Kamis, 21 Mei 2009

NILAI SOSIAL QURBAN

NILAI-NILAI SOSIAL QURBAN

Bahan Penyajian Seminar Nasional

Al-Furqon UPI- 18 Desember 2007

Oleh: Sofyan Sauri

HARI raya ‘idul adha biasanya disebut hari raya qurban. Karena pada hari itu atau hari-hari setelah itu waktu dilaksanakannya qurban, yakni menyembelih binatang yang dagingnya dibagikan kepada orang-orang miskin.

Sedangkan Qurban hukumnya wajib bagi orang yang mampu atau berkemampuan. Tetapi apabila tidak melaksanakannya, Nabi Muhammad saw mengingatkan: “Barang siapa yang sudah mampu dan mempunyai kesanggupan tapi tidak berqurban, maka dia jangan dekat-dekat ke mushala-ku.” Hadis tersebut merupakan sindiran bagi orang-orang yang mampu dan banyak harta tetapi tidak mau berqurban.

Perintah berqurban sebenarnya telah dianjurkan sejak zaman Nabi Adam As dan zaman Nabi Ibrahim As; lalu diteruskan pada zaman Nabi Muhammad saw. Pada zaman Nabi Adam As, qurban dilaksanakan oleh putra-putranya yang bernama Qabil dan Habil. Kekayaan yang dimiliki oleh Qabil mewakili kelompok petani, sedang Habil mewakili kelompok penternak. Saat itu sudah mulai ada perintah, siapa yang memiliki harta banyak maka sebahagian hartanya dikeluarkan untuk qurban.

Ketika Nabi Ibrahim berusia 100 tahun, bermimpi (ru’yal haq) mendapat perintah dari Allah supaya menyembelih putranya bernama Nabi Ismail. Sampai di Mina beliau menginap dan mimpi yang sama. Demikian juga ketika di Arafah malamnya di Mina, masih bermimpi yang sama juga. Ibrahim kemudian mengajak putranya Nabi Ismail, baru lebih kurang 70-80 meter berjalan, syaitan menggoda isterinyanya Siti Hajar: “Ya Hajar! Apakah benar suamimu yang membawa parang akan menyembelih anakmu Ismail ?”. Tapi Nabi Ibrahim tetap melaksanakan perintah Allah SWT.

Akhirnya tibalah mereka di Jabal Qurban kira-kira 200 meter dari tempat tinggal Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, sebagaimana di firmankan oleh Allah didalam surat Ash-Shaffaat ayat 103-107: “Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya kamu telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang yang berbuat baik”. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar “.

Pada zaman Nabi Muhammad SAW, masalah qurban diceritakan kembali yaitu di dalam surat Al-Kautsar ayat 1-3 “Se-sungguhnya Kami telah memberikan kepadanya nikmat yang banyak, Maka dirikanlah solat karena Tuhanmu, dan berqurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus”. Berbicara tentang kenikmatan, Allah mengingatkan: “Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah kamu dapat menghitungnya” (QS:Ibrahim: 34).

Sementara di antara manfaat haji adalah menyembelih (binatang) kurban, baik yang wajib tatkala berihram tammatu dan qiran, maupun tidak wajib yaitu untuk taqarrub kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Sewaktu haji wada’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berkurban 100 ekor binatang. Para sahabat juga menyembelih kurban. Kurban itu adalah suatu ibadah, karena daging kurban dibagikan kepada orang-orang miskin dan yang membutuhkan di hari-hari Mina dan lainnya.

Begitulah sejarah qurban yang bisa ditangkap dari tiga zaman kenabian, dimana qurban tidak semata-mata ibadah yang berhubungan dengan sang pencipta namun lebih bermakna sosial.
Karena itu, setiap ibadah pasti ada hikmahnya, meskipun tidak semua orang dapat mengetahui hikmah tersebut melalui penalaran akal pikirannya. Hanya Allah sendiri yang mengetahui rahasia dan hikmah seluruh ajaran agama yang diturunkan-Nya.

Hikmah-hikmah Allah sendiri ada yang diungkap dalam kitab suci Al-Quran atau sunnah Rasul, ada pula yang tidak disinggung sama-sekali. Bagian hikmah yang tidak disinggung ini, hanya dapat diketahui dan dihayati oleh kalangan tertentu, yang dalam Al-Quran dinamakan Arrasikhuuna fil-‘ilmi, yakni mereka yang kuat imannya dan kelebihan ilmu oleh Allah, yang tidak diberikan kepada orang lain (QS Ali Imran, 3:7)

Di antara hikmah ibadah Qurban, ialah untuk mendekatkan diri atau taqarrub kepada Allah atas segala kenikmatan yang telah dilimpahkan-Nya yang jumlahnya demikian banyak, sehingga tak seorangpun dapat menghitungnya (QS Ibrahim, 14:34). Hikmah secara eksplisit dan tegas tentang ibadah qurban ini, telah diungkapkan dalam Al-Quran: “… maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta)dan orang yang minta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu, Mudah-mudahan kamu bersyukur” (QS Al-Haj, 22:36)

Dan hikmah berikutnya adalah dalam rangka menghidupkan makna takbir di Hari Raya Idul Adha, dari tgl 10 hingga 13 Dzul-Hijjah, yakni Hari Nasar (penyembelihan) dan hari-hari tasyriq. Memang Syari-at agama kita menggariskan, bahwa pada setiap Hari Raya, baik Idul Fitri ataupun Idul Adha, setiap orang Islam diperintahkan untuk mengumandangkan takbir. Hal ini memberikan isyarat kepada kita, bahwa kebahagiaan yang hakiki, hanya akan terwujud, jika manusia itu dengan setulusnya bersedia memberikan pengakuan dan fungsi kehambaannya di hadapan Allah s.w.t. dan dengan setulusnya bersaksi dahwa hanya Allah sajalah yang Maha Besar,Maha Esa, Maha Perkasa dan sifat kesempurnaan lainya.

Kebahagiaannya yang sebenarnya akan tercapai, apabila manusia menyadari bahwa fungsi keberadaannya didunia ini hanyalah untuk menjadi hamba dan abdi Allah, bukan abdi dunia, ataupun abdi setan (QS Al-Dzarriyat, 51:56)

Di samping itu semua, Hari Raya Q urbanpun merupakan Hari Rayayang berdimensi sosial kemasyarakatan yang sangat dalam. Hal itu terlihat ketika pelaksanaan pemotongan hewan yang akan dikorbankan, para mustahik yang akan menerima daging-daging kurban itu berkumpul. Mereka satu sama lainya meluapkan rasa gembira dan sukacita yang dalam. Yang kaya dan yang miskin saling berpadu, berinteraksi sesamanya. Luapan kegembiraan di hari itu, terutama bagi orang miskin dan fakir, lebih-lebih dalam situasi krisi ekonomi dan moneter yang dialami sekarang ini, sangat tinggi nilainya, ketika mereka menerima daging hewan kurban tersebut.

Dengan syari’at qurban ini, kaum muslimin dilatih untuk menebalkan rasa kemanusiaannya, mengasah kepekaannya dan menghidupkan hati nuraninya. Ibadah qurban ini sarat dengan nilai kemanusiaan dan mengandung nilai-nilai sosial yang tinggi. Oleh karenanya orang Islam yang tidak mampu mewujudkan nilai-nilai kemasyarakatan, dianggapsebagai pendusta agama(QS Al-Ma’un, 107:1-3). Karena ibadah haji dan Idul Qurban kali ini datang di saat sebagian besar kaum muslimin sedang dalam kesulitan ekonomi, maka mari kita manfaatkan momen ini untuk mawas diri dengan lebih mendekatkan diri kepada Allah s.w.t. Fastabiqul-khairat. Maka kita berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan. (wago)

TAUHID PENGURBANAN

Bahan Penyajian Seminar Nasional

Al-Furqon UPI- 18 Desember 2007

Oleh: Sofyan Sauri

Hari Raya Kurban akan kembali menghampiri kita. Setiap tahun (barangkali) kita menunaikan ibadah kurban, menyembelih seekor domba, sapi, atau unta. Daging­-dagingnya kita sebarkan untuk bisa dirasakan oleh fakir miskin. Aktivitas seperti ini rutin terjadi dalam siklus hidup kita. Bahkan, mungkin, telah menjadi rutinitas!

Seperti mesin, rutinitas adalah proses yang berulang-ulang. Memang banyak ibadah mengharuskan dilakukan secara rutin. Shalat misalnya, sehari kita lakukan lima kali. Puasa Ramadhan kita lakukan satu bulan dalam setiap tahun. Persoalannya adalah, apakah ibadah-ibadah seperti itu bisa dilakukan sekedar sebagai rutinitas; sesuatu yang mekanis?

Pertanyaan seperti ini penting kita kemukakan saat-­saat kita sedang diliputi suasana kurban. Sebab jika kita tengok sejarahnya, ternyata kurban membawa muatan makna yang cukup dalam, jauh dari sekedar sebuah simbol penyembelihan dan pemba­gian daging kurban.

Adalah nabiyullah Ibrahim dan Ismail yang telah mendemontrasikan betapa ibadah kurban adalah pertaruhan antara tauhid dan syirik. Pertarungan antara Allah dan selain Allah. Dan mereka lulus dalam ujian "pertaruhan" ini. Bahwa Ibrahim dan Ismail lebih mementingkan Allah telah dibuktikan dengan kesanggu­pan mereka untuk menyem­belih dan disembelih, karena memang itu perintah Allah. Kecintaan Ibrahim kepada anaknya tetap diletakkan di bawah kecintaannya kepada Allah.

Ibrahim memang cinta, dan bahkan sangat cinta, kepada putranya, Ismail. Akan tetapi perintah Allah lebih dari segala kecintaan duniawi. Inilah implementasi tauhid yang benar. Bahwa tauhid bukan sekedar "basa­-basi" percaya akan keesaan Allah. Tauhid bukan sekedar penolakan secara lisan terhadap tuhan-tuhan dan penunggalan Allah. Tauhid adalah jiwa kehidupan. Tauhid menuntut pendemonstrasian sikap secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Sebagai "bapak monotheisme", Ibrahim sangat paham terhadap sikap-sikap tauhid yang harus dilakukan. Dia sangat paham bahwa " ... jika bapak-bapak, anak­-anak, saudara-saudara, istri-istri kamu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu kuatir kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai lebih kamu cintai daripada Allah dan rasul-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya..." (At-Taubah/9:24).

Bercermin dari sejarah kurban Ibrahim, maka ibadah kurban yang kita lakukan mestinya kita jadikan ajang pengasahan sikap tauhid.

Pegorbanan Tauhid

Seperti ibadah-ibadah lainnya, ibadah kurban juga mengandung dua sisi yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Menyembelih hewan dan membagikan dagingnya pada fakir miskin adalah satu sisi syariat yang tidak boleh diabaikan. Akan tetapi, sisi ini bukanlah tujuan dari ibadah itu sendiri. Allah sendiri menjelaskan bahwa yang sampai kepada Allah bukan daging atau darah hewan kurban, melainkan ketaqwa­an pelaku kurban-lah yang sampai kepada Allah (Al ­Hajj/22:37). Ini artinya bahwa penyembelihan kurban adalah simbol ketundukan dalam menjalan­kan perintah Allah. Dan ibadah tidak boleh berhenti sebatas pada simbol, sebab jika ini yang terjadi, ibadah hanya akan menjadi rutinitas.

Maka bersama kucuran darah, kita kurbankan segala kepentingan dunia, demi memenuhi panggilan Allah. Segala ketaatan kita letakkan di bawah ketaatan kepada Allah. Seluruh ketakutan kita letakkan di bawah katakutan kita kepada Allah. Semua kecintaan hanya boleh dan sah jika kita letakkan di bawah kecintaan kita kepada Allah.

Bukan sebaliknya, demi kepentingan duniawi kita korbankan Allah. Kita korbankan tauhid. Panggilan kekuasaan mengorbankan ketaatan kita pada Allah. Kita menjadi lebih otoriter dibanding Allah. Seruan gelimang harta telah melupakan kita dari perjuangan. Kita menjadi serakah dan tamak; merasa paling kaya dan memiliki segalanya, lupa bahwa semuanya adalah milik Allah. Kita korbankan kejujuran demi panggilan korupsi. Kita korbankan moral dan kehormatan, hanya karena bisikan lawan jenis.

Lantas sampai kapan, kurban menjadikan kita konsisten bertauhid?

Makna Kurban bagi Transformasi Sosial

Bahan Penyajian Seminar Nasional

Al-Furqon UPI- 18 Desember 2007

Oleh: Sofyan Sauri


Minggu, 31 Desember, umat Islam kembali akan merayakan Hari Raya Idul Adha 1427 H. Bagi setiap agama, hari raya adalah hari istimewa di mana kekudusan Tuhan menjadi sentral pengabdian dan benda-benda di sekelilingnya tiba-tiba menjadi kian nisbi.
Hari raya tidak saja mengandung ritus-ritus, tapi juga sarat dengan nilai-nilai. Kesemarakannya tidak saja termanifestasikan dalam bentuk syiar, hiruk-pikuk segala kesibukan, tapi juga dalam diam, dalam bisikan, dan keharuan.
Demikian juga Hari Raya Idul Adha atau Idul Kurban, ia menyimpan banyak harapan untuk self cleaning, menjanjikan peleburan jiwa ke dalam proses penemuan jati diri dan harga diri. Kalimat takbir, tahmid, dan tahlil yang dikumandangkan pada prinsipnya bukanlah apa-apa, melainkan ia hanya sebuah ekspresi ketakjuban, refleksi kekaguman spontanitas, totalitas kepasrahan atau peleburan diri ke alam yang kasat mata namun nyata.
Kalau boleh diandaikan bahwa semangat Idul Kurban itu dinamis, sejatinya ia tidak hanya berhenti untuk memperkaya horison pengalaman beragama secara individual, tapi juga berlanjut implementasinya pada dataran empiris-sosial. Dengan kata lain, ia berimplikasi meningkatkan kualitas penghayatan individu terhadap universalitas nilai-nilai kemanusiaan. Dengan demikian, kedudukan agama bukan semata-mata cultus privatus, tapi juga cultus publicus.
Sementara itu, masyarakat kini tengah mengalami apa yang disebut transformasi sosial sebagai dampak dari arus modernisasi. Transformasi ini mendesak setiap anggota masyarakat untuk menguji kembali validitas beragam konvensi yang dilahirkan oleh lembaga-lembaga sosial dan kebudayaan dalam rangka survive dan revive.
Transformasi ini juga memaksa setiap pemeluk agama untuk melakukan reorientasi terhadap pola penghayatan keagamaannya, dengan menafsirkan dan mamaknai ulang format pemahamannya terhadap validitas tekstual kitab suci.
Sikap inilah yang disebut reinterpretasi yang oleh Roland Barthes disebut pula sebagai deformasi. Tiap kali membicarakan apa saja, termasuk agama, kita menghadapinya bukan sebagai organisme yang punya riwayat. Kita acap kali menundukkannya di bawah kriteria kita, hukum kita, dan konsensus di antara kita. Dengan demikian, kita merasa cukup otoritatif mengklaim mana yang “benar dan salah” menurut persepsi kita, sesuai dengan kepentingan kita.

Urgensi Makna Kurban
Memang, begitulah agama. Ia datang bukan untuk disapa. Ia datang dengan misi dialog, semangat dialektis, dan cita-cita profetis. Ia berhadapan dengan kecerdasan manusia, perubahan ruang, dan pergeseran waktu.
Ia menyatu dengan proses transformasi masyarakat pemeluknya, yang ternyata tidak homogen secara geografis maupun etnis. Dengan begitu, agama menuntut untuk dipahami dan ditangkap pesannya dengan pendekatan transformatif. Reinterpretasi memang berarti deformasi. Tapi, bukankah dengan reinterpretasi pula manusia dan agama masing-masing melakukan adaptasi ?
Agama jelas merupakan lembaga yang menjadi referensi pemeluknya dalam rangka mencari sumber-sumber legitimasi. Salah satu bentuknya berupa identitas formal, yang seringkali ekspresinya bisa dilihat dalam bentuk sistem upacara dan penyembahan.
Ekspresi ini mendapat perhatian yang lebih istimewa, karena para pemeluknya punya keinginan yang menggebu-gebu untuk menampilkannya lebih ke permukaan. Sebabnya satu, ia bukan hanya identitas. Tapi secara umum—untuk membedakannya dengan humanisme yang kering dari unsur-unsur transendental dan eskatologis—ia adalah agama itu sendiri.
Dari paparan di atas, sebenarnya Idul Kurban punya urgensi makna yang bisa dijadikan legitimasi bagi terwujudnya obsesi-obsesi sosial. Kesetiakawanan, solidaritas, menurunnya kesenjangan antarberbagai kelompok masyarakat, tegaknya semangat otonomi, dan pembebasan dalam diri manusia, adalah hal-hal yang sangat mungkin dicarikan justifikasinya pada semangat Idul Kurban.
Salah satu atau bahkan satu-satunya kekuatan Idul Kurban terletak pada fungsi legitimasi simbolisnya. Maka ketika pengorbanan itu diwujudkan dalam bentuk selain menyembelih hewan, yang terjadi adalah discontinuity. Artinya, orang Islam jadi kehilangan simbol-simbol yang melegitimasi kerja-kerja pengorbanan mereka, peneladanan sikap-sikap yang dicontohkan oleh nabi-nabi mereka yang hanif.
Penyembelihan hewan merupakan upaya mencari jejak historis dan tradisi. Ia merupakan eternalisasi kontinuitas hari ini dan kemarin. Dalam merayakan Idul Kurban, ternyata kita tidak cukup hanya dengan mempertahankan “semangat berkorban”, sebagaimana dicontohkan Ibrahim dan Ismail, tapi juga harus tetap mempertahankan “kerja-kerja” pengorbanan sebagaimana dilakukan Ibrahim dan Ismail itu.

Tiga “Mainstream”
Tampaknya, Idul Kurban menyimpan tiga hal yang menjadi bagian dari mainstream evolusi kebudayaan, yakni agama, budaya, dan keberlangsungan. Agama mengakomodasi kelahiran dan pelembagaan spiritualitas dan nilai-nilai kebersamaan, pengorbanan, pembebasan, dan solidaritas yang konvergen.
Budaya menunjuk pada pelembagaan penyembelihan menjadi semacam tradisi, yang selain kental dengan nuansa lokal, juga cenderung konsentris. Sementara itu, keberlangsungan menunjuk pada kontinuitas dan mengalirnya waktu dalam rentang linear ke depan.
Dari ketiga mainstream tersebut, yang paling penting adalah, bukan konvergensi nilai, tapi konsentrisitas simbol. Artinya, bahwa Idul Kurban–seperti yang berkembang di masyarakat–lebih identik dengan peristiwa budaya daripada peristiwa ritual keagamaan. Dengan kata lain, ia lebih menyerupai momentum sebuah pesta, daripada momentum keinsafan dan keharuan.
Dengan demikian, ada satu kepastian di luar semua itu, yakni bahwa simbol-simbol budaya yang lahir dari basis agama relatif lebih eternal dan mendapatkan apresiasi, dari pada yang lahir melalui mobilisasi kreativitas dan daya cipta manusia semata.
Agama ternyata memuat unsur-unsur sakral. Sementara sakralitas, menurut Emile Durkheim, mampu membangkitkan perasaan kagum, dan karena itu, ia memiliki kekuatan memaksa dalam mengatur tingkah laku manusia serta kekuatan untuk mengukuhkan nilai-nilai moral kelompok pemeluk.
Sakralitas pula yang merangsang atribut-atribut agama untuk tetap survive di tengah arus globalisasi dan arus informasi simbol-simbol budaya. Sungguh pun pada dasarnya bukan benda-benda tersebut yang merupakan tanda dari yang sakral, tapi justru berbagai sikap dan perasaanlah yang memperkuat sakralitas tersebut. Sakralitas ini terwujud karena sikap mental yang didukung oleh perasaan.
Oleh karena itu, biarlah sampai kapan pun Idul Kurban dirayakan dan disemarakkan dengan hiruk-pikuk penyembelihan hewan. Ia bukan saja sekadar ornamen dan dekorasi yang melegitimasi keterkaitan organik umat Islam dengan masa lalunya, melainkan juga sejenis segmen yang berputar dalam mainstream evolusi kebudayaan umat manusia, yakni konvergensi, konsentrisitas, dan kontinuitas.
Demikianlah, Selamat Hari Raya Idul Adha 1427 H.

Tidak ada komentar: