini sepuluh ajuan untuk peningkatan kesehatan nilai dan norma:
1. Mengangkat pola pikir keseluruhan yang mengakui nilai, kekuatan, dan sumbangsih masing-masing individu.
2. Mengembangkan dan menyebarluaskan sebuah pernyataan tertulis tentang nilai-nilai organisasi yang dapat dilihat dan diyakini oleh para karyawan.
3. Mengaktifkan ganjaran dan pengakuan bahwa penguatan, dukungan, dan dorongan nilai-nilai yang disebutkan tersebut.
4. Menumbuhkan para pemimpin yang dapat dipercaya yang memberikan contoh dengan secara teratur memperlihatkan nilai-nilai perusahaan melalui tindakan-tindakan yang nyata.
5. Menetapkan norma-nirma yang mendorong diskusi terbuka dan ekspresi perasaan, ketakutan, keingingan, dan kebutuhan.
6. Mengembangkan norma-norma yang menyokong kepemimpinan yang mendorong dan memperkuat loyalitas dan dedikasi para karyawan.
7. Menentukan dan mengintegrasikan sebuah norma yang membawa nilai-nilai perusahaan/organisasi dan para karyawan melalui produk dan jasa perusahaan/organisasi pada para pelanggan.
8. Membuat dan mengaktifkan pemerolehan kebijakan dan norma yang menyokong pluralisme dan pembayaran para karyawan yang nilai-nilainya cocok sekali dengan nilai-nilai organisasinya.
9. Membentuk kepemimpinan bersama dan kultur nilai bersama yang dimunculkan dari bawah ke atas (bottom-up), didukung oleh semua orang, dan tercakup dalam norma-norma yang diterima kelompok. Menciptakan sebuah rencana tindakan untuk mengubah setiap pemimpin menjadi ”juru bicara nilai” untuk organisasi.
10. Memeliharan norma-norma yang memperkuat rasa satu tim, keberagaman, pengambilan resiko, inovasi, integritas, kontrol individual, dan kepuasan pelanggan/klien.

Norma dan nilai secara kolektif menyusun bagian yang besar dari budaya sebuah organisasi. Penyebaran norma dan nilai secara langsung diterjemahkan ke dalam kekuatan atau kelemahan dari suatu organisasi dan para karyawannya. Pada gilirannya hal ini akan menentukan seberapa besar komitmen dan seberapa produktif karyawan itu pada tujuan dan strategi organisasi. Jika sebuah organisasi memiliki sistem nilai dan norma yang kohesif dan jelas, maka organisasi itu akan memiliki balok-balok bangunan dasar untuk menciptakan sebuah kultur yang kuat dan organisasi yang berdaya.
Balok-balok bangunan dari sebuah organisasi berbasiskan nilai meliputi:
1. Nilai individu;
2. Norma individu;
3. Kepemimpinan berbasiskan nilai;
4. Keterpaduan para individu;
5. Pembelajaran regeneratif kultural secara terus-menerus;
6. Produk dan jasa yang didorong nilai;
7. Proses adopsi nilai;
8. Rencana aksi norma;
9. Janji/ikrar organisasi dan orang-orangnya;
10. Pemasaran nilai pada para pelanggan.
Adapun fondasi untuk sebuah organisasi nonanomik yang berbasiskan nilai mencakup hal-hal berikut ini:
1. Mengembangkan kesetiaan pada norma dan nilai yang mengakui keuntungan dan kekuatan unik dari masing-masing individu.
2. Mendorong pembagian kepemimpinan di seluruh bidang organisasi.
3. Menanamkan sebuah budaya yang memelihara kesetiaan dan komitmen karyawan, dan ”menjaga” serta memberikan keberlanjutan pada para karyawan.
4. Penggunaan norma dan nilai sebagai ”struktur” untuk memegang organisasi bersama-sama.

D. STRATEGI PENERAPAN KEPEMIMPINAN BERBASIS NILAI
1. Mengaktifkan Proses Pribadi yang Tinggi
Kesulitan dalam membangun seperangkan nilai bersama dan norma-norma yang sepadan di dalam sebuah organisasi pendidikan adalah memastikan bahwa semua anggota organisasi benar-benar merasa seakan-akan mereka telah menjadi para peserta aktif dan para kontributor dalam membentuk nilai-nilai tersebut. Untuk itu perlu ada sebuah pendekatan yang memberikan sebuah kesempatan multi segi bagi para anggota untuk berpartisipasi.
Terdapat dua proses untuk mengembangkan nilai bersama dan norma yang diharapkan untuk organisasi apapun termasuk pendidikan. Kedua proses tersebut bekerja beriringan satu sama lain karena tujuan dan maksud kunci dari norma-norma tersebut adalah memperkuat dan menyokong nilai-nilai inti yang disepakati. Proses yang pertama adalah Values Adoption Proces (VAP) ’Proses Adopsi Nilai’, menggambarkan sebuah metodologi yang memberikan sebuah cetak biru untuk membantu membimbing sebuah organisasi melalui serangkaian langkah, latihan, dan diskusi untuk mengembangkan seperangkat nilai bersama. Proses keduanya adalah Norms Action Plan (NAP) ’Rencana Tindakan Norma’ adalah sebuah proses langkah bijak untuk mengembangkan seperangkat pedoman perilaku dan komunikasi yang memperkuat nilai-nilai yang diidentifikasi.
Untuk dapat melakukan kedua macam proses tersebut perlu dibentuk kelompok kerja yang terdiri dari para pengelola pendidikan (1-2 orang per kelompok) dan para pendidik/karyawan (6 - 8 orang).

2. Peluncuran Proses Adopsi Nilai (VAP)
Terdapat empat tahapan peluncuran proses adopsi nilai, yaitu: Pertama Tahapan pengembangan nilai individual. Tahapan ini mencakup tiga langkah, yakni: 1) menginformasikan organisasi dan membuat daftar nilai dan keyakinan personal. 2) Memprioritaskan lima nilai yang paling tinggi yang diharapkan di tempat kerja. 3) Menerbitkan sebuah daftar nilai karyawan yang dipilah-pilah dengan bidang-bidang kategori.
Kedua Tahapan pengembangan nilai-nilai kelompok Kecil yang mencakup langkah-langkah: 4) Menelaah nilai individual dan mengurutkan kategori-kategori kelompok yang tertinggi; 5) Mengembangkan seperangkat nilai kelompok; 6) Mendesain cara-cara spesifik untuk mengaktifkan dan memperkuat nilai
Ketiga Tahapan perumusan ikrar nilai anggota organisasi dan ikrar nilai organisasi yang meliputi langkah 7) Mengembangkan sebuah ikrar nilai orang-orang; 8) Memunculkan ikrar nilai organisasi; 9) Mengembangkan dan menghasilkan ”pengingat” nilai; 10) Mengumpulkan umpan balik dari para karyawan
Keempat Tahapan pengembangan nilai pelanggan, yaitu: 11) mengidentifikasi nilai yang ingin disampaikan ke pelanggan; 12) menentukan nilai-nilai untuk digunakan dalam pengembangan produk yang baru

3. Pengembangan Rencana Tindakan Norma (NAP)
Terdapat tiga tahapan untuk pengembangan rencana tindakan norma (NAP), yakni: Pertama identifikasi norma. Tahapan ini mencakup lima langkah, yakni:1) membuat daftar norma-norma yang diharapkan saat ini; 2) menggambarkan norma-norma saat ini yang tidak mendukung; 3) mendefinisikan norma-norma baru untuk diciptakan; 4) menentukan norma-norma yang tidak berterima; 5) mengembangkan norma-norma kelompok kecil.
Kedua Tahapan perumusan ganjaran (reward). Tahapan ini mencakup langkah yang keenam, yakni: mengidentifikasi dan membentuk ganjaran berbasis organisasi untuk memperkuat norma-norma yang diharapkan.
Ketiga Tahapan memasukan norma ke dalam organisasi. Langkah di dalam tahapan ini adalah mengidentifikasi sistem infrastruktur dan praktik serta menjajarkannya dengan norma-norma (langkah 7).

4. Menetapkan Norma untuk Membuat Kelompok Kerja Berjalan
Sebuah organisasi berbasis nilai harus didirikan di atas norma dan nilai kelompok yang berasal dari norma dan nilai individual dan merupakan refleksi dari keduanya. Menetapkan norma-norma yang memberikan motivasi dan kepuasan pada para anggota adalah satu cara untuk menggerakan kekuatan dan potensi sebuah kelompok, meningkatkan kepuasan kerja karyawan, dan melawan anomie.
Terdapat lima norma kelompok yang memungkinkan individu untuk tumbuh dan berkembang, yaitu:
a. Mendorong pemikiran intuitif
b. Menumbuhkan sebuah komunitas yang peduli
c. Memberikan pengakuan
d. Mengembangkan hadiah orang itu sendiri
e. Menciptakan komunitas belajar

5. Memadukan Individu ke dalam Organisasi
Karakteristik kultural dari sebuah organisasi itu dibangun dari norma-norma bersama di antara para karyawan. Norma-norma dan nilai ini berfungsi sebagai pedoman perilaku dan aktivitas mereka baik secara individual maupun kelompok. Terdapat enam tipe norma integratif/padu, yaitu:
a. mendefinisikan rangkaian dan jenis dari topik-topik percakapan yang berterima.
b. Memungkinkan para individu untuk memperlihatkan identitas mereka sendiri.
c. Mendefinisikan secara jelas fungsi pekerjaan dari para anggota kelompok masing-masing.
d. Mengembangkan solidaritas kelompok
e. Menghabiskan waktu pembentukan tim yang berkualitas
f. Memeliharan hubungan-hubungan yang kuat dengan kepemimpinan

6. Menciptakan Pola Pikir Kepemimpinan Berbasis Nilai
Prinsip pokok untuk mengembangkan sebuah pola pikir berbasiskan nilai adalah pembangunan hubungan. Para pimpinan harus secara efektif berhubungan dengan orang lain di dalam organisasi tersebut, menetapkan contoh berbasis nilai melalui kata dan tindakan, dan mencapai kesuksesan dalam membangun hubungan-hubungan bermakna keseluruh organisasi. Terdapat sepuluh inisiatif kunci yang dilakukan oleh para pemimpin berbasis nilai, yaitu:
a. membangun hubungan-hubungan pribadi
b. mengetahui tujuan-tujuan pribadi dari masing-masing anggota kelompok
c. merasakan perasaan masing-masing anggota kelompok
d. memungkinkan/membolehkan adanya konflik kelompok
e. mengelola pembelajaran
f. membagi tanggung jawab
g. menggunakan kerja tim
h. berkomunikasi dua arah
i. menghubungkan kultur internal dengan kinerja eksternal
j. memperlihatkan keinginan dan mendukung keberagaman

7. Berjalan dari Dalam ke Luar
Kepemimpinan hendaklah dipandang sebagai sekumpulan perilaku dan keterampilan yang diperlukan sebuah kelompok untuk bertahan hidup dan mencapai tujuan-tujuannya. Keterampilan-keterampilan kepemimpinan dapat dikembangkan oleh anggota kelompok, terlepas dari posisinya secara formal di dalam kelompok tersebut.
Para pimpinan yang memimpin dari dalam keluar mendorong para karyawannya untuk mengembangkan dan memaksimalkan potensi batin mereka. Memimpin dari dalam keluar berarti:
a. menyentuh perasaan individu dan kelompok
b. membantu para karyawan mengalami dan mencapai kesuksesan personal
c. menggunakan pujian deskriptif untuk memotivasi dan mempermudah pertumbuhan personal
d. Memfasilitasi pembelajaran, komunikasi terbuka, dan kepekaan diri

8. Menghidupkan Keterampilan Kepemimpinan Baru
Konsep kepemimpinan belajar adalah konsep yang secara sempurna menangkap mood dalam organisasi, dan konsep kepemimpinan ini yang akan menangkap minat para karyawan. Terdapat empat norma kepemimpinan baru yang penting untuk menciptakan sebuah tempat kerja yang penuh nilai, yaitu: 1) membuat keputusan-keputusan yang lebih cepat dan lebih menggunakan hati; 2) menyimak secara aktif; 3) menggunakan pengetahuan kolektif kelompok; 4) melibatkan kelompok dalam pembangunan konsensus dan pengambilan kepemilikan.
Terdapat enam bidang yang membentuk kepemimpinan, yaitu:
a. Seorang pemimpin harus berkomunikasi, baik secara emosional maupun profesional dengan para anggota kelompok.
b. Seorang pemimpin harus mengambil tanggung jawab untuk tugas-tugas yang dipilih.
c. Seorang pemimpin mengetahui bagaimana memelihara dan menerima kritikan.
d. Seorang pemimpin tahu bagaimana mengajar orang lain.
e. Seorang pemimpin mengetahui bagaimana membagi kepemimpinan
f. Seorang pemimpin mengetahui dan menggunakan sumber-sumber daya kelompoknya.

9. Membangun Kultur yang Penuh Nilai
Sebuah kultur penuh nilai menciptakan rasa memiliki di antara para anggota kelompok. Kultur ini memberi mereka sebuah identitas. Kultur ini juga menghimpun mereka bersama-sama dan memungkinkan mereka melakukan sesuatu yang jauh dari yang dapat mereka lakukan sebagai individu. Terdapat dua karakteristik nilai yang sangat penting untuk diperhatikan. Pertama, nilai mempengaruhi keputusan yang kita buat dan mempengaruhi arah tindakan yang kita ambil. Kedua, memelihara nilai-nilai kita memerlukan baik itu komitmen maupun pengambilan resiko.
Tempat kerja harus memelihara nilai kesetaraan. Masing-masing orang itu penting dan memiliki signifikansi yang setara di dalam organisasi. Tempat kerja hendaklah dipandang sebagai sebuah komunitas demokratis. Selain itu organisasi juga harus memberikan baik itu partisipasi dalam pengambilan keputusan maupun partisipasi dalam profit.

D. KESIMPULAN
Kepemimpinan pendidikan berbasis nilai adalah hal yang mengikat norma dan nilai di dalam sebuah organisasi pendidikan. Kepemimpinan ini melawan kekurangan nilai dan norma (anomie) yang membuat organisasi pendidikan menjadi tidak efektif dan efisien, tidak kompetitif, dan tidak memberi banyak kontribusi yang bermanfaat bagi warganya. VAP (Value Adoption Process) dan NAP (Norms Action Plan) adalah dua macam proses yang harus dijalani dalam upaya membebaskan organisasi dari penyakit Anomie. Adapun untuk membuat kepemimpinan pendidikan berbasis nilai bekerja para pengelola organisasi pendidikan senior harus menerima sebuah konstruk kepemimpinan bersama (shared leadership). Ini berarti masing-masing individu dalam organisasi tersebut mengambil peran pemimpin dalam satu dimensi.



DAFTAR PUSTAKA

Duignan, PA. DR. (1987) Being A Leader in an Educational Institution. Institute of Educational Administration: Australia,
Kuczmarksi,S.S. & Kuczmarski, T.D (1995) Values-Based Leadership: Rebuilding Employee Commitment, Performance, & Productivity. Prentice Hall: New Jersey
Mardjiin, Syam, (1966) Kepemimpinan dalam Organisasi. Surabaya. Yayasan Pendidikan Practice,
Siagian, Sondang P., (1980) Filsapat Administrasi. Jakarta. Gunung Agung,
Wiles, Kinbal, (1961) Supervision for better school. New York: Prentice Hall, Inc., Englewood Clifts.
Wirasaputra, R. Iyeng, (1976) Beberapa Aspek dalam Kepemimpinan Pendidikan. Bandung: bharata Karya Aksara.


















MAKALAH II

KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN
BERBASIS NILAI:
MEMBANGUN KEMBALI KOMITMEN, KINERJA DAN PRODUKTIVITAS PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN


Disampaikan pada pelatihan kependidikan di Kampus Politeknik UNSI Sukabumi
tanggal 29 Desember 2007 di Kabupaten Sukabumi













Oleh
Sofyan Sauri













DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
SEKOLAH PASCA SARJANA
2007

Tidak ada komentar: