Kamis, 16 Juli 2009

MENGGALI PEMAHAMAN DAN PEMANTAPAN

MENGGALI PEMAHAMAN DAN PEMANTAPAN

NILAI LOKAL REGIONAL DALAM PENDIDIKAN UMUM

(Analisis Pendidikan Multikultural) *)

Oleh

Sudardja Adiwikarta **)

Abstrak

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat multikultur yang menghadapi permasalahan multikultur yang cukup serius. Untuk menangani dan mengantisipasi berkembangnya masalah multikultur, dikembangkan pendidikan multikultural yang punya dua tahapan atau dimensi yaitu multikultur deskriptif yang berisi pemahaman adanya keragaman budaya, dan multikultur normatif yang memuat pembentukan itikad untuk bersatu dalam keragaman budaya. Indonesia masih menghadapi berbagai kendala dalam melaksanakan pendidikan multikultural. Pengembangan pelaksanaan pendidikan multikultural di USA dan Australia bisa dijadikan acuan dalam pengembangan pendidikan multikultural di Indonesia.

1. Perlunya Pendidikan Multikultural

Nilai lokal regional’ di sini dimaknai secara etnografis (bukan geografis) yaitu nilai anutan suatu kelompok etnis tertentu yang tinggal di suatu wilayah geografis, misalnya orang Sasak di P. Lombok atau Minangkabau di Sumatra Barat. Sebagaimana dimaklumi, masyarakat Indonesia adalah masyarakat multikultur atau multietnis yang terdiri atas ratusan masyarakat lokal regional atau suku bangsa (etnis) yang masing2 memiliki budaya sendiri.

Multikulturalitas bangsa Indonesia telah ada jauh sebelum hadirnya kolonialisme dan inperialisme Eropa. Sejarah menunjukkan bahwa pada zaman itu sering terjadi konflik antar etnis. Oleh penerapan politik ‘divide et impera’ atau politik ‘adu domba’ yang

dilakukan kaum imperialis/kolonialis yang ingin menguasai wilayah dan merebut sumber

daya alam Indonesia, situasi multikultural menjadi lebih parah. Perpecahan bahkan

-----------------------

*)Disajikan pada seminar lokakarya pendidikan nilai di Universitas Tanjungpura tanggal

8-9 Juni 2009

**)Prodi Pendidikan Umum Universitas Pendidikan Indonesia

permusuhan antar etnis/kelompok budaya lokal berkembang menjadi lebih berbahaya bagi persatuan dan kesatuan Indonesia. Gerakan kebangsaan yang berkembang pada awal abad ke 20 menunjukkan puncak2 aktivitas dan keberhasilannya pada peristiwa sumpah pemuda (1928), proklamasi kemerdekaan yang melahirkan NKRI, lahirnya semboyan ‘bhineka tunggal ika’, yang dalam konteks ini bisa dipandang sebagai perjuangan multikulturalisme di Indonesia.

Keberadaan masyarakat lokal regional atau kelompok etnis dalam masyarakat Indonesia mudah dikenali dari bahasa daerah yang digunakan, karena setiap kelompok etnis mempunyai bahasa daerah sendiri. Bahasa daerah masih merupakan komponen atau indikator budaya lokal yang paling penting, meskipun ada kecenderungan menurunnya pengguna bahasa2 daerah. Kelompok etnis itu juga bisa dikenal dari penampilan fisik warganya. Akan tetapi karakteristik fisikal itu pun tidak merupakan faktor pembeda yang efektif karena ada beberapa kelompok etnis yang memiliki karakteristik fisikal yang sama atau hampir sama. Hal lain yang menggambarkan perbedaan antar kelompok etnis adalah budaya asli, yang terdiri atas komponen2 yang mudah diamati (pakaian adat, bentuk rumah tradisional, cara2 pergaulan) dan komponen2 yang tidak mudah diamati (adapt atau tata kelakuan yang meliputi nilai, norma dan pranata2 hidup bermasyarakat). Indikator ini pun tidak efektif lagi sebagai karakteristik yang membedakan kelompok etnis satu sama lain. Hal itu bisa terjadi karena kita telah hidup bersama selama lebih dari 60 tahun dalam satu negara merdeka yang berhasil secara signifikan dalam pembangunan berbagai segi kehidupan. Sekarang, semua orang Indonesia telah memiliki kesamaan bahasa (bahasa Indonesia), kesamaan tata busana (menggunakan model2 pakaian yang sama seperti pakaian muslim, pakaian pramuka, atau pakaian sipil resmi), kesamaan bentuk rumah (menggunakan pola arsitektur perumahan yang sama), kesamaan jenis makanan (mengolah dan mengkonsumsi jenis makanan yang sama), kesamaan norma bermasyarakat dan bernegara ( undang-undang) kesamaan penggunaan fasilitas sosial, dsb. Dengan demikian, makin tidak gampang mengidentifikasi latar belakang kultural atau latar belakang etnis seseorang.

Sementara itu, di sisi lain muncul kepentingan untuk mengenali bahkan menonjolkan identitas kultural suatu masyarakat lokal atau regional, baik untuk kepentingan sosial, ekonomi, akademik, pariwisata, maupun untuk kepentingan praksis tertentu. Sebenarnya, di samping adanya kepentingan2 itu, masyarakat kita juga masih menghadapi banyak masalah laten berkaitan dengan multikulturalisme ini, yang kadang2 menampilkan diri secara eksplosif dalam bentuk gesekan2 sosial atau konflik. Pembentukan otonomi pemerintahan yang mulai dilaksanakan pada penghujung abad ke 20, yang sesungguhnya ditujukan untuk menjembatani kesenjangan dalam keberhasilan pembangunan antar wilayah regional, ternyata punya dampak2 yang merugikan (eksesif). Yang menjadi permasalahan dan tantangan adalah bahwa upaya untuk mempersatukan, malah berdampak negatif dalam bentuk perpecahan dan kekerasan (Hefner 2007). Kita sering kebablasan, bergerak bukan ke arah pembentukan jiwa demokratis, toleran, dan empati, yang diperlukan oleh masyarakat multicultural, melainkan ke arah munculnya hal2 yang sehaarusnya dihindari, yaitu etnosentrisme, isolasionisme, dan egosentrisme kultural, yang berdampak pada berkembangnya potensi2 konflik sosial yang merugikan, baik antar daerah atau antar kelompok etnis. Untuk menghadapi atau mengantisipasi kehadiran masalah2 tersebut diperlukan pengembangan konsep dan budaya multikultur yang mengkaji permasalahan hubungan antar etnis (ethnic relation) dalam system pendidikan kita. Dengan lain perkataan, untuk mengatasi masalah2 multikultur diperlukan terselenggaranya pendidikan multikultural yang akan melahirkan manusia2 yang berjiwa multiultural. Jadi, permasalahan pokok dan tantangan multikulturalisme yang kita hadapi dewasa ini adalah bagaimana membangkitkan pemahaman akan multikulturalitas budaya dan pemantapan nilai2 budaya lokal, agar menjadi sarana dan media pembangunan nasional, dalam rangka membangun integritas bangsa, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, seraya menghindari ekses2 yang problematis. Pertanyaan2 inilah yang akan menjadi fokus pembahasan selanjutnya dalam tulisan ini. Masalah2 lain bisa berkembang dalam diskusi.

2. Pendidikan Multikultural dan Permasalahannya

Yang menjadi fokus kajian ini adalah persoalan multikultur. Masyarakat kita adalah masyarakat multikultur, tetapi warganya belum berjiwa multikultur. Multikulturalitas bangsa kita itu masih banyak mengandung masalah yang serius yang bisa menghambat integritas bangsa dan upaya pengembangan diri untuk menjadi bangsa, adil dan makmur serta mendapat ridho Allah SWT. Oleh karena itu yang menjadi persoalan adalah bagaimana multikulturalisme dikembangkan dan dimantapkan. Multikulturalisme adalah faham atau pandangan yang menerangkan bahwa dunia dan masyarakat terdiri atas beragam komuniti dengan budaya yabg berbeda, tetapi sederajat. Konsep ‘berbeda’ dan ‘sederajat’ merupakan dua kata kunci atau komponen konseptual yang mengusung multikulturalisme. Multikulturalisme bukan sekedar pengakuan dan pemahaman atas keberbedaannya, melainkan juga pengakuan atas kesederajatannya. Oleh karena itu, secara teoretik, ada dua jenis / jenjang atau dimensi multikulturalisme, yaitu : multikulturalisme deskriptif dan multikulturalisme normatif (Tilaar, 2004 : 177). Multikulturalisme deskriptif mengembangkan pengetahuan / pemahaman tentang adanya keberagaman dalam masyarakat, sedang multikulturalisme normatif berisi pembentukan dan pengembangan itikad untuk bersatu dalam keberagaman itu. Multikulturalisme baru dikatakan sempurna jika kedua komponennya terpenuhi. Orang tidak cukup hanya mengakui atau memahami adanya keberagaman tanpa memiliki itikad untuk bersatu dalam keberagaman tsb.

Dalam pengertian itulah judul tulisan ini harus difahami, yaitu (1) mengembangkan pemahaman akan adanya pluralitas (nilai) budaya yang dianut oleh berbagai kelompok etnis di Indonesia, dan (2) memandang perlu adanya upaya pembentukan itikad untuk bersatu dalam keberagaman itu (pemantapan). Dalam pendidikan, kedua dimensi itu saling berhubungan, dalam arti pembentukan itikad untuk bersatu harus diawali dengan adanya pemahaman.

Untuk mewujudkan manusia2 yang berjiwa multikultural itu diperlukan pendidikan, yaitu pendidikan multikultural, yang meliputi pendidikan tentang kedua dimensi multikulturalisme. Ada beberapa masalah yang perlu diantisipasi dalam mengembangkan pendidikan mutikultural ini. Pertama, mengenai kurikulum. Pertanyaannya, adakah ruang dalam kurikulum sekolah untuk melaksanakan hal yang amat urgen ini? Oleh karena masalah multikulturalisme di dalam system pendidikan kita merupakan masalah baru, dapat dipastikan bahwa hal itu belum termuat dalam kurikulum sekolah. Bahkan, jangankan dalam kurikulum, dalam kebijakan pendidikan yang lebih makro pun belum tampak. Undang2 No 20 tahun 2003 belum memuatnya secara eksplisit. Oleh karena itu, Tilaar (2004) menyarankan untuk memasukkanya ke dalam UUSPN yang akan datang. Sesungguhnya, meskipun belum termuat secara eksplisit dalam UUSPN, apabila memang diperlukan, telah dibuka kemungkinan yang bisa dipertanggungjawabkan, yaitu dalam bentuk pengembangan KTSP, mungkin dalam matapelajaran Kewarganegaraan atau IPS. Masalah kedua, berkisar sekitar kompetensi guru. Sehubungan dengan pendidikan multikultur ini merupakan hal baru, mungkin sekali belum tercakup dalam wilayah kompetensi guru, sama halnya pembaharuan2 lain di bidang pendidikan seperti penerapan MBS dan KBK. Sebenarnya telah terbuka kesempatan untuk melakukan hal2 itu misalnya melalui forum Musawarah Guru Bidang Studi (MGBS). Masalah berikutnya, yang ketiga, adalah mengenai reduksi pendidikan menjadi pengajaran. Seperti telah dikemukakan bahwa pendidikan multikultural meliputi dua tahapan kerja, yaitu membangun pemahaman akan keberagaman budaya (multikulturalisme deskriptif) dan membangun itikad bersatu dalam keberagaman (multikulturalisme normatif). Dalam sistim pendidikan kita ada kecenderungan umum bahwa pendidikan nilai direduksi menjadi pengajaran nilai, berhenti pada selesainya tahap pertama, mengabaikan tahap kedua. Tekanan pada aspek kognisi sambil mengabaikan aspek afektif sudah merupakan kebiasaan pendidikan kita. Masalah selanjutnya, yang keempat, berkisar sekitar pelaksanaan pendidikan multikultural itu sendiri, sebagai berikut.

Masalah multikulturalitas, heterogenitas, atau pluralitas budaya tidak hanya dihadapi oleh masyarakat Indonesia. Banyak negara yang sejak awal memiliki banyak kelompok etnis/budaya. Selain itu, dewasa ini banyak negara maju yang menjadi tujuan migrasi internasional, terutama untuk mencari lapangan kerja. Negara2 itu kedatangan pencari kerja asal negara dan budaya lain yang jumlahnya tidak sedikit (pada saat ini tidak kurang dari sejuta TKI tersebar di berbagai negara2 Asia). Oleh karena itu negara2 maju, seperti USA, Inggris, Kanada, Australia, Jerman dan lain2 dewasa ini menghadapi permasalahan multikutural yang tidak kalah pelik oleh Indonesia. Perbedaannya adalah bahwa mereka punya kelebihan berupa pemilikan perhatian khusus untuk menangani masalah multikultural ini dalam berbagai segi kehidupan, termasuk dalam bidang pendidikan. Jadi berbicara tentang pendidikan multikultur sebenarnya telah banyak model yang bisa dijadikan acuan, tinggal menguji kecocokannya. Itulah hal-hal penting mengenai pendidikan multikultural.

3. Model Pendidikan Multikultural

Pada bagian yang lalu telah dibicarakan bahwa pendidikan multikultural meliputi dua tahapan yaitu multikulturalisme deskriptif dan multikulturalisme normatif. Yang pertama bertujuan menghasilkan kesadaran / pengetahuan akan adanya keragaman budaya dalam masyarakat, sedang yang kedua membentuk itikad untuk bersatu atau kesiapan hidup bersama dalam keberagaman yang didasari toleransi, demokrasi dan empati. Yang pertama menekankan pada aspek kognisi sedang yang kedua lebih kepada pembentukan mental-afektif. Jadi, tujuan utama pendidikan multikultural adalah lahir atau terbentuknya mentalitas multikultural di kalangan peserta didik yang didukung oleh sikap toleran, demokratis dan empati sehingga masalah2 sosial yang berkembang akibat adanya perbedaan budaya lokal dapat diatasi.

Seperti telah dikemukakan juga, di Negara kita pendidikan multikultural ini masih merupakan hal baru, sehingga kita masih mencari pola pelaksanaannya. Berikut ini adalah pola atau model pendidikan multikultural yang diterapkan di Amerika Serikat.

Dalam konteks pengembangan pendidikan multikultural, Pendidikan di Amerika Serikat berkembang melalui 4 tahapan berikut (Tilaar, 2004: 132 - 140):

  1. Pendidikan yang bersifat segregatif
  2. Pendidikan mengikuti model ‘salad bowl’
  3. Pendidikan mengikuti konsep ‘melting pot’
  4. Pendidikan multikultural.

Pada pendidikan yang bersifat segregatif (pengucilan) di USA, kelompok kulit

berwarna mendapat pendidikan ala kadarnya untuk kepentingan orang kulit putih yang berkuasa. Dalam pendidikan model ‘salad bowl’ penyelenggaraan pendidikan lebih maju sedikit dari yang pertama. Di sini kelompok minoritas boleh menyelenggarakan pendidikan sendiri, secara berdampingan. Pada tahapan melting pot kelompok2 budaya yang beraneka ragam itu meleburkan diri menempuh pendidikan bersama sehingga budaya kelompoknya hilang. Mereka tidak lagi menggunakan bahasa dan budayanya yang asli. Mereka betul2 telah mengalami proses Amerikanisasi. Pada tingkat pendidikan multikultural, timbul keinginan untuk menghidupkan kebudayaan yang justru beraneka ragam (pluralistik) itu. Untuk itu kelompok2 etnis diperbolehkan menyelenggarakan pendidikan sendiri sesuai dengan kepentingan pengembangan budaya kelompok masing2, dengan biaya yang sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah.

Mengenai program pendidikannya yang bersifat multikultural meliputi dimensi2 sbb:

  1. Integrasi pendidikan dalam kurikulum : perluasan kajian mengenai budaya etnik dan perluasan kerjasama antar etnis dalam kelompok
  2. Perubahan konstruksi ilmu pengetahuan : Kajian mengenai sejarah barat selengkap mungkin untuk mendapat tanggapan dan reaksi dari kelompok etnis lain.
  3. Pengurangan prasangka: Pengembangan sikap positif terhadap warga kelompok etnis lain. Kerja kelompok dan peringatan akan pahlawan2 tanpa pembedaan ras, agama, jender.
  4. Pedagogik kesetaraan : memberikan pelayanan yang sama dan perhatian khusus kepada lapisan sosial rendah
  5. Pemberdayaan budaya sekolah : sekolah merupakan motor penggerak perubahan struktur masyarakat.

Demikian perkembangan terkini dari pendidikan multikultural di USA. Di sini jelas adanya upaya pengembangan kedua tahap atau dimensi pendidikan multikultural, baik yang bersifat deskriptif maupun normatif.

Berikut ini adalah strategi pendidikan multikultural yang dikembangkan di Autralia,

suatu negara yang penduduk dan budayanya amat pluralistik / multikultural. Pada tahun 1983, Department of Education, New South Wales, mengeluarkan Multicultural Education Policy Statement yang menyatakan bahwa pendidikan multikultural di Australia bertujuan untuk mengembangkan pada peserta didiknya karakteristik dan sikap-sikap sbb (Tilaar, 2004: 156 – 162) :

  1. Pemahaman dan penghargaan bahwa Australia dalam sejarahnya adalah masyarakat multikultural.
  2. Membangun kesadaran dan kontribusi untuk membangun Australia.
  3. Melakukan kajian2 antar budaya mengenai tingkah laku, kepercayaan, nilai2 dll.
  4. Memiliki tingkahlaku yang memperkuat keselarasan antar etnis.
  5. Mengembangkan sikap menerima identitas nasional Australia di samping identitas khusus dalam masyarakat multikultural Australia.

Itulah rumusan tentang pelaksanaan pendidikan multikultural di Australia. Tentu saja ini memerlukan penjabaran lebih lanjut ke dalam program2 pendidikan yang akan dilaksanakan. Di sini pun jelas adanya relevansi dengan kedua dimensi multikulturalisme.

Atas dasar informasi mengemai kedua model pendidikan multikultural yang diajukan ini dapat ditarik beberapa kesimpulan berkaitan dengan pemahaman dan pemantapan budaya lokal sebagai berikut:

  1. Dalam rangka memperluas dan memperkuat pemahaman tentang keanekragaman budaya dilakukan (1) perluasan kajian budaya etnis yang ada dalam masyarakat masing2, (2 mengembangkan keterbukaan akan kritik dan kemampuan mengajukan kritik (3) mengurangi prasangka negatif dan mengembangkan sikap positif terhadap budaya kelopok etnis lain

  1. Dalam rangka membangun itikad bersatu dalam keragaman dikembangkan (multikulturalisme normatif): (1) sikap positif terhadap kepentingan nasional di atas budaya lokal (2) metode belajar berkelompok antar peserta didik secara lintas budaya lokal

4. Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan sbb.

Masyarakat Indonesia menghadapi banyak masalah multikultural yang serius sebagai dampak dari multikulturalitas sosial budayanya yang tinggi. Untuk menanggulangi dan mengantisipasi masalah2 itu diperlukan hadirnya pendidikan multikultural (deskriptif dan normatif) yang mampu membentuk manusia berjiwa multikultural. Oleh karena pendidikan multikultural itu merupakan hal baru bagi system pendidikan kita, maka perlu dimulai dengan pengkajian aturan / perundangan, peninjauan kurikulum dan materi subyek, penyediaan guru, serta metode pembelajaran. Dalam banyak hal kita bisa mengadopsi pengalaman yang dimiliki oleh bangsa lain yang telah menyelenggarakannya.

5. Catatan akhir

  1. Dikatakan bahwa masyarakat Indonesia merupakan masyarakat heterogen, multikultur atau multietnis, terdiri atas ratusan kelompok etnis yang masing2 memiliki budaya sendiri. Dengan demikian masalah sosial yang muncul akibat multikulturalitas itu di Indonesia akan lebih kompleks ketimbang pada masyarakat yang multikulturalitasnya rendah. Pernyataan itu bisa diterima, tetapi ada hal yang perlu diperhatikan, yaitu bahwa intensitas masalah multikultural itu dipengaruhi juga oleh beberapa faktor lain seperti geografi, demografi, sarana transportasi, dan sarana komunikasi. Sekolah yang berada di kota mungkin dikunjungi oleh siswa dari berbagai kelompok etnis yang memiliki budaya berbeda, sedang yang ada di desa mungkin monoetnisitas. Dengan demikian masalah multikultural dan kepentingan untuk menangani serta mengantisipasinya akan berbeda. Oleh karena itu pendidikan multikultural dan intensitasnya harus memperhatikan kondisi2 tersebut.
  2. Penyelenggaraan pendidikan multikultural harus memperhatikan kurikulum sekolah. Apakah masih ada ruang dalam kurikulum sekolah untuk pelaksanaan pendidikan multikultural ini ? Apakah matapelajaran baru atau merupakan sebuah pokok bahasan dari matapelajaran yang sudah ada, seperti pendidikan IPS atau Kewarganegaraan.
  3. Penyelenggaraan pendidikan multikultural juga harus memperhatikan kompetensi dan kualifikasi guru, khususnya yang berkaitan dengan materi subyek yang harus disediakan. Pengalaman pada penyelenggaraan pendidikan muatan lokal, CBSA, KBK, MBS dll, perlu dijadikan pelajaran. Kondisi ini harus medapat perhatian LPTK.
  4. Suatu model pendidikan yang hampir sejalan dengan pendidikan multikultural adalah pendidikan akademik yang berorientasi budaya, yaitu proses pembelajaran yang memperhatikan kondisi sosial budaya peserta didik.

DAFTAR ACUAN

Banks, James A. and Cherry A. McGee Banks (Eds.). 1989. Multicultural Education:

Issues and Perspectives. Boston, London, Sydney, Toronto. Allyn and Bacon.

Gollnick, Donna M. and Philip C. Chinn. 1986. Multicultural Education in A.

Pluralistic Society. Columbus, Toronto, London, Sydney : Charles E. Merill

Publishing Company.

Hefner Robert W. (Ed.). 2007. Polittik Multikulturalisme : Menggugat Realitas

Kebangsaan. Yogyakarta : Kanisius.

Nieto, Sonia. 1992. Affirming Diversity : The Sociopolitical context of Multicultural

Education. New York, London : Longman

Tilaar H.A.R. 2004. Multikulturalisme : Tantangan-tantangan Global Masa Depan

dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta : PT Gramedia Widiasarana

Indonesia.

Tidak ada komentar: