Kamis, 16 Juli 2009

PEMBINAAN KEPERIBADIAN GURU BERBASIS NILAI MELALUI PTK

PEMBINAAN KEPERIBADIAN GURU BERBASIS NILAI MELALUI PTK
OLEH SOFYAN SAURI

A. PENDAHULUAN
Guru adalah sosok manusia yang patut ditiru dan digugu, demikianlah pribahasa yang sering kita dengar dari berbagai penyaji makalah dalam seminar-seminar atau dalam pembekalan kepada para guru dalam mengawali tugasnya dilapangan. Penampilan seorang guru di dalam kelas maupun di luar kelas menjadi pusat perhatian semua orang terlebih para murid-muridnya. Mulai dari menyisir rambut memakai baju, celana, sepatu, kaus kaki, tas yang disandangnya, ucapannya, jalannya, dan lain-lain menjadi pusat perhatian dalam kehidupannya sehari-hari.
Apa yang diucapkan guru di dalam kelas maupun di luar kelas, menjadi pusat perhatian para pendengarnya. Ucapan guru selalu bermakna dan kaya ilmu, ucapan guru tidak menimbulkan arogan, sombong, egois ingin kapuji para pendengarnya. Walaupun ada seperti itu hanya sebuah kasus dari sosok guru yang tidak memiliki keperibadian yang terpuji. Tugas mendidik dan mengajar merupakan amalan yang sangat menyenangkan tanpa henti, selama dua puluh empat jam sehari semalam guru berupaya sekuat tenaganya memikul tugas mulia para anak didiknya di mana pun berada.
Guru berupaya sekuat tenaga untuk menanam pohon yang dapat menghasilkan manfaat bagi dirinya, keluarga, masyarakat, dan sekolah. Diharapkan pohon yang dicita-citakannya, akan menjadi pohon yang kuat akar-akarnya, banyak dahannya, rindang daunnya, manis buahnya, dan melindungi orang yang berteduh di bawahnya. Sehinga pohon itu dipelihara bukan hanya oleh guru sendiri, tetapi semua orang memberikan perhatian yang maksimal kepadanya.
Pohon yang dimaksud adalah jadidiri seorang pendidik, yang akakr-akarnya kuat digambarkan sisi keilmuan yang dimilkinya sangat dalam dan luas. Apabila berargumen dengan yang seilmu selalu bijaksana, tidak mudah tersinggung, selalu mengedepankan hormat pada orang lain yang tidak sependapat, dan mengingatkan siapapun yang salah dengan bahasa sntun, yakni pilihan kata yang digunakaknnya dengan penuh pertimbangan sehingga kedengarannya menjadi obat penyejuk dalam kehidupannya.
Tangkai pohon yang banyak menggambarkan, sosok guru yang sangat bermanfaat dalam kehidupan pada masyarakat. Setiap ada kegiatan apapun makan yang menjadi sasaran dan kepercayaan adalah guru. Tantkala camat menentukan ketua panitia 17 agustusan, ketika memilih ketua lomba kebersihan lingkungan, ketika ada upacara hari-hari besar agama dan umum, yang terpilih siapa lagi kalau bukan guru.
Landasan legal guru dalam penyelenggaraan pendidikan adalah sebagai berikut; Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaga Negera Republik Indonesia tahun 2003 nomor 78, tambahan Lembaga Negara RI no 4301) pasal 39 ayat (2) yang menyatakan bahwa pendidik merupakan tenaga professional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran , menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan latihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat , terutama pendidik pada PT.
Guru adalah hamba Allah yang paling mulia dihadapn-Nya, tuganya sebagai kholifah fil ardi, yang dapat merubah peradaban manusia secara menyeluruh, dari tidak memilki kemampuan untuk berbuat menjadi dapat berkiprah sebagaimana yang diharapkan. Tidak membaca dirubah menjadi mampu membaca, tidak berperilaku santun dibimbing untuk menjadi santun, sabar, ulet, terampil, cerdas dan taqwa.
Saat menyusun makalah tergambarlah dalam pikiran, apabila guru memiliki profil sebagaimana yang digambarkan di atas, maka akan dengan keperibadian guru yang secara lestari digulirkan kepada anak didiknya, baik melalui pembelajaran secara langsung atau melalui penelitisn tindakan kelas, maka diprediksi, Indonesia yang sedang berada dalam level pendidikan di dunia yang sangat rendah, akan mampu bangkit, menggeliat secara teratur dan ilmiah merubah peradaban kea rah yang lebih baik, posistif, terhormat di mata dunia. Akhirnya timbul permasalahan “Bagaimana pembinaan keperibadian guru berbasis nilai dalam penelitian tindakan kelas (PTK)?
Pembinaan agar keperibadan guru yang terpuji tetap terjaga, maka perlu dilakukan pembinaan secara kontinu antara lain: (1) pertemuan silaturahmi secara periodic yang diseponsori oleh pimpinan langsung setiap daerah; (2) pengajian rutin dengan menghadirkan kiai dari dalam dan luar kelompok guru; (3) diskusi peningkatan wawasan guru dalam era global (4) anjang sana ke pada keluarga guru; (5) mennengok kepada keluarga guru yang terkena musibah; (6) silaturahmi guru dan orang tua muridsecara terjadwal, (7) mengikuti seminar dan pelatihan ISQ..

B. GURU PERLU MEMAHAMI TUJUAN HIDUP
Seorang manusia yang telah jelas visi hidupnya, maka selalu misinya mendukung apa yang terlukis dalam visinya. Sebuah visi terwujud tidak terlepas dari tujuan yang diinginkan sebelumnya. Misalnya menginginkan Indonesia kedepan adalah menjadi suatu Negara yang baldatun toyyibatun warobbun ghofur , yakni Negara yang aman, subur makmur gemah ripah lohjinawi. Artinya egara yang menjadi dambaan semua rakyatnya. Ungkapan di atas tadi seolah-olah sebagai visi ke depan.
Visi yang paling mendasar dan menjadi dambaan manusia yang beriman, adalah tertuang dalam Q.S Al Qosos 77, Dan hendaklah kami memraih kebahagiaan yang Allah siapkan di akhirat kelak dan jangan melupakakn bagianmu di dunia, dan berbuat baiklah kamu kepada Allah sebagaimana Allah telah berbat baik kepadamu. Sesungguhnya Allah sangat mencintai orang yang berbuat kebaikan. Dari ayat tersebut terungkap bahwa segala perbuatan yang dilakukan di alam dunia ini harus selalu berdasar kepada pedoman yang paling mendasar yakni ayat tersebut di atas. alangkah indahnya guru yang memiliki keimanan yang kuat dan pemahaman Al Quran yang hebat.
Tujuan ke depan dalam ayat tersebut meraih kebahagiaan yang hakiki, melalui kegiatan amalan setiap hari menjadi pendidik, dan pengajar para muridnya , dengan selalu berbuat yang paling baik dari sebelumnya. Hal ini diperkuat hadis nabi, bahwa hari ini harus lebih baik dari hari kemarin, dan hari besok harus lebih baik dari hari ini. Dan diperjelas lagi bahwa tujuan pendidikan di Indonesia sebagaimana terungkap, bahwa tujuan pendidikan tertuang dalan undang-undang sistem pendidikan nasional nomor 20 tahun 2003 bab II pasal 3 sebagai berikut: ”Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Adanya kata-kata mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat tentunya perlu diupayakan melalui formulasi pendidikan nasional yang tepat. Indikator watak dan peradaban bermartabat itu sendiri tentunya adalah ketika terbentuk gererasi yang betul-betul menghargai dan menghormati sistem nilai bangsanya. Watak dan peradaban yang bermartabat hanya dapat diraih oleh pendidikan yang betul-betul mengintegrasikan sistem nilai yang anut bangsanya ke dalam seluruh komponan pendidikan. Dengan demikian, jelaslah bahwa upaya pengembangan pendidikan yang berbasis kepada nilai etika suatu bangsa menjadi sangat penting.
C. PENDIDIKAN NILAI ETIKA
Ada pengamatan yang sangat tajam dilengkapi dengan hasil penelitian, dan diungkapkan oleh para ahli pendidikan nilai dewasa ini, bahwa pendidikan di Indonesia belum menghasilkan tujuan pendididikan nasional dengan maksimal. Hal ini terungkap bahwa penekanan pendidikan yang sekarang dan tempo dulu masih lebih ke arah kognisi yang paling diutamakan. Sedangkan pendidikan hati atau afeksi masih diabaikan, bahkan kalau boleh dikatakan belum menjadi bagian yang diseimbangkan. Untuk hal itu maka pendidikan nilai harus menjadi basis dalam semua kegiatan pendidikan dan pembelajaran di sekolah maupun di luar sekolah.
Dalam perspektif sejarah filsafat, nilai merupakan suatu tema filosofis yang berumur masih muda. Baru pada akhir abad ke-19 nilai mendapat kedudukan mantap dalam kajian filsafat akademis secara eksplisit. Namun secara implisit, nilai sudah lama memegang peranan dalam pembicaraan filsafat, yaitu sejak Plato menempatkan ide ‘baik’ paling atas dalam hierarki nilai-nilai (Bartens, 2004:12). Kurt Baier (UIA, 2003: 10) mengemukakan bahwa nilai adalah suatu kecenderungan perilaku yang berawal dari gejala-gejala psikologis seperti hasrat, motif, sikap, kebutuhan dan keyakinan yang dimiliki secara individual sampai pada wujud tingkah lakunya yang unik. Sedangkan Allport menyatakan bahwa nilai adalah keyakinan yang membuat seseorang bertindak atas dasar pilihannya. Bagi Allport nilai terjadi pada wilayah psikologis kepribadian (Allport, 1964:4).
Adapun Kluckhon dalam Mulyana (2004:5) lebih panjang merumuskan tentang nilai. Ia mendefinisikan nilai sebagai konsepsi dari apa yang diinginkan, yang memengaruhi pilihan terhadap cara, tujuan antara dan tujuan akhir tindakan. Sementara Bramel dalam Mulyana (2004:5) mengungkapkan bahwa definisi itu memiliki banyak implikasi terhadap pemaknaan nilai-nilai budaya, dalam pengertian lebih spesifik implikasi yang dimaksud adalah.
• Nilai merupakan konstruk yang melibatkan proses kognitif (logis dan rasional) dan proses katektik (ketertarikan atau penolakan menurut kata hati).
• Nilai selalu berfungsi secara potensial, tetapi selalu tidak bermakna apabila diverbalisasi.
• Apabila hal itu berkenan dengan budaya, nilai diungkapkan dengan cara yang unik oleh individu atau kelompok.
Deskripsi pendidikan berbasis nilai mencakup keseluruhan dimensi pendidikan. Tujuan pendidikan nilai yang ideal adalah membentuk kepribadian manusia seutuhnya. Tujuan ini diarahkan untuk mencapai manusia seutuhnya yang berimplikasi pada pendidikan nilai sebagai keseluruhan praktek pendidikan di lingkungan satuan pendidikan. Karena itu, pendidikan nilai berarti keseluruhan dimensi pendidikan yang dilakukan melalui kegiatan pengembangan, baik kegiatan kurikulum, ektrakurikuler, dan seluruh kegiatan belajar mengajar yang dikatakan sebagai upaya penanaman nilai dalam pendidikan.
Pendidikan nilai dapat menjadi sarana ampuh dalam menangkal pengaruh-pengaruh negatif yang terjadi dalam kehidupan masyarakat global dewasa ini. Sejalan dengan derap laju pembangunan dan laju perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, serta arus reformasi sekarang ini, pendidikan nilai semakin dirasa penting sebagai salah satu alat pengendali bagi tercapainya tujuan pendidikan nasional secara utuh.
Kaitanya dengan nilai etika, kata etika atau ethics (bahasa Inggris) itu sendiri memiliki banyak arti, secara etimologi istilah etika berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu ethos yang mempunyai arti tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Adapun dalam bentuk jamaknya ta etha yang artinya adat kebiasaan. Ta etha menjadi latar belakang terbentuknya istilah “etika” yang oleh filsuf Yunani besar Aristoteles (384-322) sudah dipakai untuk menunjukan filsafat moral. Jika dilihat dari asal-usul kata etika, maka etika dapat didefinisikan sebagai ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.
Selain secara etimologis, kita dapat melihat pengertian etika dari kamus, dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang lama (Peoerwadarmita,1953), etika dijelaskan sebagai ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral). Adapun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang baru terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1988), etika dirumuskan dalam tiga arti sebagai berikut:
• Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).
• Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak.
• Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Menanggapi tiga pengertian etika di atas, Bertens (2004:5) mengemukakan bahwa urutan tiga arti tersebut kurang kena, sebaiknya arti ketiga ditempatkan di depan karena lebih mendasar daripada yang pertama dan rumusannya juga bisa dipertajam lagi. Dengan demikian, menurut Bertens (2004:6) tiga arti Etika dapat dirumuskan sebagai berikut :
• Etika dipakai dalam arti nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Arti ini disebut juga sebagai “sistem nilai” dalam hidup manusia perseorangan atau hidup bermasyarakat. Misalnya etika orang Jawa dan etika agama Budha.
• Etika dipakai dalam arti kumpulan asas atau nilai moral.Yang dimaksud disini adalah kode etik, misalnya Kode Etik Advokat Indonesia.
• Etika dipakai dalam arti ilmu tentang yang baik atau yang buruk. Arti etika di sini sama dengan filsafat moral.
Etika juga disebut ilmu normatif, maka dengan sendirinya berisi ketentuan-ketentuan (norma-norma) dan nilai-nilai yang dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Kita juga sering mendengar istilah descriptive ethics, normative ethics dan philosophy ethics. Descriptive ethics, ialah gambaran atau lukisan tentang etika, Normative ethics, ialah norma-norma tertentu tentang etika agar seseoarang dapat dikatakan bermoral sedangkan philosophy ethics ialah etika sebagai filsafat, yang menyelidiki kebenaran.
Pengertian Etika juga dikemukakan oleh Sumaryono (1995), menurutnya bahwa Etika berasal dari istilah Yunani ethos yang mempunyai arti adat-istiadat atau kebiasaan yang baik. Bertolak dari pengertian tersebut etika berkembang menjadi studi tentang kebiasaan manusia berdasarkan kesepakatan menurut ruang dan waktu yang berbeda, yang menggambarkan perangai manusia dalam kehidupan manusia pada umumnya. Selain itu, Etika juga berkembang menjadi studi tentang kebenaran dan ketidakbenaran berdasarkan kodrat manusia yang diwujudkan melalui kehendak manusia.
Menurut Wiramiharja (2006 : 158) pada dasarnya etika meliputi empat pengertian:
• Etika merupakan sistem nilai kebiasaan yang penting dalam kehidupan kelompok khusus manusia.
• Etika digunakan pada suatu di antara sistem-sistem khusus tersebut yaitu “moralitas” yang melibatkan makna dari kebenaran dan kesalahan, seperti salah dan malu.
• Etika adalah sistem moralitas itu sendiri mengacu pada prinsip-prinsip moral aktual.
• Etika adalah suatu daerah dalam filsafat yang memperbincangkan telaahan etika dalam pengertian-pengertian lain.
Etika baru menjadi ilmu bila disusun secara metodis dan sistematis yang terdiri dari asas-asas dan nilai baik buruk. Jadi etika adalah suatu ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, mana yang dapat dinilai baik dan mana yang dinilai jelek dengan memperlihatkan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat dicerna akal pikiran. Pengertian etika sebagai ilmu merupakan suatu studi yang mempelajari tentang segala soal kebaikan dalam hidup manusia semuanya, mengenai gerak-gerik pikiran dan rasa yang merupakan pertimbangan perasaan sampai mengenai tujuannya. Beberapa ahli yang menyatakan bahwa etika sebagai ilmu antara lain;
• Ahmad Yamin, Etika diartikan sebagai ilmu yang menjelaskan arti baik-buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat.
• Soegarda Poerbakawatja, etika adalah sebagai filsafat nilai, kesusilaan tentang baik-buruk, berusaha mempelajari nilai-nilai dan merupakan pengetahuan tentang nilai-nilai itu sendiri.
• Ki Hajar Dewantara mengartikan etika sebagai ilmu yang mempelajari soal kebaikan dan keburukan dalam hidup manusia semuanya, teristimewa yang mengenai gerak-gerik pikiran, rasa yang dapat merupakan pertimbangan dan rasa perasaan sampai menguasai tujuannya yang dapat merupakan perbuatan.
• Austin Fogothey mengartikan etika sebagai ilmu yang berhubungan dengan seluruh ilmu pengetahuan tentang manusia dan ilmu masyarakat yang erat hubungannya dengan antropologi, psikologi, sosiologi, ekonomi, ilmu politik dan ilmu hukum.
• Ahmad Zubair mengartikan etika sebagai cabang filsafat, yaitu filsafat etika atau pemikiran filsafat tentang moralis, problem moral dan pertimbangan moral.
• H. Devos mengartikan etika sebagai ilmu pengetahuan mengenai kesusilaan secara ilmiah.
• Asmaran AS mengartikan etika sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku manusia untuk menentukan nilai-nilai perbuatan tersebut baik dan buruk, sedangkan ukuran untuk menetapkan nilainya adalah akal pikiran manusia.
• Hamzah Ya’kub menyatakan etika sebagai ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran.
• Burhanudin Salam mengartikan etika sebagai sebuah refleksi kritis dan rasional menyamai nilai-nilai dan norma moral yang menentukan dan terwujudnya dalam sikap dan pola perilaku hidup manusia, baik secara pribadi maupun secara kelompok.
• Surahwaldi Lubis mengartikan etika sebagai ilmu filsafat tentang nilai-nilai kesusilaan, tentang baik dan buruk.
• Pudjawijatna mengartikan etika sebagai ilmu yang mencari kebenaran. Ia mencari keterangan benar sedalam-dalamnya. Tugas etika adalah mencari ukuran baik buruknya tingkah laku manusia.
• Lewis Mustofa Adam mengartikan etika sebagai ilmu tentang filsafat, tidak mengenai fakta, tetapi tentang nilai-nilai, tidak mengenai sifat tindakan manusia tetapi tentang idenya.
• M. Yatimin Abdullah mengartikan etika sebagai ilmu yang mempelajari tentang baik-buruk. Jadi etika bisa berfungsi sebagai teori perbuatan baik dan buruk (ethics atau ilm al-akhlak al-karimah) praktiknya dapat dilakukan dalam disiplin filsafat.
• Magnis Suseno mengartikan etika bukan suatu sumber tambahan bagi ajaran moral, melainkan merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral.
• Sumantri mengartikan Etika sebagai suatu ilmu yang mengadakan ukuran yang dapat dipakai untuk menanggapi dan menilai perbuatan manusia yang berhubungan dengan perbuatan kesusilaan yang benar (normative).
• Socrates mengungkapkan bahwa etika membahas baik-buruk, benar-salah dalam tingkah laku, tindakan manusia, dan menyoroti kewajiban-kewajiban manusia.
Berdasarkan penjelasan di atas, sesungguhnya etika dapat dibedakan menjadi tiga macam pemahaman yaitu:
• Etika sebagai ilmu, yang merupakan kumpulan tentang kebajikan, tentang penilaian dari perbuatan seseorang.
• Etika dalam arti perbuatan, yaitu perbuatan kebajikan. Misalnya seseorang dikatakan etis apabila orang itu telah berbuat kebajikan.
• Etika sebagai filsafat, yang mempelajari pandangan-pandangan, persoalan-persoalan yang berhubungan dengan masalah kesusilaan.
Menurut Suseno (1991:15) sekurang-kurangnya terdapat empat alasan, mengapa etika pada zaman sekarang semakin perlu.
• Kita hidup dalam masyarakat yang semakin pluralistik, juga dalam bidang moralitas. Dan kita sering dihadapkan dengan sekian banyak pandangan moral, sehingga kadang bingung mana yang akan kita ikuti.
• Kita hidup dalam masa transfortasi masyarakat yang tanpa tanding. Perubahan itu terjadi di bawah hantaman kekuatan yang mengenai semua segi kehidupan kita, yaitu gelombang modernisasi. Dalam transfortasi ekonomi, sosial, intelektual dan budaya itu nilai-nilai budaya yang tradisional ditantang semuanya.
• Dalam hal ini etika membantu agar kita tidak kehilangan orientasi, dapat membedakan antara yang hakiki dan apa saja yang boleh berubah, sehingga kita kita tetap saggup mengambil sikap-sikap yang dapat dipertanggungjawabkan.
• Tidak mengherankan bahwa proses perubahan sosial budaya dan moral yang kita alami kini dipergunakan oleh berbagai pihak untuk memancing di air keruh.
Dengan demikian etika dapat membuat kita sanggup untuk menghadapi ideologi-ideologi itu secara kritis dan objektif dan untuk penilaian sendiri, agar kita tidak terlalu mudah terpancing. Etika juga berguna membantu kita agar tidak naïf atau ektrim. Etika diperlukan oleh kaum beragama yang disatu pihak menemukan dasar kemantapan mereka dalam iman kepercayaan mereka di lain pihak sekaligus mau berpartisifasi tanpa takut-takut dan dengan tidak menutup diri dalam semua dimensi kehidupan masyarakat yang sedang berubah. Etika mau membantu, agar kita lebih mampu untuk mempertanggungjawabkan kehidupan kita.
Etika tidak langsung membuat manusia menjadi lebih baik, melainkan etika merupakan sarana untuk memperoleh orientasi kritis untuk berhadapan dengan berbagai moralitas yang membingungkan. Etika ingin menampilkan keterampilan intelektual yaitu keterampilan untuk berargumentasi secara rasional dan kritis. Orientasi etis ini diperlukan dalam mengabil sikap yang wajar dalam suasana pluralisme. Pluralisme moral diperlukan karena pandangan moral yang berbeda-beda karena adanya perbedaan suku, daerah budaya dan agama yang hidup berdampingan, modernisasi membawa perubahan besar dalam struktur dan nilai kebutuhan masyarakat yang akibatnya menantang pandangan moral tradisional, berbagai ideologi menawarkan diri sebagai penuntun kehidupan, masing-masing dengan ajarannya sendiri tentang bagaimana manusia harus hidup.
Mengingat sangat strategisnya posisi sistem nilai etika dalam kehidupan, terlebih tantangan dewasa ini semakin besar, maka pendidikan sebagai core program dalam upaya membentuk generasi harapan masa depan bangsa, wajib hukumnya untuk diintegrasikan dengan seperangkat nilai yang terformulasikan dalam konsep etika. Hal ini perlu di jabarkan oleh para praktisi pendidikan ke dalam seluruh komponen pendidikan, lebih spesipiknya dalam komponen-komponen pembelajaran seperti tujuan, materi, metode, media, sumber dan evaluasi.
Dengan mengembangkan pendidikan yang berbasis pada nilai etika, maka diharapkan dapat terbentuk generasi yang kokoh idiologinya, mantap sikap mentalnya dan memiliki pondasi yang kuat dalam menghadapi serangan nilai luar yang datang bersamaan dengan derasnya arus global. Generasi yang mampu melihat secara tegas tentang apa yang baik dan apa yang buruk, hak dan kewajiban moral (akhlak), mampu mengejawantahkan kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak, serta memegang teguh sistem nilai mengenai benar dan salah yang dianut bangsanya

D. PENINGKATAN KUALITAS BELAJAR MELALUI PTK
PTK (Penelitian Tindakan Kelas) atau Classroom Action Research berkembang di beberapa Negara maju, antara lain Inggris, Amerika, Australia, dan Canada. Penelitian ini mampu menawarkan cara dan prosedur baru untuk memperbaiki dan meningkatkan profesionalisme guru dalam proses belajar-mengajar di kelas. McNiff (1992;1) dalam bukunya menjelaskan bahwa PTK sebagai bentuk penelitian reflektif yang dilakukan oleh guru sendiri, hasilnya dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk pengembangan kurikulum, pengembangan sekolah, pengembangan keahlian mengajar, dan lain sebagainya.
Dengan PTK, guru dapat meneliti sendiri terhadap praktek pembelajaran yang dilakukannya di kelas, guru dapat melakukan penelitian terhadap siswa dilihat dari interaksinya dalam proses pembelajaran. Dalam PTK, guru dan dosen secara kolaboratif dapat melakukan penelitian terhadap proses dan atau produk pembelajaran secara reflektif di kelas. Dengan demikian, PTK dapat memperbaiki praktek-praktek pembelajaran menjadi efektif.
Apabila proses kegiatan pendidikan di kelas yang disebut dengan pembelajaran dilakukan penelitian tindakan kelas, akan memunculkan reaksi tertentu baik dari siswa maupun guru lainnya, sehingga situasi pendidikan tidak menjadi original, tetapi berubah menjadi situasi yang dibuat-buat, seolah ada rekayasa yang tidak pas dengan situasi pembelajaran. Oleh karena itu, melakukan PTK harus didasari oleh asumsi-asumsi yang mencakup berbagai pendekatan, baik pendekatan filosofis maupun pendekatan ilmiah dan pendekatan yang memadukan kedua pendekatan tersebut.
Salah satu pendekatan yang mendasari bagaimana PTK dilakukan dengan benar adalah pendekatan filosofis. Dalam pendekatan ini, ada tiga aspek yang menjadi kajian sebuah pendekatan filsafiah, yaitu aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis.
Ontologis keilmuan membahas dan menelaah tentang obyek kajian yang menjadi pembahasannya. Epistemologis keilmuan membahas dan menelaah tentang metodologi telaahan untuk mencapai kebenaran obyektif. Sedangkan aksiologis keilmuan membahas tentang nilai kegunaan dari hasil kajian dan metodo- loginya.
PTK sebagai penelitian yang bersifat reflektif, melakukan tindakan-tindakan tertentu agar dapat memperbaiki dan atau meningkatkan prktek-praktek pembelajaran di kelas secara lebih professional. Oleh karena itu, PTK terkait erat dengan permasalahan praktek pembelajaran sehari-hari yang dihadapi oleh guru. Apabila praktek yang dilakukan hanya bertumpu pada tindakan-tindakan yang tanpa nilai dan tidak berorientasi pada keunggulan martabat manusia, maka PTK menjadi tidak memiliki nilai dan arti dalam pendidikan di sekolah.
Kajian obyek PTK secar material, adalah bagaimana peserta didik dapat difahami sebagai subyek yang ikut menentukan proses pembelajaran dan tercapai atau tidaknya tujuan yang ditetapkan. Secara formal, PTK lebih memfokuskan pada situasi komunikasi/pergaulan pendidikan di kelas dengan berbagai tindakan guru untuk mempengaruhi siswa untuk memahami pesan komunikasinya. Situasi pendidikan berbeda dengan situasi bermain sandiwara, yang sudah diketahui apa yang akan terjadi setelah permainan selesai, karena semua direkayasa dan semua pemain tahu harus melakukan apa, berkata apa, dan kapan peserta mengakhiri permainannya. Tidak ada pengaruh berarti dalam kehidupan sandiwara. Situasi ini berbeda dengan situasi pendidikan, yang mencoba merekayasa persiapannya, teknologinya, system penilaiannya, dan tehnik pengembangannya, tetapi tidak mengetahui apa yang terjadi pada siswa, apa mereka ada perubahan atau belum?
Dengan demikian, dibutuhkan berbagai pendekatan yang tepat untuk dapat memprediksi perilaku-perilaku peserta didik dan juga guru dalam melakukan kegiatan pembelajaran yang mendidik. Oleh karena itu, dibutuhkan refleksi dalam setiap tindakan yang berbasis analisis keilmuan, apakah aspek psikologisnya, sosio- logisnya, antropologisnya, aspek metodologisnya, aspek politisnya, dan aspek-aspek kehidupan lainnya.
Mengapa PTK dibutuhkan oleh guru? Masih banyak guru yang dibawah standar kompetensi professional dalam melakukan proses pembelajaran, sehingga banyak tindakan guru yang sia-sia karena tidak mencapai tujuan yang diharapkan. Untuk mengetahui tindakan apa yang keliru dalam pembelajaran, mengapa siswa tidak bergairah dalam belajar, dan mengapa tujuan pembelajaran tidak tercapai, dibutuhkan PTK sebagai salah satu upaya yang dapat memperbaiki kinerja guru di kelasnya.
TUJUAN PENELITIAN KELAS
1.PTK merupakan upaya perbaikan, peningkatan dan perubahan kearah yang lebih baik sebagai upaya pemecahan masalah dalam praktek pembelajaran secara berkesinambungan.
2.PTK merupakan salah satu langkah strategis guru untuk meningkatkan layanan kependidikan secara keseluruhan.
3.PTK sebagai sarana pengembangan keterampilan guru yang bertolak dari kebutuhan untuk menanggulangi permasalahan pembelajaran yang dihadapi di kelas.
4.PTK merupakan salah satu sarana untuk menumbuhkan budaya meneliti di kalangan guru.

KARAKTERISTIK PTK
Dibandingkan penelitian lain, penelitian tindakan kelas memiliki beberapa karakteristik yang membedakannya, yakni:
1.Situasional, artinya kegiatan PTK berangkat dari permasalahan yang terjadi dalam tugas sehari-hari oleh guru sebagai pengelola program pembelajaran di kelas.
2.kontekstual, artinya upaya pemecahan masalah baik yang berupa model atau prosedur tindakan tidak terlepas dari konteks (sosial,politik,budaya) dimana proses pembelajaran tersebut berlangsung.
3.Kolaboratif, artinya PTK dilakukan dengan beberapa guru/teman sejawat baik di lingkungan sekolah maupun dilingkungan profesi(KKG/MGMP).
4.Self-reflektive dan self-evaluative, dimana pelaksana dan pelaku tindakan melakukan refleksi da evaluasi diri terhadap hasil/perubahan yang dicapai, karena PTK memiliki langkah-langkah dalam suatu daur/siklus mulai : perencanaan,tindakan , pengamatan dan refleksi.
5.Fleksibel, dalam arti PTK memberikan sedikit kelonggaran dalam pelaksanaan tanpa melanggar kaidah metodologi ilmiah. Contoh satu kelas yang di ajar sendiri.

E. PROSDUR PENELITIAN TINDAKAN KELAS
Prosedur pelakasanaan PTK mencakup : (1). Penetapan fokus masalah penelitian, (2). Perencanaan tindakan, (3). Pelaksanaan tindakan dan observasi, (4). Analisis dan refleksi, (5). Perencanaan dan tindak lanjut.
1. Penetapan fokus masalah penelitian
a.Ketika guru sedang atau telah melaksanakan pembelajaran, pasti pernah terbersit perasaan tidak puas terhadap praktek pembelajaran yang dilakukannya, bahwa masih ada sisi-sisi kelemahan dalam implementasi pembelajarannya
b.Identufikasi masalah
Bertolak dari adanya masalah maka guru dapat mengidentifikasi permasalahan, seperti misalnya:
o Hasil rata-rata nilai geografi rendah.
o Rendahnya minat siswa terhadap pelajaran geografi
o Kurang adanya keterlibatan siswa secara aktif dalam roses pembelajaran
o Kurangnya pemanfaatan media/alat peraga.
c.Perumusan masalah
Dari beberapa permasalahan yang timbul, perlu dilakukan pemilahan masalah dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
o Masalah tersebut menunjukkan kesenjangan antara fakta/teori dengan kondisi ideal yang sebenaranya yang dihsdspi guru dalamproses pembelajaran.
o Adanya kemungkinan dicarikan solusinya melalui tindakan yang konkrit yang dapat dilakukan guru jangan memilih masalah yang berada diluar kemampuan/kekuasaan guru untuk mengatasinya.
o Masalah tersebut memungkinkan dicari faktor yang menimbulkannya yang dapat digunakan sebagai landasan untuk merumuslkan alternatif pemecahannya.
o Pilih permasalahan yang dirasa penting serta melibatkan guru dalam aktivitas yang diprogramkan sekolah.
o Tetapkan permasalahan yang skalanya cukup kecil dan terbatas.
o Kaitksn PTK dengan prioritas yang ditetapkan dalam rencana pengembangan sekolah.
Selanjutnya setelah menetapkan fokus permasalahan, maka perlu merumuskannya secara lebih jelas, spesifik dan operasional, yang akan membuka peluang guru untuk menetapkan tindakan perbaikan yang diperlukan.
Contoh perumusan masalah :
Apakah dengan menampilakan model peta dari yang sederhana sampai yang lengkap dalam pembelajaran dapat meningkatkan minat belajar geografi?
2.Perencanaan Tindakan
Berbeda dengan hipotesis penelitian tindakan umumnya, hipotesis tindakan yang dilakukan dalam PTK merupakan suatu solusi yang diharapkan dapat memecahkan masalah yang diteliti. Menurut Soedarsono (1997) ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam merumuskan hipotesis tindakan, yakni :
o Alternatif tindakan dirumuskan berdasarkan hasil kajian sehingga mempunyai landasan yang mantap secara teoritis atau konseptual.
o Alternatif tindakan perlu dipertimbangkan, dikaji ulang baik dari segi relevansinya dengan tujuan, bentuk tindakan dan prosedurnya, kepraktisan dan optimalisasi hasil serta cara penilaiannya.
o Pilih alternatif tindakan yang dinilai paling menjanjikan hasil yang optimal namun tetap dalam jangkauan kemampuan guru sesuai situasi dan kondisi sekolah.
o Tentukan langkah-langkah untuk melaksanakan tindakan serta cara-cara untuk mengetahui hasilnya.
o Tentukan cara untuk menguji hipotesis tindakan guna membuktikan bahwa telah terjadi
perubahan, perbaikan atau peningkatan meyakinkan.
Untuk merumuskan tindakan, peneliti dapat melakukan kajian terhadap :
• Teori pembelajaran danpendidikan
• Hasil penelitian yang relevan
• Hasil diskusi dengan rekan sejawat maupun pihak lain.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hakam, Kama, (2002), Pendidikan Nilai, Bandung, Value Press
Bartens, K. (2004), Etika, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama.
Barnadib, Imam, (1988), Ke Arah Perspektif Baru Pendidikan, Jakarta. Depdiknas.
Bachtiar, Harsya W. (1987), Budaya dan Manusia Indonesia, Yogyakarta: PT Hanindata Graha Widya.
Friedman, Thomas L. (2002), Memahami Globalisasi, Bandung:Penerbit ITB.
Haricahyono, Cheppy. (1995). Dimensi-dimensi Pendidikan Moral. Semarang: IKIP Semarang Press.
Hers. Richard H. et al. (1980). Model of Moral Education: An Appraisal. New York: Longman Inc.

Maksum, Ali dan Luluk YR, (2004), Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Post Modern, Yogyakarta: Irgi.
Martin, Hans, dan Harald Schuman, (2005), Jebakan Global, Hasta Mitra-Institute For Global Justice.
Magnis Susesno Frans, (1987), Etika Dasar; Masalah-masalah pokok Filsafat Moral, Jakarta, Kanisiu
Mahmud Shubhi Ahmad, (2001), Filsafat Etika; Tanggapan Kaum Rasionalis dan Intuisionalis. Jakarta, Serambi
Mangunhardjana A, (1996), Isme-isme dalam Etika dari A-Z, Yogyakarta, Kanisius
Mackie, 1981, Ethics Inventing Right and Wrong, England, Penguin Book.
Mulyana, Rohmat, (2004), Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, Bandung, Alfabeta.
Nadraha, Taliziduhu (1997), Budaya Organisasi, Jakarta, Rineka Cipta
Naisbitt, John, (2002), Hig tech high touch, Pencarian Makna di tengah perkembangan pesat teknologi, Bandung:Mizan
Ohmae, Kenichi, 2005), The Next Global Stage, jakarta: Indecs
Piliang, Yasraf Amir, (2003), Paradoks Globalisasi: Kritik globalisasi di Indonesia dan perspektif Sosial Budaya, Jurnal Dialektika, Vol 3 No 1-2003
Pulungan, Amalia dan Abimanyu, (2005), Bukan sekedar Anti Globalisasi, Jakarta : walhi.
Steger, Manfred B, (2006), Globalisme Bangkitnya Ideologi Pasar, Yogyakarta: Lafadly Pustaka
Sumaatmadja, Nursid, (2002), Pendidikan Pemanusiaan Manusia Manusiawi, Bandung: Alfabeta.
Suwito, (2004), Filsafat Pendidikan Etika Ibnu Miskawaih, Yogyakarta

Tidak ada komentar: